Pragmatika Kicau Menag, Meme, dan Logika Warung

Sekali lagi selalu menarik memang jika kita berbicara mengenai bahasa. Banyak filsuf yang mengkaji bahasa karena mereka meyakini bahwa bahasa membentuk realitas. Dari bahasa-lah sesuatu bisa ada. Oleh sebab itulah filsuf besar dunia kuno Barat, Plato, dan filsuf besar dunia kuno Timur, Lao Tzu tidak bisa terhindar dari berbicara mengenai bahasa. Bicara bahasa juga berlanjut bahkan hingga filsuf modern Barat seperti dilakukan oleh Saussure mengenai sinkronis-diakronis dan struktur langue-parole; C.S. Pierce mengenai semiotik tanda, penanda, petanda; metafisika kehadiran dan oposisi biner Derrida; dan tak lupa sebelumnya ada juga J.L. Austin yang bicara tindak tutur dan bagaimana tuturan bisa menentukan status dan nilai (bdk. dengan ‘nilai’ ala Karl Marx).

Bahasa menjadi alat bagaimana seseorang memahami dan menyampaikan sesuatu. Bahasa bukanlah kasunyatan namun kasunyatan hanya dapat disampaikan atau diekspresikan melalui bahasa. Begitu kompleksnya bahasa sehingga kajian bahasa adalah kajian yang sangat serius. Dari situlah kita bisa memahami bagaimana di dalam skriptur Islam hal pertama yang diajarkan kepada Adam a.s. adalah bahasa – pemberian nama.

Benar. Fungsi bahasa adalah memberikan penanda beda yang satu dengan yang lainnya. Ia memberi nama kasunyatan. Bahasa adalah wingit. Hal ini juga kita dapati di dalam Tao Te Ching. Eksistensi sesuatu tertandai ketika ia diberikan nama. Munculnya nama pada sesuatu koeksisten dengan ‘yang lain’ yang tidak diberi nama sama; yang tidak sama ditandai. Narasi tentang kewingitan bahasa juga dapat kita temui misalnya pada teks Biblikal Yohanes 1: 1.

Kaum Kristen Unitarian menafsirkan logos di dalam ayat itu bukan sebagai Kristus atau Logos (dengan ‘l’ kapital) atau Word (dengan ‘w’ kapital) namun logos dengan huruf kecil. Perlu diketahui bahwa Kristen Trinitarian menggunakan ayat Yohanes 1: 1 sebagai hujah keyakinan Trinitas. Bagi Kristen Unitarian, argumen mereka untuk menyangkal ini dirujukkan kepada skriptur asli rujukan Bible yang berbahasa Yunani ada terdapat ratusan pemakaian istilah logos yang definisinya macam-macam dan huruf l kapital (dalam translasi terkemudian) atau huruf w kapital (pada penerjemahan ke bahasa Inggris sebagai Word) adalah tidak dikenal di masa awal kekristenan. Jika yang dipakai adalah tafsiran Kristen Unitarian maka ‘kekuatan’ dari ‘kata’ adalah divine karena ‘menciptakan realita [meski bukan kasunyatan]’ mendapatkan tempatnya di dalam tulisan ini.

Kajian bahasa adalah kajian yang serius bahkan sangat serius. Kalau tidak serius, bagaimana mungkin tradisi pemikiran dari jaman dulu hingga sekarang mengkaji tentangnya? Lihatlah semua cabang ilmu juga tidak bisa menghindar dari bahasa yang wujudnya dalam hal-hal pembahasaan (pengekspresian ilmu itu sendiri) maupun nomenklatur. Tidak ada yang bisa lolos dari jeratan bahasa. Bahkan secara ekstrem, ada filsuf yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang berada di luar teks. Dan teks kembalinya adalah kepada bahasa.

Menjelang bulan Ramadan ini muslim [dan yang bukan muslim] di Indonesia disuguhi bagaimana bahasa adalah sesuatu yang unik dan selalu menarik untuk dikaji. Semua dimulai dari kicauan Menag mengenai buka tutup warung.

Kicau Menag @lukmansaifuddin

Kicau Menag @lukmansaifuddin

yang kemudian mendapat respon berupa meme sebagai berikut

Meme Tantangan kepada Menag (credit: tasbihnews)

Meme Tantangan kepada Menag (credit: tasbihnews)

Tidak lama kemudian muncul tulisan lewat status Facebook oleh Dina Y. Sulaeman yang kemudian ia salin tempel ke blog pribadinya bundakiranareza.wordpress.com dengan judul “Logika Warung”. Status Facebook Dina ini mendapatkan tanggapan yang beragam. Ada yang bersepakat dengannya namun ada juga yang menyerangnya. Dina menyertakan kritik-kritik atas tulisannya itu dan sanggahan atas kritikan yang dialamatkan atas tulisannya ia tampilkan di dalam terbitan yang ada di blog-nya itu.

Secara umum, kisruh yang dibahas detil oleh Dina Y. Sulaeman ini dapatlah diringkas sebagai berikut:

MENAG

  1. WARUNG-WARUNG TAK PERLU DIPAKSA [DITUTUP, DISWEEPING?]
  2. KITA [MUSLIM] JUGA HARUS HORMATI JUGA HAK MEREKA [YANG BUKAN MUSLIM BAHKAN HAK MUSLIM DALAM KEADAAN TERTENTU] YANG TAK BERKEWAJIBAN DAN TAK SEDANG BERPUASA.

MEME

  1. BANDARA DI BALI TAK PERLU [DIPAKSA] DITUTUP.
  2. KITA [HINDU] HARUS HORMATI JUGA HAK MEREKA [YANG BUKAN HINDU] YANG TIDAK WAJIB NYEPI.
  1. CEMARA DI MALL TAK PERLU DIPASANG
  2. KITA [UMAT KRISTEN] HARUS HORMATI JUGA HAK MEREKA YANG TIDAK WAJIB NATAL

KRITIK DINA Y. SULAEMAN HINGGA KEMUDIAN SAMPAI PADA KESIMPULAN BAHWA MEME YANG BEREDAR TIDAKLAH LOGIS

  1. MANUSIA DEWASA HARUS MALU JIKA TIDAK BISA BERENANG
  2. IKAN SEJAK LAHIR SUDAH MAHIR BERENANG

IKAN HIDUP DI AIR JIKA TIDAK HIDUP DI AIR MAKA IA MATI.

MANUSIA TIDAK HIDUP DI AIR SEHINGGA IA TIDAK BUTUH HIDUP DI AIR UNTUK BISA HIDUP.

  1. WARUNG TAK PERLU DIPAKSA DITUTUP.
  2. JIKA WARUNG BUKA PUN MUSLIM TIDAK BATAL IBADAH PUASA.
  3. BAHKAN MUSLIM BERKEADAAN TERTENTU TIDAK WAJIB PUASA DAN MUNGKIN BUTUH WARUNG.
  1. BANDARA DI BALI JUSTRU PERLU DITUTUP SAAT NYEPI.
  2. ADA ASUMSI BAHWA BANYAK KARYAWAN BANDARA DI BALI ADALAH UMAT HINDU.
  3. BEKERJA SAAT NYEPI ADALAH MEMBATALKAN IBADAH NYEPI
  1. POHON NATAL DIPASANG DI MALL BERTUJUAN MERAMAIKAN NATAL
  2. IBADAH NATAL TIDAK BATAL DENGAN ADA ATAU TIDAKNYA POHON NATAL

Benar bahwa kicauan Menag telah dipelintir menjadi sesuatu yang buruk. Mungkin karena sisa debu Pilpres, mungkin juga karena sebelumnya ada insiden langgam Jawa di dalam tilawah Quran.

Ucapan Menag sejatinya tidak bermasalah. Memang tidak pas untuk memaksa sesuatu yang tidak membatalkan ibadah puasa (usaha warung) ketika puasa tiba, sebagaimana Dina Y. Sulaeman menyinggungnya.

Walaupun demikian, kicauan Menag yang muncul sehabis insiden langgam Jawa di dalam tilawah Quran bisa ditafsirkan sedikit berbeda oleh sebagian orang. Kicau Menag seakan-akan sengaja dibuat khusus untuk menyerang balik salah satu penentang (dari banyak sekali penentang) langgam Jawa di dalam tilawah Quran. Mereka ini distigma sebagai jamaah yang suka memaksa warung tutup. Konon, sekali lagi konon beberapa orang menganggap mereka bertindak seperti itu saat Ramadan: sweeping kepada semua warung zonder ‘jenis warung’ sedangkan kicau Menag bertepatan dengan momen Ramadan.

Bisa jadi ada prasangka bahwa kicauan Menag itu ditafsirkan sebagai usaha Menag memukul balik para pengkritik keras ‘kebijakan’ Menag mengenai langgam Jawa dalam tilawah Quran. Maka munculnya meme bisa ditafsirkan sebagai reaksi atas prasangka itu.

Pada kalimat yang bisa diparafrasekan sebagai berikut: “Mereka yang beribadah juga harus menghormati hak mereka yang tidak sedang beribadah”, tafsirannya bisa macam-macam, bisa saja mereka yang sedang disulut insiden sebelumnya dan merasa tersenggol dengan bahasa kicau Menag yang seakan mengarah pada aksi sweeping kebiasaan mereka bakal menafsirkannya sebagai: “orang beribadah kok malah disuruh menghormati yang tidak sedang beribadah”.

Nah, yang beginian ini masuknya bukan ke dalam semantika bahasa. Kritik Dina Y. Sulaeman atas meme yang beredar adalah benar. Kritik tersebut logis di dalam salah satu aspek bahasa; semantika. Ia mengoreksi salahnya logika semantika di dalam meme itu. Walaupun logika warung ala Dina Y. Sulaeman bisa mendapatkan tempatnya di semantika bahasa namun ia tidak berlaku di dalam kajian pragmatika bahasa.

Secara pragmatika, meme itu bisa dianggap ‘nyambung’. Karena konteksnya bukan masalah batalnya ibadah Nyepi atau tidak sahnya perayaan Natal jika bandara tetap dibuka atau pohon Natal dijulangkan namun bagaimana umat Hindu dan umat Kristiani diminta “menghormati mereka yang sedang tidak menjalankan Nyepi atau Natal” dengan harus tetap membuka bandara dan tidak menampilkan aksesoris perayaan Natal. Juga karena konteks lainnya adalah sudah ada gesekan sebelumnya mengenai kemungkinan pernyataan dan atau kebijakan Menag bagi sebagian orang untuk cenderung ditafsirkan secara negatif.

Demikian.

Languange and Beingness

Menarik memang ketika berbicara tentang bahasa. Saya tersulut lagi untuk mengupas tentang bahasa oleh suatu hal yang terjadi pagi ini. Pagi ini, ketika saya mencari obat sakit kepala di warung langganan, saya terperangah dengan celetukan seorang tua ber-etnis Jawa.

Ia berkata, kurang lebih, seperti ini: “Jangan ajari anakmu bahasa Indonesia nanti bisa-bisa anakmu tidak bisa menunduk[i]”. Seketika itu pula sebagaimana di dalam kisah-kisah Zen yang banyak menceritakan “pencerahan mendadak”[ii] atau sebagaimana Umar r.a.[iii] memeluk Islam karena sentilan pendek: “bagaimana jika kebenaran ternyata ada bukan di apa yang kamu yakini?”[iv] Ya, saya tersentil dengan kalimat seorang tua ber-etnis Jawa itu!

Bahasa memang membentuk realitas. Realitas tidak mungkin berada di luar bahasa.[v]Yang saya maksudkan realitas adalah bukan material yang terpetakan oleh indera normal kita namun adalah “persepsi kita akan realitas yang bersama kita”. Oleh sebab itulah dapatlah saya katakan bahwa beingness adalah selalu being with others[vi] yet situated by languange. Tidaklah mungkin I menjadi being kecuali tersituasikan oleh others dan bahasa.

Why Learn a Language (credit: uncp.edu)

Why Learn a Language (credit: uncp.edu)

Mengapa bisa demikian dan apa kaitannya dengan celoteh mencerahkan dari seorang tua yang saya temui di warung? Ilustrasi-nya adalah sebagai berikut[vii]: Jika seseorang dunianya dibentuk oleh bahasa Indonesia yang dipuji karena egality-nya maka perspektif I, Me,[viii] dan Others-nya akan datar. Ini niscaya berbeda jika seseorang dididik oleh bahasa Jawa yang memiliki unggah-ungguh.[ix]

Maksudnya? Ingat bahwa ada permainan unik antara self dengan kasunyatan. Masih ingatkah bagaimana saya pernah mengutip Mario Pei mengenai istilah salju yang banyak luar biasa oleh suku eskimo? Dan tahukah bahwa orang Jawa punya istilah aking, sega, beras, gabah dan bukan hanya rice saja? Mereka yang berkompetensi[x] bahasa Jawa akan bisa melihat “dirinya yang bersama dengan sekelilingnya” dengan seperangkat set rujukan yang berbeda. Pada contoh “menunduk kepada yang lebih tua” kompetensi rujukan bahwa Me harus merespon hadirnya others yang lebih tua dengan unggah-ungguh bahasa hanya dan hanya bisa terjadi pada mereka yang dididik bahasa Jawa. Pemaham dan pemakai bahasa Jawa akan melihat orang yang lebih tua dengan cara yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan mereka yang berbahasa Indonesia: ada rasa penghormatan, takzim, respecting and honouring.

Isu di dalam tulisan ini bisa melebar makin jauh kepada bagaimana seseorang melihat dunia. Potensi perbedaan mengkonstruk kasunyatan oleh setiap orang niscaya muncul ketika disadari bahwa frame of references personal adalah berbeda. Menarik bukan?

Creative Commons License
Languange and Beingness by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.


[i] Menunduk = berperilaku sopan

[iii] Salah satu sahabat Muhammad saw. Khalifah kedua selepas Abu Bakar r.a. di dalam sejarah Islam.

[v] Di dalam ucapan Derrida:

“all those boundaries that form the running border of what used to be called a text, of what we once thought this word could identify, i.e. the supposed end and beginning of a work, the unity of a corpus, the title, the margins, the signatures, the referential realm outside the frame, and so forth. What has happened … is a sort of overrun that spoils all these boundaries and divisions and forces us to extend the accredited concept, the dominant notion of a ‘text’ … that is no longer a finished corpus of writing, some content enclosed in a  book or its margins, but a differential network, a fabric of traces referring endlessly to something other than itself, to other differential traces”. (Derrida, Living On/Borderlines, hlm. 81; 83-84).

“An ‘internal’ reading will always be insufficient. And moreover impossible. Question of context, as everyone knows, there is nothing but context, and therefore: there is no outside-the-text” (Derrida, Biodegradables, hlm. 873).

[vi] Istilah being with others sebenarnya merujuk kepada pemikiran Martin Heidegger. Others tidak merujuk kepada human saja namun semua yang di sekeliling I.

[vii] Tulisan ini bukan provokasi pembenturan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Jawa. Dalam konteks tulisan ini, rujukan prolog adalah kepada konsep Hermeneutics Circle oleh Hans-Georg Gadamer. http://plato.stanford.edu/entries/hermeneutics/

[viii] Untuk terminologi I dan Me silakan baca teori George Herbert Mead.

[ix] dididik oleh dan bukan dididik dengan karena alasan yang akan terjelaskan di paragraf-paragraf  selanjutnya. Bahasa itu mengajari dan mengatur konstruk realitas.

[x] Menarik juga untuk merujuk kepada istilah Chomsky: competence vs. performance. Akan tetapi di dalam konteks tulisan ini, isu-nya menjadi bagaimana konstruksi persepsi realitas (performance) yang didasari seperangkat atribut di luar dirinya namun menjadi rujukan self (competence) berlaku.

Sastra dan Kajian Poskolonial

Sebelum eksplorasi isu sastra dan kajian poskolonial dimulai, ada baiknya dipahami dulu penyulut isu kajian poskolonial di dalam sastra dan pemikiran modern. Pemahaman ini akan lebih memudahkan kita untuk memahami duduk perkara sebenarnya dan bagaimana mengaplikasikannya di dalam ranah sastra.

Kajian poskolonialisme dapatlah dianggap dimulai ketika terjadi fajar budi di tiga benua (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) sebagai bentuk kulminasi pengalaman akan penindasan dan perjuangan terhadap kolonialisme (Young, 2001: 383-426). Kajian poskolonialisme bukanlah suatu bentuk genderang perang terhadap apa yang terjadi di masa lalu, namun suatu bentuk perjuangan terhadap realitas kekinian yang masih terjajah oleh bentuk neo-kolonialisme selepas kemerdekaan dicapai (Rukundwa dan Aarde, 2007: 1175).

Bentuk perlawanan terhadap kolonialisme tidaklah berhenti setelah kemerdekaan dicapai namun juga harus tetap diteruskan ketika disadari bahwa kolonialisme tidak hanya “telah” menjajah secara fisik, namun imbas penjajahan sebenarnya juga sudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar (Nandy, 1983: 63) dan ini yang diabaikan oleh negara-negara yang telah merdeka. Justru yang sering terjadi adalah bagaimana penduduk dari negara-negara yang telah merdeka melupakan identitas mereka dan juga menganggap diri mereka sebagai inferior di hadapan bekas penjajah. Masalah inferioritas muncul karena di dalam alam pikiran bawah sadar negara bekas terjajah masih tersimpan ingatan kekalahan terhadap negara bekas penjajah dan kegamangan akan identitas diri yang belum tertemukan. Penduduk dari negara-negara yang telah merdeka lupa menyadari bahwa inferioritas yang mereka alami dapat disembuhkan lewat proses reidentifikasi.

Proses reidentifikasi diri memerlukan suatu proses pencarian identitas. Yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa isu nasionalisme yang kerap dikedepankan di dalam pencarian identitas menjadi sesuatu yang absurd ketika disadari bahwa nasionalisme yang disemai dari batas wilayah kebangsaan adalah  merupakan konstruk struktur buah karya bekas penjajah (bdk. Young, 2001: 59 dengan Rukundwa dan Aarde, 2007: 1189). Ada kecanggungan yang kentara ketika usaha pencarian identitas dalam rangka reidentifikasi diri terbentur oleh kenyataan sejarah bahwa identitas negara yang merdeka berbeda dengan identitas suku yang tergabung di dalamnya. Masalah menjadi bertambah ketika disadari bahwa nasionalisme di dalam beberapa aspek sungguh berbeda dengan tribalisme.

Istilah poskolonialisme menjadi suatu bentuk kajian sastra yang serius muncul pertama kali ketika Bill Ashcroft dkk. di dalam buku, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (1989), menggunakan istilah tersebut untuk menggantikan istilah sebelumnya untuk merujuk sastra di negara bekas jajahan eropa: sastra third world atau sastra daerah commonwealth (Bahri, 1996). Namun meskipun demikian, sebenarnya kajian poskolonialisme sebagai sebuah studi yang serius dapatlah dikatakan mulai hangat ketika Edward Said menerbitkan buku yang berjudul Orientalism di tahun 1978 (Bahri, 1996).

Sebagai sebuah istilah, poskolonialisme adalah “a collection of theoretical and critical strategies used to examine the culture (literature, politics, history, and so forth) of former colonies of the European empires, and their relation to the rest of the world” (Makaryk, 1993: 155). Meskipun demikian, jika istilah kajian poskolonialisme untuk merujuk kepada usaha perlawanan terhadap neokolonialisme digunakan istilah yang Edward Said sebut sebagai orientalisme maka justru akan lebih jelas definisinya. Said mengatakan bahwa orientalisme adalah “fundamentally a political doctrine willed over the Orient because the Orient was weaker than the West, which elided the Orient’s difference with its weakness….As a cultural apparatus Orientalism is all aggression, activity, judgment, will-to-truth, and knowledge” (1978: 204).

Contoh yang diberikan oleh Edward Said lewat tulisannya Devil Theory of Islam (2000) mengenai penciptaan imaji “keburukan Islam” oleh Judith Miller adalah salah satu bentuk kerja orientalisme di dalam melabeli sesuatu yang datang dari Timur sebagai buruk dan jahat dus mengarahkan orang-orang bekas terjajah, atau orang-orang Timur, untuk mempercayai pola pikir yang dijejalkan tersebut. Edward Said (2000) mengkritik tulisan Judith Miller yang memanipulasi cara berpikir kepada negara-negara bekas terjajah mengenai “keburukan Islam” lewat demonisasi dan dehumanisasi. Menurut Said, tindakan demikian justru malah akan membuat orang-orang Timur pemeluk Islam sebagai objek pesakitan yang posisinya menjadi tidak sepadan untuk diajak dialog untuk perdamaian. Said juga menunjukkan bahwa pelabelan ini justru membuat orang-orang Timur terpecah di dalam diskursus pembelaan akan Islam, dan bagi sebagian orang-orang Timur lainnya, diskursus deradikalisasi Islam. Pengkondisian demikian, yang memang disengaja, akan membuat negara-negara bekas terjajah (yang memiliki warga negara pemeluk Islam) menjadi stagnan kemajuan karena sibuk dengan diskursus yang disulut oleh tulisan orientalis dan ini merupakan bentuk neokolonialisme baru.

Tokoh lain yang terkenal di dalam gerakan poskolonialisme selain Edward Said adalah Gayatri Spivak. Gayatri Spivak memperoleh ketenaran di kancah kajian poskolonial lewat esainya Can the Subaltern Speak? (Maggio, 2007: 419). Di dalam esainya tersebut, Spivak mempertanyakan definisi “subjek” sebagai Colonial (atau Barat) dan budaya lain sebagai “the other” (bdk. Maggio, 2007). Spivak memakai strategi Marx dan Derrida di dalam gugatannya tentang definisi “subjek-the other” (Maggio, 2007: 421). Spivak, menurut Maggio (Maggio, 2007: 424), dapat dikatakan berapi-api menuding namun pesimis mengenai proyek perlawanan poskolonial karena Barat sudah [terlanjur] terdefinisi sebagai sesuatu yang sudah jadi, ada di sana, ketika dibenturkan dengan The Other. Contoh yang diberikan Spivak adalah mengenai ritual sati India. Ia mengajukan pertanyaan: “What did sati say?” (dalam Maggio, 2007: 424).  Spivak merujuk sebuah “kenyataan yang dijejalkan” kepada masyarakat “primitif” India oleh penjajah “beradab” Inggris bahwa sati adalah ritual yang dikaitkan dengan crime atau kejahatan dan bukan sebagaimana seharusnya ditafsirkan: sebuah bentuk martirdom di dalam ajaran Hindu (Maggio, 2007: 425).

Lalu jika hendak mengaitkan sastra dengan kajian poskolonialisme, apa sajakah isu-isu yang dapat dimunculkan ke permukaan? Sebagaimana Bahri (1996) menjabarkan beberapa isu yang dapat dikaji di dalam kajian poskolonialisme sebagaimana berikut ini:

  • Bagaimana pengalaman kolonisasi (atau penjajahan) memiliki pengaruh terhadap orang-orang terjajah dan juga kepada para penjajah (colonizer)?
  • Bagaimana para penjajah dapat menguasai negara yang terjajah? Dengan cara apakah para penjajah melakukannya?
  • Jejak atau bukti apakah yang dapat ditemukan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berbau kolonial yang masih tersisa atau nampak di negara atau masyarakat poskolonial (bekas terjajah)?
  • Bagaimanakah efek jejak kolonialisme berpengaruh di dalam pembangunan dan modernisasi negara poskolonial?
  • Apa sajakah bentuk perlawanan terhadap pengaruh atau kontrol kolonial?
  • Bagaimanakah pendidikan dan bahasa kolonial berpengaruh terhadap budaya dan identitas negara atau masyarakat terjajah?
  • Bagaimanakah ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu medis Barat mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan yang ada? [atau Bagaimanakah ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu medis Barat mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan yang sudah ada?]
  • Bagaimanakah manifestasi identitas poskolonial setelah para penjajah berhasil terusir?
  • Sampai sejauh manakah dekolonisasi (sebuah rekonstruksi yang bebas dari pengaruh kolonial) sudah bisa terwujud?
  • Apakah doktrinasi Barat mengenai isu hibriditas di dalam masyarakat poskolonial cukup berhasil?
  • Apakah masyarakat poskolonial memandang sebuah urgensi bahwa isu psokolonialisme adalah mengembalikan keadaan ke masa pra-kolonial?
  • Bagaimanakah jender, ras, dan kelas sosial berfungsi atau memainkan perannya di dalam wacana kolonial dan poskolonial?
  • Apakah bentuk baru imperialisme menggantikan kolonialisme lama di suatu negara atau masyarakat poskolonial? Bagaimana bentuk dan cara kerjanya?

maka penerapannya di dalam analisis karya sastra adalah dengan menganalisis suatu karya menggunakan isu-isu tersebut. Bahri (1996) sendiri menambahkan beberapa isu tambahan yang bisa diikatkan langsung di dalam analisis karya sastra sebagaimana berikut ini:

  • Apakah ada sebuah urgensi bagi penulis untuk menggunakan bahasa kolonial agar dapat mencapai pembaca yang lebih luas ataukah ia hanya “boleh” memakai bahasa asli masyarakat poskolonial (colonial language vs. native language)
  • Penulis atau pengarang yang mana sajakah yang dapat dikategorikan ke dalam kanon poskolonial?
  • Bagaimanakah teks yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa non kolonial akan dapat memperkaya isu poskolonial?
  • Sudahkah “banjir” novel poskolonial mengarahkan kepada genre baru yang lain dari genre yang sudah mapan di dalam suatu masyarakat poskolonial?

serta dapat juga ditambahkan bahwa kajian poskolonialisme di dalam sastra dapat berfokus kepada tiga hal: hibriditas[i], sinkretisasi[ii], dan pastiche[iii] (bdk. Bahri, 1996) atau malah suatu bentuk kajian karya kolonialis (penjajah)[iv] (Lye, 2008).

REFERENSI

Bahri, Deepika. 1996. Introduction to Postcolonial Studies. Diakses 24 Mei 2012, pukul 10:00 a.m. (GMT +7) dari:

http://www.english.emory.edu/Bahri/Intro.html

Lye, John. 30 April 2008. Some Issues in Postcolonial Theory (©1998; 1997). Diakses 24 Mei 2012, pukul 12:07 p.m. (GMT +7) dari:

http://www.brocku.ca/english/courses/4F70/postcol.php

Maggio, J. 2007. ““Can the Subaltern Be Heard?”: Political Theory, Translation, Representation, and Gayatri Chakravorty Spivak”, Alternatives 32 (2007), 419-443.

Makaryk, I.R. (ed.). 1993. Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms. Toronto: University of Toronto Press.

Nandy, A. 1983. Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self Under Colonialism. Delhi: Oxford University Press.

Rukundwa, L.S. dan Andries G. van Aarde. 2007. “The Formation of Postcolonial Theory”, Hervormde Teologiese Studies, 63(3). hlm. 1171-1194.

Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Vintage Books.

Said, Edward. 25 Juli 2000 (12 Agustus 1996). A Devil Theory of Islam. Diakses tanggal 24 Mei 2012 pukul 11:01 a.m. (GMT+7) dari:

http://www.thenation.com/article/devil-theory-islam

Young, R.J.C. 2001. Postcolonialism: A Historical Introduction. London: Blackwell.

 

Creative Commons License
Sastra dan Kajian Poskolonial by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.


[i] Suatu konsep yang penting di dalam kajian poskolonial, merujuk kepada intregasi simbol dan praktik kultural yang dimiliki penjajah dengan yang dijajah. Hibriditas dapat disebut sebagai bentuk dinamisme budaya yang memperkaya kedua budaya yang terlibat namun juga dapat dilihat sebagai bentuk opresivitas budaya penjajah (Lye, 2008).

[ii] Suatu bentuk pencampuran budaya, praktik, gaya dan atau tema karya sastra bekas penjajah dengan bekas jajahan.

[iii] Suatu bentuk usaha meniru karya penjajah oleh bekas jajahan.

[iv] colonialist literature: karya sastra yang ditulis oleh seorang penjajah dan ditulisnya pada saat ia berada di daerah jajahan dengan menggunakan home country sebagai rujukan standar dan kadang kala juga sebagai audience dari karyanya (Lye, 2008)

5 Hal Konyol yang Sering Dikaitkan dengan Islam

Sebuah ringkasan dan terjemahan bebas disertai dengan komentar pada catatan kaki terhadap sebuah tulisan berjudul: “5 Ridiculous Things You Probably Believe About Islam” karya Jacopo della Quercia. Tulisan ini merupakan bentuk sindiran kepada mereka yang melihat Islam dengan phobia atau berdasar mitos. Teks asli bisa diakses di:

 http://www.cracked.com/article_18911_5-ridiculous-things-you-probably-believe-about-islam.html.

Hak cipta terpelihara dan ada pada Jacopo della Quercia. Untuk rujukan, silakan gunakan teks asli. Jika Anda mendapati ketidaktepatan terjemahan maka silakan dirujukkan langsung kepada teks asli; perlu pula diingat bahwa terjemahan ini bersifat bebas dan “hanya ringkasan”. Judul teks asli diterjemahkan sebagaimana judul ringkasan-terjemahan karena kekurangluwesan penerjemah mencari terjemahan pas dan juga enak didengar.

Seorang komentator konservatif[i] barusan menulis sebuah tulisan yang menyatakan bahwa 10% dari jumlah total muslim di dunia adalah teroris. Klaim ini sungguh berlebihan sebab jika dihitung dari jumlah total populasi muslim di dunia maka setara dengan 150 juta teroris, dan jika setiap “teroris” ini sekarang secara bersamaan membunuh 40 orang maka seluruh populasi non-muslim dunia bakal habis.

Klaim ini sungguh sangat berlebihan.

Oleh karena ada anggapan bahwa situs ini[ii] adalah “teman Islam” maka tulisan ini bakal sebagai sebuah upaya pembukti bahwa situs kami tidaklah demikian dan pula sebagai pembagi informasi kepada sidang pembaca beberapa salah-pandang mengenai Islam lewat 5 stereotip yang populer tentang Islam dan kami hitung mundur untuk Anda:

5. Jika Anda seorang wanita[iii] muslim, maka Anda pasti memakai jilbab[iv]

Saat kita berbicara tentang Islam, maka benak kita akan langsung melayang kepada gambaran tentang wanita memakai jilbab[v]. Bahkan jika sekumpulan wanita Islam berjilbab burqa dikumpulkan  di sebuah  ruangan kemudian Anda melempar bola football, maka Anda pasti akan gagal melempar ke orang yang Anda maksud karena Anda tidak tahu yang mana si A dan yang mana si B. Ha ha …

Dan tentu saja apa yang disembunyikan oleh para wanita muslim di dalam jilbab mereka pastilah hal yang sangat penting kan? Sebab jika yang ditutupi dengan jilbab bukanlah hal yang sangat penting, maka tidak mungkin bakal ada ribut-ribut masalah jilbab di Eropa kan? Ha ha …

Bahkan kita meyakini bahwa Islam membenci para wanita. Mau bukti? Bukankah Arab Saudi adalah satu-satunya negara yang masih melarang para wanita untuk menyetir mobil sendirian[vi] dan hukum rajam masih berlaku kepada pelaku zina[vii], jadi kita meyakini bahwa Islam terlalu kaku bagi wanita ….

Namun …

Punya pikiran bahwa semua wanita muslim terlihat ekstrem, teroris, atau kuno dengan jilbabnya adalah tidak pas[viii]. Mengapa demikian? Sebab bahkan di dalam tradisi Kristen dan Yahudi, hingga saat ini cara berpakaian wanita model serupa jilbab-nya Islam adalah lazim. Ketika kita melihat wanita muslim memakai jilbab, mengapa pikiran yang muncul di benak kita adalah ekstrem, teroris, atau kuno sedangkan saat melihat wanita Kristen atau Yahudi memakai “jilbab” malah benak kita muncul asosiasi yang berbeda: religius?[ix]

Bahkan ketika berbicara angka yang sebenarnya tentang jumlah wanita pemakai jilbab dibandingkan dengan mereka yang tidak memakai jilbab … maka sebagai contoh, di Perancis, negeri dengan populasi wanita muslim 3 juta orang, berdasar data kepolisian Perancis hanya 367 orang saja yang memakai burqa/niqab[x]. Angka persentase wanita muslim Perancis yang memakai burqa dengan yang tidak memakainya,  juga serupa di negara-negara Eropa lainnya.

Memang benar bahwa ada negara yang mewajibkan wanita muslim memakai jilbab, namun jika dihitung berdasarkan total populasi muslim di seluruh dunia, maka jumlahnya tidak sampai 10%.

Dan …

Justru menjadi isu yang sangat penting namun tidak pernah ditonjolkan adalah: dari 5 negara dengan jumlah muslim terbesar, 4 negara di antaranya sudah pernah memiliki kepala negara wanita.[xi]

4. Para Pendiri Negara Kita[xii] Pasti Tidak Akan Mengamini Stereotip terhadap Islam

Pasti gampang membayangkan bagaimana mimik muka para pendiri negara kita ketika melihat Amerika Serikat sekarang yang godless. Dan tentu juga bakal gampang untuk membayangkan bagaimana sikap mereka terhadap suatu agama yang benar-benar mendukung kekerasan dan terorisme sebagaimana kini distereotipkan kepada Islam. Pastilah mereka bakal mencak-mencak gak ketulungan untuk segera memberangus Islam; jika seandainya Islam benar-benar sesuai dengan “tuduhan”.

Dan sungguh hebat dan salut kepada orang-orang modern yang kini penuh semangat melihat Islam sebagai ancaman dan lalu menggembar-gemborkan dibikinnya Undang-undang pelarangan hukum atau ajaran Islam merasuki produk hukum kita … Ah, berlebihan sekali orang-orang modern ini … bahkan mereka bilang Islam adalah ancaman nyata … ha ha … Thomas Jefferson[xiii] pasti kepingkal-pingkal di dalam kuburnya, menertawakan orang-orang modern kayak gini.

Pingin tahu yang sebenarnya …

Bahwa tercatat di dalam sejarah, para Pendiri Negara Amerika Serikat adalah pengagum Islam. Thomas Jefferson malah mempelajari Quran dan juga bikin acara “buka puasa bulan Ramadan” untuk pertama kali di Gedung Putih.

John Adams, tokoh Pendiri Amerika Serikat lainnya, malah mengatakan bahwa Muhammad [p.b.u.h] sebagai salah satu penelusur kebenaran. Benjamin Rush, tokoh lainnya, yang pernah mengusulkan pengajaran Bible di seluruh sekolah di Amerika Serikat kala itu, justru tidak menafikan urgensi mempelajari ajaran Kong Hu Cu dan Muhammad. Begitu juga atas Benjamin Franklin dan George Washington yang tidak phobia terhadap orang Islam.

Bahkan …

Tahu gak mengapa para Pendiri Negara Amerika Serikat tidak membenci Islam?

Justru negarawan Islam-lah yang pertama mengakui kemerdekaan kita.[xiv] Sultan Muhammad bin Abdullah dari Maroko adalah tokoh dunia pertama yang mengakui kemerdekaan kita dari Inggris pada tahun 1777. Alasan lain mengapa para Pendiri Negara kita tidak membenci Islam adalah mereka cerdas dan tahu untuk membedakan antara terorisme dengan Islam.

3. Kita Selalu Menganggap Bahwa Islam adalah Arab

Inilah sesuatu yang sering terjadi. Ketika kita berbicara tentang Islam, maka di dalam benak kita adalah Islam = Arab. Jadi kita selalu menganggap bahwa orang yang tinggal di Timur Tengah bukan Yahudi adalah pasti muslim dan kita juga menganggap bahwa mayoritas muslim tinggal di Arab.

Namun …

Ketika berbicara tentang jumlah muslim seluruh dunia yang sebenarnya, hanya 20% saja yang tinggal di Arab (atau Afrika Utara). Dan ini justru yang aneh dari pola pikir yang aneh tentang Islam=Arab. Saat kita tahu bahwa dominasi 22% umat Kristen adalah orang Afrika, maka benak kita tidak pernah mengatakan bahwa Kristen=Afrika.

Lalu jika menganggap bahwa mayoritas muslim tinggal di Timur Tengah, maka keyakinan seperti itu  juga tidak benar. Berdasar statistik, justru 61,9% muslim tinggal di luar Timur Tengah. Justru kebanyakan muslim tinggal di wilayah Asia-Pasifik (Indonesia, Malaysia) dan di wilayah sub-benua India (Pakistan, Bangladesh).

Lalu jika Anda meyakini bahwa semua orang Arab adalah muslim, maka Anda salah lagi. Tahu gak kalau 10% dari populasi orang Arab di seluruh dunia adalah pemeluk Kristen? Dan 10% ini setara dengan 14 juta orang Arab adalah pemeluk Kristen![xv]

2. Tradisi Barat Merupakan Tradisi yang Lebih Beradab Dibandingkan Tradisi Islam yang Konon Brutal

Bahkan jauh sebelum digembar-gemborkannya istilah terorisme, di dunia Barat di masa lalu sudah distereotipkan bahwa Islam adalah ajaran brutal. Stereotip ini muncul sebab phobia akan kecepatan Islam memperluas pengaruh di dunia. Hindu butuh kurang lebih 1000 tahun untuk dapat diterima secara umum di India, ajaran Kristen butuh kurang lebih 400 tahun dari sebuah ajaran yang diuber-uber tentara Romawi menjadi agama resmi di kerajaan Romawi. Islam hanya butuh kurang lebih 100 tahun untuk menjadi ajaran yang menancap kuat di Timur Tengah, sebagian Afrika, dan di beberapa wilayah lain.

Lalu muncullah stereotip yang entah darimana sumbernya bahwa Islam memaksa orang-orang masuk menjadi pengikut Muhammad [p.b.u.h] dengan pedang. Bahkan sebelum peristiwa 9/11 pun, gambaran Islam yang bengis dan kejam sudah menjadi stereotip yang lazim.[xvi]

Namun …

Sesungguhnya adalah demikian:

Justru Muhammad-lah yang membuat aturan perang[xvii] yang membuat pejuang-pejuang Kristen saat itu beberapa di antaranya takjub. Aturan-aturan tersebut di antaranya adalah:

  • Tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, orang yang tidak bersalah; termasuk pemimpin agama yang non-kombatan[xviii].
  • Tidak boleh membunuh dengan keji terhadap hewan.
  • Tidak boleh merusak atau membakar bangunan [penduduk].
  • Tidak boleh mencemari sumber air.

Secara ringkas, dapatlah dikatakan bahwa Muhammad p.b.u.h mengajari pasukannya untuk berperang like freaking hippies[xix] dan Muhammad p.b.u.h berhasil melakukannya. Sehingga ketika tercatat di dalam sejarah Perang Salib bagaimana para tentara Kristen mempermainkan kepala tentara Muslim yang berhasil mereka penggal saat perang, para tentara Kristen kaget mendapati bahwa tentara Muslim di bawah arahan Muhammad p.b.u.h justru memperlakukan mereka dengan terhormat ketika mereka kalah.

1.  Islam Membuat Stagnan Kemajuan Peradaban dan Pemeluknya Tidak Mengalami Kemajuan Ilmu Pengetahuan

Jikalau dicermati, terdapat 3 hal yang distereotipkan kepada Islam: 1) Islam mengekang wanita, 2) Islam mengajarkan kekerasan, 3) Islam menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan.

Pertanyaan yang seharusnya diajukan adalah: Apa benar demikian? Bukti apakah yang menyatakan demikian?[xx] Justru berdasar survei, pemeluk Islam-lah yang bisa menerima dengan baik konsep-konsep di dalam ilmu pengetahuan modern karena mereka mendapati bahwa kitab suci mereka, Quran, tidak bersifat kontradiktif.[xxi] Dan patut pula Anda baca buku sejarah bahwa pada masa keemasan Islam, ilmu pengetahuan juga turut berkembang pesat. Masih ingat Averoes (Ibnu Rusyd), Avicena (Ibu Sina), dan Algebra (Al-Jabar)? Dan percayakah Anda bahwa “penguasaan wilayah” oleh para Kalifah Islam juga meninggalkan jejak pendirian sekolah, perpustakaan, tempat pelayanan masyarakat, serta sistem sosial yang tidak pernah ditonjolkan oleh buku-buku sejarah mainstream?[xxii] Bahkan jikalau tentara Islam kala itu berhasil menembus gabungan kekuatan tentara-tentara kerajaan Kristen di Eropa saat Perang salib, mungkin Renaissance atau Aufklarung atau Fajar Budi tidak diperlukan di Eropa …

Jadi, masihkah Anda meyakini di dalam benak Anda mengenai “mitos” bahwa Islam adalah demikian dan demikian?


[i] Menurut telusur peringkas-penerjemah [Dipa Nugraha], yang dimaksud penulis asli artikel ini adalah Glenn Beck. Silakan verifikasi di situs ini:

http://religion.blogs.cnn.com/2010/12/12/fareed-zakaria-glenn-beck-wrong-about-10-percent-muslims-being-terrorists/

[ii] Situs tempat teks/artikel asli ini diterbitkan: http://www.cracked.com/

[iii] Digunakannya istilah “wanita” dan bukan “perempuan” di dalam teks ringkasan dan terjemah ini bukan karena peringkas+penerjemah menganggap bahwa istilah “wanita” lebih baik daripada istilah “perempuan”. Untuk kajian lebih lanjut mengenai isu feminisme, gender bias, post-feminisme, juga quo vadis feminisme, silakan Anda baca tulisan saya “Perempuan, Wanita, atau Betina?” di blog ini (dipanugraha.blog.com – sekarang pindah ke dipanugrahablog.wordpress.com). Untuk akses cepat, Anda bisa klik Home untuk mencari link ke artikel tersebut.

[iv] Subjudul sebenarnya adalah: “Jika Anda seorang wanita muslim, Anda harus memakai jilbab”. Ada sedikit perubahan tentang kata konklusif “pasti” dari teks asli “harus”. Meskipun ada beberapa aliran pemikiran Islam yang tidak mewajibkan jilbab namun menganjurkannya saja, namun berdasar apa yang diyakini oleh sebagian besar ulama Islam, jilbab adalah pakaian wajib kepada wanita muslim yang sudah dewasa. Sebenarnya salah-pandang tentang jilbab yang hanya merupakan tradisi berpakaian di dalam agama Islam merupakan hal yang aneh sebab di dalam tradisi Ibrahim, jilbab adalah pakaian yang lazim. Untuk pemahaman yang lebih lanjut, silakan kunjungi:

http://www.thewaytotruth.org/womaninislam/judeochristian.html

setelah Anda membaca artikel “The Veil in Islam and The Judeo-Christian Tradition” di situs tersebut, Anda akan mendapati bahwa semisal di dalam Bible akan didapati perintah keras untuk memakai jilbab (I Korintians 11:3-10).

Sedangkan untuk rujukan bagaimana jilbab “dikenal” di dunia Kristen-Yahudi-Islam, silakan kunjungi:

http://www.jewishledger.com/2012/02/new-photo-exhibition-examines-israels-veiled-women/

[v] Di dalam teks asli, ada penggunaan istilah burqa meski subjudul berbunyi veil. Pemakaian kedua istilah tersebut secara silih berganti agak sedikit mengganggu, sebab veil bisa merujuk kepada burqa/niqab, atau jilbab saja.

Perlu pula diketahui bahwa “cara berpakaian yang diatur” bukan tertuju kepada wanita muslim saja, namun cara berpakaian juga diatur kepada laki-laki muslim. Ketika berbicara tentang burqa/niqab/jilbab, di dalam jamaah Islam yang dikatakan paling keras sekalipun, ada perbedaan tentang wajib tidaknya “cadar” di dalam aturan berjilbab. Untuk mendalami isu ini, silakan cek perbedaan antara Al Albani dengan Utsaimin mengenai cadar.

Patut pula ditambahkan di sini bahwa ada pula anggapan bahwa jilbab adalah pakaian asli Arab. Anggapan ini tidaklah tepat sebab perintah “berjilbab dengan aturan tertentu” adalah dimulai lewat ajaran Muhammad p.b.u.h. Pada beberapa riwayat hadist, wanita-wanita Islam saat itu mendapati bahwa cara berpakaian jilbab sesuai ajaran Muhammad p.b.u.h. adalah hal yang baru bagi mereka karena mereka bertanya dan atau ditegur tentang “bagaimana”-nya jilbab itu diterapkan.

Kemudian jikalau Anda hendak membentrokkan isu jilbab dengan feminisme, maka silakan Anda mempelajari lebih dalam tentang isu-isu post-feminism. Jangan Anda mendalami feminisme lalu kemudian berteriak-teriak tentang “pembebasan wanita” kepada Islam tanpa tahu pemuliaan Islam terhadap wanita.

[vi] Saya melihat bahwa ini sudah jelas maksudnya JIKA dilihat dari perspektif Islam.

[vii] Ketika berbicara tentang hukum rajam kepada pelaku zina, maka pemahaman tentang “hukuman kepada pelaku zina menurut Islam” harus dikuasai. Rajam tidak serta merta diberlakukan kepada setiap pelaku zina. Perlu pula dicatat bahwa zina tidak sama dengan perkosaan. Untuk merujuk tentang zina dan beda hukumannya silakan baca Quran 17:32; 24:2. Kemudian untuk hukum rajam kepada pelaku Zina sendiri ada terdapat kisah justru pelaku Zina-lah sendiri yang meminta dirajam sebagai penebusan dosa di hadapan Tuhan, silakan baca tulisan di situs ini:

http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/2630/?&show_interstitial=1&u=/journal/item

Lalu apakah di dalam teologi Kristen, hukum rajam sudah dihapus? Untuk menjawab ini, silakan dimulai dengan ucapan Jesus p.b.u.h dengan tegas di Bible tentang hukum Torat (Matius 5:17-18; 23:1-3) dan kemudian silakan cek di dalam Bible: Keluaran 20:14; Ulangan 22:22, 25:11-12; Imamat 20:10, 21:9; Amsal 6:32. Sedangkan argumen penghapusan hukum rajam di dalam Yohanes 8:1-11, silakan diperhatikan kalimat: “Mereka bertanya begitu untuk menjebak Jesus, supaya mereka dapat menyalahkan Jesus” dan lalu justru yang paling penting adalah kalimat: “Sekarang pergilah, jangan berdosa lagi”. Ini artinya bahwa zina adalah perbuatan yang berkonsekuensi dosa, dan ketika sudah bertobat maka dosa terhapus asal tidak diulangi lagi (?). Bahkan ketika berbicara secara luas mengenai apakah hukum Torah benar-benar dihapus oleh Jesus p.b.u.h atau hanya digenapi? Maka perdebatan tentang itu di dalam teologi Kristen berkembang ke ranah murni “hermeneutika-apologetika”. Beberapa apologetika dirujukkan kepada tulisan-tulisan Paulus di dalam Perjanjian Baru. Pendasaran teologi pada tulisan Paulus bagi beberapa sarjana Kristen adalah hal yang lumrah karena sebagaimana pujian Michael H. Hart atas tulisan-tulisan Paulus: Kekristenan dibangun justru oleh Paulus. Konsep trinitas, tidak wajib sunat, tiada pembedaan pengajaran kepada gentile, Sabbath menjadi Minggu, dsb. dirujukkan kepada Pauline writings. Mereka yang menjustifikasi perubahan “penerapan” The Law (of Moses) atau Hukum Torat, mengatakan bahwa sekte Kristen yang mengikuti tradisi asli Jesus p.b.u.h. sebagai bentuk legalism. Untuk pemahaman lebih lanjut tentang ini, silakan baca The Problem of Paul  di situs:

http://www.jesuswordsonly.com/Recommended-Reading/problempaulallfaithsfollowingjesus.html

Atau jika langsung menuju tulisan tersebut,silakan klik:

http://www.jesuswordsonly.com/images/stories/Lessons/The%20Problem%20of%20Paul.pdf

sumber lain yang mempertanyakan otoritas Paul sebagai “rasul ke-13” yang justru meletakkan pondasi ke-Kristenan yang berbeda dengan ajaran Jesus p.b.u.h. bisa Anda kunjungi di situs ini:

http://www.problemswithpaul.com/documents/QuestionsAboutPaul.pdf

[Untuk komentar atau verifikasi, silakan kirim kepada saya, Dipa Nugraha; surel: dipa.nugraha@gmail.com].

[viii] Di dalam teks asli, ilustrasi dari argumen ini ditampilkan dengan gambar-gambar.

[ix] Di dalam teks asli, ilustrasi dari berbedanya pikiran yang muncul di benak kita diprovokasi lewat tampilan gambar sekumpulan wanita Kristen sekte tertentu yang “diwajibkan” memakai baju “aneh” ala Little House on the Prairie.

[x] Burqa/niqab lebih rapat dari jilbab.

[xi] “Wanita tidak boleh bicara di dalam gereja” merujuk kepada 1 Korintian 14:34-36, 1 Timotius 2:11-13, dan Kitab Kejadian 3:16 dianggap oleh sebagian sarjana Kristen sebagai pengganjal para wanita Kristen untuk menduduki posisi kepala negara. Terpilihnya wanita muslim di beberapa negara yang penduduknya mayoritas Islam justru menunjukkan tidak terkekangnya wanita di negara-negara tersebut dibandingkan dengan negara lainnya.

Lepas dari fakta yang sering kita abaikan tentang keleluasaan wanita muslim untuk menjadi kepala negara, jika berbicara mengenai “kepemimpinan wanita muslim”, ada ulama Islam yang melihat bahwa larangan wanita untuk menjadi kepala negara adalah ketika negara yang dipimpinnya adalah negara Islam. Kebolehan wanita muslim menjadi kepala negara terjadi ketika sebuah negara adalah negara demokrasi. Mungkin pembolehan dari salah satu ulama ini merujuk pada nature dari sistem demokrasi yang mengatakan bahwa negara dipimpin tidak hanya oleh kepala negara namun juga Yudikatif dan Parlemen. [Untuk verifikasi dan validasi, silakan kirim ke surel saya]

[xii] Kita di sini merujuk kepada negara Amerika Serikat. Penulis asli teks ini, Jacopo della Quercia, adalah warga negara Amerika Serikat.

[xiii] Salah satu Pendiri Negara Amerika Serikat. Ia termasuk tokoh yang sangat penting di dalam pendirian negara Amerika Serikat bersama George Washington.

[xiv] Negara kita di dalam konteks tulisan ini adalah Amerika Serikat. Sebagaimana kita ketahui, dulu Amerika Serikat awalnya adalah koloni Inggris.

[xv] Untuk contoh yang paling gampang tentang orang Arab yang Kristen, silakan cek jumlah umat Kristen di Lebanon, Mesir, dan Syiria.

[xvi] Peristiwa 9/11 merupakan revitalisasi dari stereotip bahwa Islam = Kekerasan = Terorisme. Padahal jika Anda mau mencari tahu dan tidak apriori terhadap fakta-fakta yang sengaja disembunyikan oleh “pihak yang berkepentingan terhadap buruknya citra Islam”, maka Anda akan mendapati bahwa peristiwa 9/11 adalah sebuah rekayasa. Meskipun perkataan bahwa 9/11 adalah rekayasa disebut oleh media massa besar sebagai hanya ilusi Teori Konspirasi namun jika Anda berkenan untuk mempelajari tulisan-tulisan (beserta bukti) serta petisi yang ditandatangani oleh ribuan orang Amerika Serikat yang ahli di bidang-bidang tertentu yang terkait dengan konstruksi bangunan, arsitektur, detonasi, kebijakan militer, manipulasi politik perang, nuklir di situs:

http://911truth.org/

yang menyatakan bahwa peristiwa 9/11 adalah akal-akalan justifikatif (casus belli) untuk menyerang negara tertentu yang menguntungkan bagi beberapa orang maka Anda akan mudah mengaitkannya dengan buku yang ditulis oleh Samuel Huntington yang berjudul Clash of Civilizations bahkan mungkin Anda juga bakal tertarik dengan kemiripan peristiwa Pearl Harbor dengan 9/11. Jika Anda tertarik, silakan kunjungi:

whatreallyhappened.com/WRHARTICLES/pearl.php.

Sebagai catatan tambahan, isu yang perlu diperhatikan selain fokus menyoal “perang [ideologi] peradaban” adalah “minyak” sebagaimana bisa Anda rujukkan lewat situs ini:

http://911truthnews.com/the-facts-speak-for-themselves/

Jikalau Anda tertarik mempelajari lebih dalam tentang segala isu tersebut dan bagaimana peran media massa mainstream mengakali dan menyembunyikan fakta-fakta, silakan pelajari tulisan Antonio Gramsci tentang hegemoni, lalu Jacques Derrida tentang dekonstruksi, kemudian tulisan-tulisan Edward Said tentang dekonstruksi narasi sejarah dunia arab, dan juga tidak ketinggalan tulisan Gayatri Spivak mengenai penghilangan narasi sub-altern.

Perlu saya tambahkan bahwa meskipun pandangan kritis Edward Said tentang bagaimana Barat memotret Timur [dalam konteks spesifik, Islam] kemudian berkembang pemikiran Orientalism in Reverse (Orientalisme Mundur atau Orientalisme Berbalik) sebuah kritik balik atas provokasi Said – namun menjadi tidak bijak ketika menafikan beberapa poin penting yang diunjukkan oleh Said. Untuk perkenalan bagaimana sebenarnya pengusung Orientalisme in Reverse salah memahami sebagian dari pandangan Edward Said dapat dirujuk kepada tulisan Joseph Massad, The Intellectual Life of Edward Said di dalam Journal  of Palestine Studies XXXIII,  no. 3 (Spring 2004), hlm. 7-22.

Yang menarik dari isu orientalisme vs. orientalisme in reverse di Indonesia adalah digaungkannya orientalisme in reverse oleh beberapa ‘tokoh’ padahal jika hendak fair menampilkan kedua ide dari pemikiran ini maka banyak hal yang dapat kita pelajari untuk kemajuan bangsa. Bersikap elusif, kalis, dan stigmatis terhadap ide orientalisme – tanpa mengulas orientalisme dengan memadai – serta menggegapgempitakan orientalisme in reverse adalah bentuk ketidaktepatan.

Joseph Massad adalah assistant professor dalam bidang modern Arab politics and intellectual history di Columbia University. Ia juga penulis buku Colonial Effects, the Making of National Identity in Jordan (Columbia University Press, 2001) dan Desiring Arabs (University of Chicago Press, 2007).

Edward Said, seorang Kristen Palestina meskipun ada yang mencatatnya sebagai agnostic, terkenal dengan istilah orientalisme. Ia adalah professor dalam English and Comparative Literature di Columbia University.

[xvii] Perang perluasan wilayah di dalam penegakan Islam adalah bukan memaksa orang masuk Islam di bawah ancaman pedang / kematian. Keyakinan ini adalah gembar-gembor yang tidak benar dan sengaja untuk menjelekkan citra Islam. Jika Anda mau mencari tahu sejarah Islam dan bagaimana Islam disebarkan, carilah buku yang ditulis ole akademisi yang disetujui oleh Islam dan non-Islam (jika Anda ogah membaca buku sejarah Islam dari penulis Islam). Jikalau Anda membaca buku sejarah Islam yang ditulis oleh mereka yang berkepentingan merusak atau memberikan stereotip buruk kepada Islam, berarti Anda tidak serius untuk bersikap adil di dalam mencari kebenaran akan sesuatu. Perluasan wilayah oleh “pejuang-pejuang Islam” di bawah komando Muhammad p.b.u.h adalah demi keleluasaan penyebaran pengaruh Islam; dan tidak ada pemaksaan masuk Islam (sebab ada ayat tentang la ikraha fiddin), tidak ada perusakan tempat ibadah (sebab di surat al Hajj 20:40 di dalam Quran menyatakan demikian), dan tidak ada pungutan yang aneh-aneh kecuali pengganti zakat teruntuk non-muslim dzimmi (sebab kepada muslim memang kena wajib zakat dari “negara Islam” sedangkan kepada non-muslim terdapat yang serupa; pemisalan mirip adalah pajak di dunia modern). Lalu bagaimana dengan perusakan gereja atau sinagog sebagaimana akhir-akhir ini terjadi? Jika Anda bijak dan adil menghakimi suatu kasus, maka Anda akan merujuk kepada surat al Hajj 20:40 dan melihat bahwa aktivitas menyimpang bisa dilakukan oleh pemeluk agama mana saja.

Bahkan jika hendak bercanda atas keyakinan salah bahwa Islam disebarkan dengan pedang dan memaksa pemeluk lain untuk masuk Islam dengan ancaman pedang, maka secara logika yang salah tersebut, tidak akan ada oang Kristen dan Yahudi masih hidup pada saat Muhammad p.b.u.h secara efektif menguasai wilayah yang membentang di seluruh semenanjung Arab dan sebagian Afrika pada saat itu. Faktanya justru tidak seperti itu bukan? Kemudian jika anda masih tertarik dengan beberapa isu yang “dituduhkan” kepada Islam (termasuk tuduhan kejahatan pemenggalan kepala kepada “seluruh” suku Yahudi), silakan baca ‘tulisan rujuk link-link’ saya di blog ini (dipanugrahablog.wordpress.com) yang berjudul “Some Questions Addressed to Islam”. Untuk pencarian artikel dengan mudah, silakan klik Home untuk mencari link artikel dimaksud.

[xviii] Non-kombatan = bukan partisipan perang lewat angkat senjata.

[xix] Saya hendak menghilangkan istilah ini, namun karena teks asli tulisan ini terdapat istilah ini yang, mungkin kurang sopan ditujukan kepada pejuang Islam, namun pesan dari teks asli mungkin akan sedikit berkurang dengan hilangnya istilah ini. Oleh karena itulah, istilah ini tetap diambil utuh dari teks aslinya.

[xx] Ketika berbicara ilmu pengetahuan dan kemajuan, jangan dirancukan dengan liberalisme. Legalisasi prostitusi, perjudian, seks bebas, aborsi, pornografi, riba keji, dan alkohol-bebas bukanlah bentuk kemajuan. Hanya Islam yang secara konsisten menentang hal-hal serupa itu. Perlu pula dicatat bahwa bisnis yang terkait dengan hal-hal itu merupakan bisnis “besar” sehingga ketika berbicara tentang “perang ideologi”, Islam merupakan musuh utama dari ideologi kapitalisme liberal karena Islam adalah buruk bagi bisnis “besar” tersebut.

[xxi] Untuk teori Penciptaan Bumi dan Manusia, umat Islam mendapati Harun Yahya atau Adnan Oktar mengajukan teori yang berbeda dengan teori Evolusi. Justru teori yang semodel dengan teori Harun Yahya, Creationism, dipakai oleh beberapa sekolah di Amerika Serikat untuk pemerkaya keilmuan para siswa tentang adanya Pencipta dari alam semesta dan bukan terjadi secara kebetulan dan juga bahan pembanding Teori Evolusi Darwin.

Layak pula untuk diketahui bahwa Harun Yahya hingga kini secara konsisten “diserang” oleh pendukung teori evolusi Darwin dan juga oleh Wikipedia. Sebagai bantahan terhadap sebuah artikel di Wikipedia mengenai “cacat” Harun Yahya, silakan kunjungi:

http://replytowikipedia.com/

[xxii] Silakan baca catatan kaki xvi mengenai tulisan siapa saja yang harus dibaca untuk memahami konsep “penghilangan” bagian-bagian tertentu dan pendistorsian hal-hal penting di dalam sejarah oleh penguasa; pemegang otoritas penulisan narasi.

Membayangkan Sesuatu yang Hilang

Sebuah Pembicaraan terhadap Lagu “Imagine” dan “Losing My Religion”

Apa yang ada di benak kita saat mendendangkan dua lagu yang sempat menjadi hits dari John Lennon “Imagine” dan lagu dari REM yang berjudul “Losing My Religion”? Beberapa pasti bakal menganggap bahwa kedua lagu tersebut sebagai “berbahaya” namun mungkin pula ada sebagian menganggap kedua lagu tersebut sebagai “baik-baik saja”. Mereka yang mengatakan bahwa lagu “Imagine” berbahaya oleh sebab mereka merujuk pada beberapa kalimat di dalam lagu tersebut yang menyiratkan gerakan anti-agama dan serupa dengan lagu “Imagine”, lagu “Losing My Religion” juga bernada serupa. Lalu darimana sebagian yang lain mengatakan bahwa kedua lagu tersebut disebut sebagai “baik-baik saja”? Alasan mereka untuk menyebut kedua lagu tersebut sebagai “bukan berbahaya” akan tetapi “baik-baik saja” dilandasi oleh pemaknaan terhadap kedua lagu tersebut lewat prosedur pemaknaan semiotika dan bukan literal. Secara umum, sebenarnya apapun hasil pem-baca-an seorang pembaca baik literal maupun semiotik, jika ditelaah lebih lanjut selalu merupakan suatu hasil dari penandaan. Ini merupakan hal yang tidak bisa disangkal sebab bahasa sendiri adalah media yang bersifat simbol. Jadi kedua pendapat sebenarnya bermain dengan bahasa; kedua pendapat sebenarnya bermain semiotika.

Buchbinder sendiri mengatakan bahwa pem-baca-an secara niscaya adalah suatu proses memperlakukan suatu teks dengan cara-cara tertentu sehingga makna diperoleh. Makna yang diperoleh inilah dapat disebut sebagai pesan yang ada di dalam teks.

First, there are the sets of relation and distinctive features common to all utterances in the language; these are opposed in turn to an aspect that may be called poetic. As Roman Jacobson said that the poetic function is emphasize merely on for the message for its own sake (1991: 41).

kemudian ia melanjutkan bahwa:

The reading of poetic texts then must first be seen in a correct relation to the reading of more ordinary texts. Features such as rhyme, rhythm, repetitions of words, phrases or images draw the reader’s attention away from any reference to the context of reality (1991: 42.)

namun  apakah pem-baca-an semiotika meluputkan secara total sebuah karya sastra terhadap dunia sesungguhnya? Jawabannya adalah tidaklah demikian. Dunia sesungguhnya tetaplah cermin utama di dalam pemaknaan sebuah karya sastra. Problem utama dari usaha naif untuk bersikap puritan di dalam mem-baca dus memaknai sebuah karya adalah dengan memperlakukan karya lepas dari induknya, yaitu: dunia, bahasa, pengarang. Semua karya sastra memakai medium bahasa dan ketika ia terlahir ke dunia ia tentulah dibuat: 1) karena ada dunia sebagai cerminnya, dan 2) mengikuti kaidah konstruksi bahasa sebagai landasan eksistensi kebermaknaannya. Hal demikian telah pula disinggung oleh Chandler sebagai berikut: “A text is an assemblage of signs (such as words, images, sounds and/or gestures) constructed (and interpreted) with reference to the conventions associated with a genre and in a particular medium of communication(2007: 5)” dan justru aspek linguistik bahasa-lah yang kemudian menjadi tumpuan atau jangkar (anchorage) bagi pemaknaan sebuah karya sebagaimana dikatakan oleh Barthes bahwa “Linguistic elements can serve to ‘anchor’ (or constrain) the preferred readings of an image: ‘to fix the floating chain of signifieds‘” (dalam Chandler, 2007: 204).

Mengapa tadi dikatakan bahwa dunia, bahasa, pengarang ambil peranan di dalam pem-baca-an suatu karya? Apakah dengan memasukkan pengarang ke dalam sesuatu yang mencelupi pem-baca-an berarti makna yang dihasilkan berarti menjadi sesuatu yang rigid? Atau dengan kata lain, jikalau pengarang mengatakan bahwa karyanya memiliki arti A dengan demikian berarti kita mengatakan bahwa tiada penafsiran lain terhadap karya tersebut yang sah selain A? Tidaklah demikian. Sebab sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pem-baca-an merupakan suatu keadaan aktif memberikan makna terhadap ruang-ruang kosong yang ada di dalam teks. Ia adalah keadaan aktif mengkonstruk imaji dari apa yang tertulis di dalam teks sebagaimana dikatakan oleh Iser (dalam Selden dkk., 1997: 50). Kondisi ini juga dinyatakan oleh Gadamer (dalam Selden dkk., 1997: 54) sebagai pengisian ruang kosong di dalam teks sebagai bentuk interaksi pembaca dengan maksud pengarang yang berwujud teks.

Apa yang dikatakan oleh Gadamer tidaklah sesederhana itu. Ia menambahkan bahwa interaksi ini berlangsung dalam kondisi kekinian pembaca; bahwa apa yang dilakukan pembaca di dalam membaca (atau mengisi ruang kosong) berlangsung dalam taraf pengetahuan pembaca. Tidaklah mungkin pembaca membuat tafsiran di luar pemahaman bahasa dan pengetahuan yang dimilikinya pada saat proses pemaknaan berlangsung (dalam Abulad, 2007: 17-19 dan Palmer, 2005: 290-292). Sehingga proses pembacaan adalah bisa dikatakan sebagai “pembacaan bersama teks-teks lain” dan “pemaknaan terkotori [atau terbantu?] oleh teks-teks yang dibaca sebelumnya” atau Kristeva menggunakan istilah intertekstualitas teks (dalam Chandler, 2007: 197 dan Junus, 1985: 87-88). Perlu digarisbawahi bahwa “pengetahuan tentang pengarang” oleh pembaca tidak bisa dilepaskan dari penafsiran semiotika meskipun pembacaan semiotika bukanlah pembacaan dalam rangka mencari makna yang dimaksudkan oleh pengarang. Sebab sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pemaknaan adalah bersifat kekinian pembaca (Gadamer Selden dkk., 1997: 54) dan pemaknaan telah ditakdirkan bukanlah pekerjaan untuk menyamakan makna yang kita peroleh dengan makna yang dimaksudkan pengarang (Barthes, 1977). Sebab merujuk kepada apa yang dikatakan oleh Kristeva dan juga Gadamer, pem-baca-an berlangsung bersama teks-teks lain dan pada akhirnya akan menghasilkan produk kondensasi berupa “kompromi” simbol dan makna; atau berupa fusi horizon pembaca dengan pembuat teks.

Ok, dapatlah dimahfumi hal demikian. Namun bersandar kepada apa yang telah kita bicarakan di paragraf awal tulisan ini, keadaannya tidaklah segampang itu. Bagaimana jika pembaca BAHKAN ketika sudah mendapatkan kondensasi simbol dan makna sebenarnya masih dihantui oleh sesuatu yang telah pernah ia sengaja tidak ambil? Bagaimana jika semesta simbol dan makna yang telah ia pilih ternyata masih dibayang-bayangi oleh alusi yang lain? Pemikiran demikian dimuntahkan oleh Derrida (dalam Belsey, 2001: 116) untuk menunjukkan bahwa pemaknaan adalah sebuah permainan yang tak pernah usai dimainkan. Sebenarnya Gadamer sudah menyinggung tentang hal itu. Kedinamisan bahasa dan semesta makna membuat pemaknaan yang tetap musykil terjadi. Pem-baca-an dan tafsir selalu bersifat kekinian sedangkan simbol-makna lain sebenarnya tidak pernah terhapus namun hanya tercoret saja karena “itu” masih tetap di sana; bersama dengan pemaknaan yang telah kita buat dan “itu” bisa saja secara radikal menyeruak menggugat dan lalu menggantikan makna yang sebelumnya telah jadi.

Kembali kepada dua lagu yang kita bahas di dalam tulisan ini, Imagine dan Losing My Religion memberikan “tantangan” bagi pem-baca-an serius. Jika kita baca lirik Imagine maka beberapa baris akan memberi permainan penentuan makna [sementara]. Ketika seorang pembaca berhadapan dengan dua baris pertama lagu ini,

Imagine there’s no heaven, it’s easy if you try
No hell below us, above it’s only sky

ia bisa saja mengatakan bahwa lagu ini tidaklah menggugat agama, lagu ini adalah lagu yang mengkritik bagaimana orang-orang yang beragama menyalahgunakan agama untuk mengklaim langit mendukung mereka padahal sebenarnya nafsu keserakahan ada di dalam hati mereka. Mungkin jika menyinggung ini, seorang pembaca ada kemungkinan akan membayang pikiran pada satu baris dari Counting Crows dalam lagu Big Yellow Taxi: “They paved paradise to put up a parking lot“. Bayangan pembaca bahwa lagu ini bukan tentang memusuhi agama semakin diperkuat mungkin dengan kata pertama imagine dan baris penutup bait pertama dari lagu ini adalah “imagine all the people, living for today“. Pembaca dapat saja mengatakan bahwa kata kuncinya adalah living for today. Jadi dia mendapatkan dua hal dari baris ini: 1) bahwa lagu ini hanya sebuah perumpamaan, dan 2) lagu ini menggugat keadaan terkini, saat orang-orang menggunakan agama sebagai topeng atas keserakahan.

NAMUN pembaca tersebut bisa saja di dalam pem-baca-annya merasa terbayang-bayangi oleh apa yang telah dinyatakan oleh John Lennon, penulis lagu Imagine, bahwa:

“But the song ‘Imagine,’ which says, Imagine that there was no more religion, no more country, no more politics is virtually the communist manifesto, even though I am not particularly a communist and I do not belong to any movement. You see, ‘Imagine’ was exactly the same message, but sugar-coated. Now ‘Imagine’ is a big hit almost everywhere; anti-religious, anti-nationalistic, anti-conventional, anti-capitalistic song, but because it is sugar-coated it is accepted. Now I understand what you have to do” – John Lennon

Bilamana pem-baca-an berlangsung dalam keadaan demikian [mengetahui dunia, bahasa, dan pengarang [dus intensi penciptaan suatu karya]], seorang pembaca pastilah harus mencoret salah satu bagian dari semesta simbol dan makna yang tersedia bagi pem-baca-annya dan berkata bahwa “ini” adalah makna dari teks ini. Momen seorang pembaca MENENTUKAN bahwa lagu tersebut “hanya perumpamaan” dan “sindiran terhadap penyalahgunaan agama” serta “bukan anti agama” dus “ajaran atheis-komunis” selalu terbayang-bayangi oleh kemungkinan penjungkalan radikal oleh makna lain yang tadinya dicoret bahwa “ya, lagu ini sebenarnya adalah lagu provokasi anti-agama”.

Lalu apa kaitan lagu ini dengan lagu dari REM, Losing My Religion? Meskipun lagu dengan lirik seperti ini:

Life is bigger
It’s bigger than you
And you are not me

dan kemudian di bait lain:

Losing my religion
Trying to keep up with you
And I don’t know if I can do it
Oh no I’ve said too much

dikatakan BUKAN tentang seseorang yang “sudah tidak percaya lagi akan iman” atau “hilang kepercayaan terhadap Tuhan” oleh sebab dikatakan bahwa ungkapan “losing my religion” adalah sebuah ungkapan orang Amerika Serikat daerah Selatan yang artinya: “sudah tidak percaya lagi kepada seseorang” dan bahkan band REM juga menyatakan demikian, akan tetapi generasi simbol dan makna yang ditimbulkan lirik dan video klip lagu ini dapat menegasikan pernyataan band REM bahwa lagu ini bukan tentang “hilang kepercayaan terhadap Tuhan”.

Pembaca [atau dalam konteks ini, penikmat musik] lagu Losing My Religion tidaklah bisa untuk menghapus kemungkinan pem-baca-an lain bahwa lagu ini MUNGKIN memang tentang “hilang iman” sebab arti religion memang agama. Saat seorang penikmat lagu [atau pembaca lirik] berada di dalam momen menentukan bahwa lagu ini adalah tentang “cinta bertepuk sebelah tangan atau unrequited love” ia bakal selalu dibayang-bayangi oleh simbol atau makna lain yang ia coret (namun masih kelihatan; bukan dihapus) atau ia hilangkan (meskipun bayangan itu selalu potensial untuk kembali) bahwa “ya, lagu ini sebenarnya adalah tentang hilang iman”. Jadi sampai di manakah kita? Apakah kita lantas menjadi pembaca yang tidak mau menentukan makna ataukah memang kata-simbol-makna adalah hal yang rapuh sebagaimana ungkapan dari Derrida bahwa menentukan sesuatu adalah keterpaksaan oleh keadaan saat itu yang bisa jadi terasa “inadequate yet necessary” sebab kita terus bergerak meskipun dalam bayang-bayang terdekonstruksi oleh, justru, diri kita sendiri.

Ah, pembicaraan ini mengingatkan aku pada suatu kalimat baik permohonan kepada Tuhan agar hati [pikiran] tidak membolak-balik dan takut dalam semesta makna yang selalu membayang dan garang atas pilihan yang pernah kita ambil. Apakah sudah benar pilihanku kemarin ataukah kemarin itu aku telah salah? Aku telah dan sedang mendekonstruksi diri sendiri … Oh no I’ve said too much.

REFERENSI

Abulad, Romualdo E. 2007. ”What is Hermeneutics?” dalam jurnal Kritike Vol 1 No. 2 hlm. 11 – 23. ISSN 1908-7330.

Barthes, Roland. 1977. The Death of The Author terjemahan Richard Howard diakses 11 Oktober 2011, pukul 9:37 WIB dari:

http://evans-experientialism.freewebspace.com/barthes06.htm

Belsey, C. 2001. Critical Practice 2nd ed. London: Routledge.

Buchbinder, David. 1991. Contemporary Literary Theory and the Reading of Poetry. Australia: The Company of Australia PTY. Ltd.

Chandler, Daniel. 2007. Semiotics: The Basic. New York: Rouledge.

Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.

Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi terjemahan oleh Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Selden, Raman; Peter Widdowson; dan Peter Brooker. 1997. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Hertfordshire: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf.

Ucapan John Lennon diambil dari:

http://beatlesquotes.tumblr.com/post/959741891/but-the-song-imagine-which-says-imagine-that

dan

http://www.encyclopedia.com/video/o79Si_AThh0-john-lennon-imagine.aspx

Bahasan mengenai lagu Imagine  dapat disimak pula di:

http://www.songfacts.com/detail.php?id=1094

Bahasan tentang lagu Losing My Religion dan pernyataan band REM tentang lagu tersebut bisa ditengok di:

http://www.songfacts.com/detail.php?id=1256

atau di:

http://theinspirationroom.com/daily/2006/rem-losing-my-religion/

Creative Commons License
Membayangkan Sesuatu yang Hilang; Sebuah Pembicaraan terhadap Lagu “Imagine” dan “Losing My Religion” by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.
Based on a work at dipanugraha.blog.com.

Hypogramatic Reading on Tao Te Ching, Bible, and Koran

redeveloped 16 June 2012

The concept of hypogramatic reading was coined by Riffaterre in his book Semiotics of Poetry (1978). Hypogramatic reading is a reading which involves the propositional structure of the matrix of a text. The matrix itself “has an intertextual phrase—which the reader must discover—capable of generating one or more other texts. On the level of the whole text, this “intertext” plays the role of the object sign, relative to the subject sign of the matricial phrase of the primary text” (Hopkins, n.d.: 1).

This writing is going to propose the intertextuality between Tao Te Ching, Bible, Koran, and Derrida. I am writing this to follow what Barthes says as “I” that is actually a being constructed from texts (in Culler, 1981: 102) and what Bakhtin says as “I” is here rewriting itself (in Jay dan Rothstein, 1991: 20). There is nothing new but other texts that “I” has not read.

Talking about a re-new interpretation as the operation that this article is going to do cannot be separated from the concept of intertext possible absence in every interpretation. According to Riffaterre, a new interpretation may always be possible to happen when a reader gets the same text exposed or revealed by the presence of the new intertext. A new interpretation comes when a reader finds out that different prior texts he has not read give contribution to the new significance of the text that he previously read and decoded (cf. Legget, 2002: 223).

When talking about writing process, no man will be able to write without knowing what to write. He knows what to write and will write only what he knows. What he knows, ironically, comes from what he has read or taught before.  What he knows teaches him how to see things as we may call it as reality. Reality is not the thing as the way it is, but it is the thing that we see as we were taught (cf. Bardzell, 2009).

Let us start this journey with a quotation from Tao Te Ching about binary opposition:

When people see some things as beautiful,
other things become ugly.
When people see some things as good,
other things become bad.

Chapter 2

Binary opposition by nature will create reality as it has been stated by Lao Tzu:

Naming is the origin
of all particular things.

Chapter 1

Reality is made by our recognition of things. When a man recognizes a thing, he must have identified the opposite in the process. As deconstructionists say, the binary opposition becomes the real accepted picture of reality. This reality is different from the reality. Reality is constructed and institutionalized by language. It affects the way we see things.

Here is an example:

If there is a man, then what is not a man must be named as not-man –> woman.

If there is a positive, then there must be negative.

If there is yang, there must be yin.

This process never stops and affects us on how we see these binaries. Man is not woman, and woman is not man. This teaching is culminated from generation to generation.

Here is another example:

  1. If someone gives you two vertical lines, you will identify them as two vertical lines.
  2. But if someone gives you two vertical lines side by side, and on the top and the bottom of the lines are given two ellipses, you will see a picture of a cylinder.
  3. The question is; why don’t we see the picture as just simply two vertical lines and two ellipses? Why do we naturally see the picture as cylinder?

What we see from every thing is actually not the thing itself but rather the projection of prior texts that teach us how to see things. This is exactly the same point to what Barthes (1971, From Work to Text), Derrida (in Holcombe, 2007: 1), and Foucalt (in Barker, 2005: 105 – 106)  have already pointed out.

If we want to write something, we would write from those constructs of perception. When we write, we are using language. Ironically, language is never neutral and so is our perception. Language and perception, as the two examples above, are built from binary opposition and billion construct of definitions. We cannot use something outside the language to describe something and we cannot make our own definition when we see something. It happens to everyone who writes! So we can say that every writer is just a man who writes what he knows. What he knows is what he sees. What he sees is actually a projection to what he was taught about how to interpret things. If what the writer writes is just a projection, so to use Riffaterre’s argument (1978: 2), there must be predecessor texts that taught him. These predecessor texts give the writer the material and knowledge to his writing.  Or in other words, every text has its predecessor. A writer cannot make but reproduce the prior texts.

When a text’s significance is driven by other texts, we can say that there is intertextuality. Intertextuality happens because a text always depends on prior texts to get its significance. This is the nature of every text. Again as it has been explained in the previous paragraphs, intertextuality is truly the nature of every text and no text can escape from intertext (Porter, 1986: 34). The writer needs prior texts to make a new text. Thus every text needs  prior texts to gain its significance as one reads it (cf. Riffaterre, 1978: 7). The process to clarify the relationship between texts is  hypogramatic reading (Riffaterre, 1978: 2-7). Therefore, we have an assumption: If sacred books were inspired by God, while the means to manifest God’s teaching was language (because this teaching had to be written), so the interpretation itself will drive us into hypogramatic reading a.k.a intertextuality revealing.

Intertextuality does happen also in Tao Te Ching, Bible, and Koran(1). Their intertextuality is actually reproduced by deconstructionists (for this “idea” cf. Vargova, 2007) (2).

Let us first compare the first chapter of Tao Te Ching:

The unnamable is the eternally real.
Naming is the origin
of all particular things.

to the Bible, John 1: 1,

[in the beginning was the Word],

the word was with the God [= the Father],

and the word was a divine being

the translation is taken from McKenzie, p. 317(3)

and to the Koran 2: 29-33,

(29) It is He who created for you all of that which is on the earth. Then He directed Himself to the heaven, [His being above all creation], and made them seven heavens, and He is Knowing of all things.

(30) And [mention, O Muhammad], when your Lord said to the angels, “Indeed, I will make upon the earth a successive authority.” They said, “Will You place upon it one who causes corruption therein and sheds blood, while we declare Your praise and sanctify You?” Allah said, “Indeed, I know that which you do not know.”

(31) And He taught Adam the names – all of them. Then He showed them to the angels and said, “Inform Me of the names of these, if you are truthful.”

(32) They said, “Exalted are You; we have no knowledge except what You have taught us. Indeed, it is You who is the Knowing, the Wise.”

(33) He said, “O Adam, inform them of their names.” And when he had informed them of their names, He said, “Did I not tell you that I know the unseen [aspects] of the heavens and the earth? And I know what you reveal and what you have concealed.”

the translation is taken from http://quran.com/2

By comparing three versions of the construction of reality from the hypogramatic reading of Tao Te Ching, Bible, and Koran, we can conclude that there is intertextuality between those texts; the intertextuality of the concept of creation, of reality.

Tao Te Ching teaches that in the beginning there was: Tao the Great Mother (Ch. 6) and it gives birth to infinite worlds (Ch. 6). The characteristics of Tao itself are defined as follows:

Since before time and space were,
the Tao is.
It is beyond is and is not.

Chapter 21

The Tao is great.


The universe follows the Tao.
The Tao follows only itself.

Chapter 25

The great Tao flows everywhere.
All things are born from it,
yet it doesn’t create them.

Chapter 34

While in the Bible, in the beginning there was Word (John 1: 1). In Tao Te Ching, in the beginning was Tao. The name “Tao” itself is not the real name of such being. It is called as Tao to simplify the calling. In Tao Te Ching, the Power to Create, which is naming things, is also called as Tao. Tao gives birth to infinite worlds. World or reality from the first place was created by binary opposition naming; the process itself will give birth to infinite worlds. The world will always be recreated and the result of creation is the infinite worlds. The infinite worlds signify the concept of reality as coined by deconstructionists.

This will be the answer that has been a controversy from the translation of the Bible’s John 1:1 over centuries until now. If we take the translation from McKenzie as it has been quoted above, then the significance of John 1:1 is revealed quite easily by now.

By comparing three holy books regading the construction of reality; Tao Te Ching, Bible, and Koran, we can make a conclusion:

  1. Taking Tao Te Ching as the earliest text, then we can draw an interpretation.
  2. Yes, in the beginning there was The One or God or Father or Tao or Allah (we read from three books). The name of the first being itself was urgent because it was originally without name (as we read from Tao Te Ching).
  3. Then the first man was created, as we read from Koran.
  4. The first man was taught to identify things  (as we read from Koran) or the first man learned to differentiate things (binary opposition naming, as we read from Tao Te Ching). The power to name things needs Word or Logos or Tao. Word or Logos is not God as explained by Tao Te Ching that Tao (The mother of all things) is not Tao (The First Being).
  5. This power, naming things or differentiating things, will create infinite worlds (as we read from Tao Te Ching or Koran) and this power can be said as divine (as we read from Bible, John 1: 1) because it creates infinite worlds. The power that man has to create infinite worlds, for some points, is as similar as God’s.
  6. By taking this matrix, we will interpret that John 1:1 does not talk about Jesus = the Word = Logos. It simply declares the same thing to what the earlier text (Tao Te Ching) has said about the world and the worlds. The same idea is repeated by Bible (John 1: 1) and Koran (2:29-33). There is no Jesus in John 1:1!
  7. This matrix does not claim that there was no God. It claims that there was God in the beginning of the creation and God made Word or Logos. Word or Logos are divine. This also clarifies that John 1: 1 is not what as has already been interpreted or translated by most biblical scholars.
  8. This conclusion will be in coherence with other Bible verses such as: Matthew 27: 46, Matthew 24: 36, Matthew 26: 36, Mark 12: 28-29, Mark 16: 19, John 11: 41-42, John 14: 28, Luke 6: 12, Luke 10: 21, etc. and solve the puzzle.
  9. This conclusion is in accordance with the logical thinking in math that:

the first was X

X with Y

X is not Y

That is why Derrida says there is nothing outside the text [created by the language] (1967: 158-159). Our existence depends on words; language. Thats why Adam was taught how to differentiate things –> naming –> involving words after the creation of him. It also refers to Tao Te Ching; naming is the source of all things because naming implies differing. If you read the first stanza from Gospel of John, you will understand that actually The Word is not God but divine as some reputable biblical scholars interpret it. It is said as divine because naming needs words; the first word as the anchor, the other as the peripheral. These two words are needed to make distinction between ‘this’ and ‘thing which is not this’. They are co existence, as Yin and Yang. If you try to remove Yang, you will not see Yin there; vice versa.


Footnotes:

(1) As we all know, the oldest or the earliest book from these three books (Tao Te Ching, Bible, and Koran) is Tao Te Ching. The second is Bible, and the third is Koran. This kind of information can be obtained from these websites:

http://www.taoistic.com/

http://carm.org/when-was-bible-written-and-who-wrote-it

http://www.wsu.edu/~dee/ISLAM/QURAN.HTM

(2) the terms binary opposition, language creates reality can be traced back from Tao Te Ching, Bible, and Koran.

(3) multiple translations (or interpretations ?) of this verse can be compared on:

http://en.wikipedia.org/wiki/John_1:1,

http://simplebibletruths.net/70-John-1-1-Truths.htm,

Jesus as Θεός: Scriptural Fact or Scribal Fantasy?, and

But What About John 1:1?

Bibliography

Bardzell, Jeffrey. (2009). Two Takes on the Hermeneutic Circle. Accessed on Saturday, 16 June 2012 at 22:16 (GMT+7) from:

http://interactionculture.wordpress.com/2009/03/09/two-takes-on-the-hermeneutic-circle/

Barker, Chris. (2005). Cultural Studies: Teori dan Praktik. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Barthes, Roland. (1971). From Work to Text a translation by Stephen Heath © 1977.

Clayton, Jay dan Eric Rothstein (ed.). (1991). Influence and Intertextuality in Literary History. Wisconsin: The University of Wisconsin Press.

Culler, Jonathan. (1981). The Pursuit of Signs: Semiotics, Literature, Deconstruction. New York: Cornell University Press.

Derrida, Jacques. (1967). Of Grammatology. Paris: Les Éditions de Minuit.

Holcombe, C. John.  (2007). Jacques Derrida. Accessed on Monday, 9 May 2011 at 15:46 (GMT+7) from:

http://www.textetc.com/theory/derrida.html

Hopkins, John A. F. (n.d.). Michael Riffaterre Biography – (1924–2006), Semiotics of Poetry, significance, semiosis. Accessed on Monday, 9 May 2011 at 11:29 (GMT+7) from:

http://psychology.jrank.org/pages/2154/Michael-Riffaterre.html

Legget, B.J. (2002). “A Point of Reference for the Artist: Stevens and Flaubert”, Comparative Literature Studies, Vol. 39, No. 3, pp. 223-239.

McKenzie, John L. (1965). Dictionary of the Bible. New York: Macmillan Publishing Company.

Porter, J.E. (1986). “Intertextuality and the Discourse Community”, Rhetoric Review, Vol. 5, No. 1, Autumn 1986, pp. 34-47.

Riffaterre, Michael. (1978). Semiotics of Poetry. Bloomington: Indiana University Press.

Tzu, Lao. (20 July 1995). Tao Te Ching a translation by S. Mitchell. Accessed on Monday, 9 May 2011 at 11:46 (GMT+7) from:

http://academic.brooklyn.cuny.edu/core9/phalsall/texts/taote-v3.html

Vargova, Mariela. (2007). “Dialogue, Pluralism, and Change: The Intertextual Constitution of Bakhtin, Kristeva, and Derrida”, Res Publica (2007) 13: 415-440. DOI: 10.1007/s11158-007-9042-y © Springer.

Creative Commons License
Hypogramatic Reading on Tao Te Ching, Bible, and Koran by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

Sastra dan Feminisme

(sebelumnya terbit dengan judul “Sastra dan Jender”)

Gerak gerah feminisme dapat dikatakan bermula dari identifikasi perempuan atas stereotip buruk dan marjinalisasi posisi mereka di dalam dunia yang “dikuasai” laki-laki. Perempuan menganggap bahwa hal tersebut tidaklah muncul begitu saja kecuali karena diciptakan. Stereotipe perempuan sebagai lemah, penurut, penggoda, pelengkap laki-laki, penuntut, cerewet, dan emosional merupakan realitas yang terbangun dari teks-teks yang diciptakan oleh laki-laki dalam waktu yang sangat lama. Pun juga dilandasi akan berkembangnya pemikiran bahwa para perempuan juga butuh menceritakan dunia mereka, sesuatu yang tidak mungkin bakal sempurna diceritakan oleh laki-laki. Sebagaimana tidak bisa dipungkiri, penceritaan tentang suatu dunia akan jauh berbeda apabila dilakukan oleh orang yang tidak pernah mengalaminya. Selama ini, dunia perempuan belum lengkap dan sempurna diceritakan oleh sebab hegemoni produksi teks telah lama dipegang kaum laki-laki.

Jikalau ide bahwa setiap manusia sama benar-benar diterima, maka perempuan tidaklah layak dan tepat untuk ditempatkan sebagai inferior, sub-ordinat, atau lebih rendah dibanding laki-laki sebagaimana telah terbentuk suatu stereotip yang demikian. Perempuan harus merubah keadaan tersebut. Simone de Beauvoir (dalam Selden, 1991: 136-137) menekankan perlunya keterlibatan perempuan di dalam menuntut persamaan tersebut karena selama ini perempuan telah dibuat lebih rendah oleh teks-teks yang diciptakan oleh para lelaki dan lalu diterimanya suatu kebenaran bahwa perempuan memang rendah menurut kodratnya. Simone de Beauvoir mempertanyakan hal-hal yang paling esensial di dalam gerakan tuntutan wanita di dalam buku The Second Sex yaitu: (1) mengapa perempuan menjadi the second sex, (2) mengapa perempuan tetap berada di bawah dan terkekang sementara laki-laki memperoleh ruang yang tidak terbatas, (3) mengapa perempuan tetap tidak menengarai bahwa posisi sebagai the second sex, the other, atau liyan adalah cara menjadi manusia yang buruk (dalam Tong, 2009: 285 – 286).

Menilik kepada apa yang diungkapkan oleh Foucalt bahwa kebenaran, dunia benda, dan praktik-praktik sosial dibentuk secara diskursif (dalam Barker, 2005: 105 – 106) maka dominasi laki-laki di dalam teks yang telah berlangsung lama secara komulatif telah membentuk suatu kebenaran bahwa perempuan memang secara kodrati lemah dan laki-laki sebagai pencipta teks membangun citraan akan diri mereka sebagai superior. Hal yang telah berlangsung begitu lama ini menciptakan realitas bahwa laki-laki adalah kuat, pelindung sedangkan perempuan adalah lemah.

Sebelum lebih jauh menelusur runtut pemikiran masuknya jender dalam ranah sastra, alangkah lebih baik apabila istilah jender secara definitif dipaparkan. Jender adalah ”suatu [konstruksi] interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin dalam memberikan makna dan peran masing-masing” (Suyitno, 2003: 592). Jender mengacu kepada atribut, perilaku, kebiasaan, dan ekpektasi yang eksis di dalam masyarakat. Pernyataan senada disampaikan oleh Fakih (1996: 7) bahwa konsep jender adalah suatu atribut yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Sedangkan definisi lain diberikan oleh Jantine Oldersma dan Katthy Davis (dalam Abdullah, 1997: 284) bahwa istilah jender mempunyai arti sebagai:

… central for understanding sexual dichotomies, behavioral differences between the sexes, sexual identity, sexual divisions in social activities and the symbolic representation of masculinity and femininity.

Lebih lanjut Ann Oakley (dalam Abdullah, 1997: 284) memaparkan bahwa hubungan yang berdasarkan jender merupakan: (1) hubungan antara manusia yang berjenis kelamin berbeda dan itu merupakan hubungan yang hirarkis, yang bisa menimbulkan masalah sosial, (2) jender merupakan suatu konsep yang cenderung deskriptif daripada ekplanatoris tentang tingkah laku, kedudukan sosial, dan pengalaman antara laki-laki dan perempuan, dan (3) jender memformulasikan bahwa hubungan asimetris antara laki-laki dan perempuan sebagai suatu natural order – tata atur yang alamiah.

Kesadaran yang muncul pada kaum perempuan akan konstruksi jender sebagaimana telah dipaparkan di atas, yang dianggap sebagai bentuk opresi terhadap perempuan, mengerucut lalu menggugahkan suatu gerakan yang pertama kali dapat dirunut ketika para perempuan Amerika mempermasalahkan teks kemerdekaan Amerika yang berbunyi ”all men are created equal”. Mereka, para perempuan Amerika, mempermasalahkan tentang pengabaian perempuan di dalam teks kemerdekaan dus kepentingan perempuan. Oleh sebab itulah pada tahun 1848 di Seneca Falls diadakan konvensi yang memunculkan proklamasi teks kemerdekaan versi lain yang berbunyi: ”all men and women are created equal” (Djajanegara, 2000: 1).

Kesadaran akan adanya konstruk pembedaan antara laki-laki dan perempuan seperti yang dialami oleh para perempuan di Amerika itulah yang juga dialami oleh para perempuan di negara-negara lain, membuat munculnya suatu gerakan yang kemudian dikenal dengan gerakan feminisme. Feminis menekankan pada perbedaan makna antara seks (jenis kelamin) dengan jender. Menurut mereka, seks adalah sesuatu yang bersifat biologis namun jender adalah sebuah konsep psikologis yang diperoleh secara kultural sebagai identitas seksual (Millet dalam Selden dkk., 1997: 131). Jender adalah sebuah identitas yang diciptakan oleh laki-laki sebagai bentuk hubungan asimetris sebagaimana ucapan De Beauvoir: ”One is not born, but rather becomes, a woman; … it is civilization as a whole that produces this creature … only the intervention of someone else can establish an individual as an Other” (dalam Selden dkk., 1997: 127) yang harus diubah. Gerakan feminisme sendiri dapat diartikan sebagai gerakan yang meyakini bahwa sistem jender adalah penyebab fundamental akan adanya opresi terhadap perempuan dan juga percaya bahwa karena sistem jender adalah bentuk konstruksi maka dapatlah dibongkar dan ditata ulang.

Mirip namun tidak sebagaimana pandangan Lao Tzu mengenai oposisi biner di dalam konstruk realitas dan dunia sebagai komplesi dan makanya tidak untuk digugat ”stop thinking, and end your problems” (pasal 2 dan pasal 20) karena akan merusak realitas, Derrida menyatakan bahwa oposisi biner dapatlah mengalami pergeseran dan pengguncangan karena sebenarnya oposisi-oposisi metafisis dan makna bersifat tidak pasti dengan demikian terbuka celah di dalamnya untuk mengalami perpindahan, pergantian, dan penambahan (dalam Barker, 2005: 98 – 104). Realitas yang dibangun atau dikonstruksi lewat oposisi biner-lah yang dirujuk oleh Hélène Cixous untuk diguncangkan dan digeser lewat penerlibatan perempuan di dalam teks. Ia menunjuk bahwa laki-laki telah membagi-bagi realitas dengan konsep yang berpasangan dan istilah dalam pasangan yang berlawanan, yang salah satunya selalu diposisikan lebih dibandingkan dengan yang lain (dalam Tong, 2009: 292). Dikotomi oposisi biner yang ada seperti misalnya:

aktif / pasif

tinggi / rendah

kuat / lemah

positif / negatif

self / other

selalu mengasosiasikan laki-laki dalam posisi yang menguntungkan; yang lebih tinggi dibandingkan dengan posisi perempuan (Cixous dan Clement, 1986: 65). Oleh karenanyalah Cixous (dalam Tong, 2009: 292 – 294) menantang perempuan untuk menulis diri keluar dari dunia perempuan yang dikonstruksi laki-laki lewat teks dus mendorong perempuan untuk memindahkan posisi dirinya dari ”figuran” dan atau ”inferior” ke tingkatan yang lebih baik ke dalam teks secara kontinyu. Hal senada juga disampaikan jauh sebelumnya oleh Virginia Woolf di dalam tulisannya A Room of One’s Own bahwa tulisan perempuan harus mengeksplorasi pengalaman perempuan berdasarkan bahasa mereka sendiri yang berbeda dengan bahasa para laki-laki (dalam Selden dkk., 1997: 125).

Julia Kristeva tidak sepaham dengan Cixous. Ia mengatakan bahwa pengguncangan terhadap oposisi biner sendiri bakal bermasalah oleh sebab oposisi biner yang sudah ada juga sebenarnya sesuatu yang absurd. Dengan kata lain, bahkan pengertian ”menjadi perempuan” bagi perempuan adalah sebenarnya sama absurdnya dengan pengertian ”menjadi laki-laki” bagi laki-laki di dalam konteks keniscayaan oposisi biner tersebut (dalam Tong, 2009: 299 – 302) karena dengan demikian bakal meniadakan ke-ada-an perempuan sendiri. Justru perempuan yang bebas adalah ketika ia berhasil tidak terperangkap di dalam kekakuan dikotomi hirarkis tatanan maskulin-feminin (alias oposisi biner) dan bergerak lincah di antara oposisi biner tersebut. Alih-alih antifeminis, Kristeva mengatakan bahwa dalam diri perempuan ada tarik ulur feminin-maskulin sebagaimana sebenarnya laki-laki pun juga mengalami tarik ulur maskulin-feminin (dalam Tong, 2009: 300 – 301).

Lebih jauh, Elizabeth Grosz menyatakan bahwa usaha memindahkan perempuan ke posisi laki-laki adalah salah karena dengan demikian standar yang dipakai untuk dituju adalah standar atau konstruk yang disodorkan laki-laki. Atau dengan kalimat Grosz (dalam Tong, 2009: 303 – 305) bahwa usaha penyetaraan yang mengacu pada ”pencapaian, nilai, dan standar laki-laki sebagai norma yang harus menjadi tujuan bagi perempuan” adalah salah karena dengan demikian bakal mendorong perempuan untuk menjadi laki-laki dan mungkin bakal timbul paradoks aneh: mengapa tidak mendorong laki-laki menjadi perempuan? Sebuah solusi diberikan oleh Joan Scott bahwa sebenarnya debat kesetaraan-perbedaan bakal mengajak pada daerah gelap karena debat tersebut sudah dimulai dari biner yang keliru yang bakal memunculkan krisis identitas. Justru ia mengatakan bahwa perbedaan dan kesetaraan bisa muncul bersama-sama (koeksis) dan perbedaan tidaklah berarti menafikan perlakuan setara serta perlakuan setara juga bukan berarti kesamaan. Karena menurutnya adalah sah untuk mendapat kesempatan yang setara dan bukannya kemudian menginginkan kesamaan (Scott, 1990: 137 – 138).

Lepas dari itu, pertanyaan lalu muncul berkaitan dengan tautan antara sastra dan jender yaitu: bagaimanakah mengaitkan sastra dengan jender? Inti dari isu jender sebenarnya adalah ketidak-adilan kepada perempuan dan atau marjinalisasi perempuan. Sastra sebagai media diskursif dan reflektif memberikan petunjuk tentang kaitannya dengan isu jender. Kritik sastra yang membawa isu jender di dalam analisisnya dapat menyorot hal-hal sebagai berikut:

  1. Kajian manifestasi ketidakadilan jender di dalam suatu karya sastra; baik marjinalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, kondisi sosial ekonomi, dan pembagian beban kerja domestik (adaptasi dari Fakih, 1996: 12) sebagaimana dilakukan oleh Sugihastuti dan Suharto (2005) terhadap novel Sitti Nurbaya.

  2. Usaha penulis perempuan (maupun laki-laki) di dalam menyuarakan feminisme di dalam suatu karya sastra sebagaimana dilakukan oleh Suyitno (2003) terhadap Saman karya Ayu Utami atau diskursus feminis yang muncul pada suatu karya sastra seperti misalnya mengenai: tubuh wanita dan reproduksi (sebagaimana provokasi Cixous, 1981), pengalaman yang hanya bisa dipersepsi dan dialami oleh perempuan (Culler menggunakan istilah reading as a woman, 1983: 43 – 63), bahasa perempuan yang lebih berani (diinspirasi dari studi Lakoff, 1975), representasi perempuan (dapat dirujuk dalam Evans, 1997 dan sangat bagus sekali dibahas khusus mengenai kelebihan dan kekurangan proposisi ini di dalam bab “Gender, Ideology and Point of View” oleh Simpson, 1993).

  3. Gynocriticism yaitu kajian kekhasan gaya tulis atau detil-detil pengalaman tokoh perempuan yang ditulis oleh perempuan (Selden dkk., 1997: 129, 134-137).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan. 1997. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik terjemahan Tim Kunci Cultural Studies Center. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka.

Cixous, Hélène. 1981. “The Laugh of the Medusa” dalam Elaine Marks dan Isabelle de Courtivron, ed. New French Feminisms. New York: Schocken Books.

Cixous, Hélène dan Catherine Clement. 1986. “Sorties” dalam The Newly Born Woman terjemahan Betsy Wing. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction: Theory and Cristicism after Structuralism. London: Routledge & Kegan Paul.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Evans, M. 1997. Introducing Contemporary Feminist Thought. Cambridge: Polity Press.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Jender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lakoff, Robin. 1975. Language and Woman’s Place. New York: Harper & Row.

Scott, Joan. 1990. “Deconstructing Equality vs Difference” dalam M. Hirsch dan E. Fox Keller (ed.) Conflicts in Feminism. New York: Routledge.

Selden, Raman. 1991. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory Indonesian Edition. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Selden, Raman; Peter Widdowson; dan Peter Brooker. 1997. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory fourth edition. Hertfordshire: Prentice Hall / Harvester Wheatsheaf.

Simpson, Paul. 1993. Language, Ideology and Point of View. New York: Routledge.

Sugihastuti dan Suharto. 2005. Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suyitno. 2003. Tokoh-tokoh Perspektif Feminisme Ayu Utami dalam “Saman” dalam Jurnal Bahasa dan Seni ”Spektrum”. Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret. Vol. 5, No. 10, Mei 2003, hlm. 592 – 620.

Tong, Rosemarie P. 2009. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis terjemahan oleh Aquarini P. Prabasmoro. Yogyakarta: Jalasutra.

Tzu, Lao. 20 Juli 1995. Tao Te Ching a translation by S. Mitchell. Dibaca 1 April 2011 pukul 10:30 WIB di alamat laman: http://academic.brooklyn.cuny.edu/core9/phalsall/texts/taote-v3.html

Creative Commons License
Sastra dan Feminisme by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.