Sekali lagi selalu menarik memang jika kita berbicara mengenai bahasa. Banyak filsuf yang mengkaji bahasa karena mereka meyakini bahwa bahasa membentuk realitas. Dari bahasa-lah sesuatu bisa ada. Oleh sebab itulah filsuf besar dunia kuno Barat, Plato, dan filsuf besar dunia kuno Timur, Lao Tzu tidak bisa terhindar dari berbicara mengenai bahasa. Bicara bahasa juga berlanjut bahkan hingga filsuf modern Barat seperti dilakukan oleh Saussure mengenai sinkronis-diakronis dan struktur langue-parole; C.S. Pierce mengenai semiotik tanda, penanda, petanda; metafisika kehadiran dan oposisi biner Derrida; dan tak lupa sebelumnya ada juga J.L. Austin yang bicara tindak tutur dan bagaimana tuturan bisa menentukan status dan nilai (bdk. dengan ‘nilai’ ala Karl Marx).
Bahasa menjadi alat bagaimana seseorang memahami dan menyampaikan sesuatu. Bahasa bukanlah kasunyatan namun kasunyatan hanya dapat disampaikan atau diekspresikan melalui bahasa. Begitu kompleksnya bahasa sehingga kajian bahasa adalah kajian yang sangat serius. Dari situlah kita bisa memahami bagaimana di dalam skriptur Islam hal pertama yang diajarkan kepada Adam a.s. adalah bahasa – pemberian nama.
Benar. Fungsi bahasa adalah memberikan penanda beda yang satu dengan yang lainnya. Ia memberi nama kasunyatan. Bahasa adalah wingit. Hal ini juga kita dapati di dalam Tao Te Ching. Eksistensi sesuatu tertandai ketika ia diberikan nama. Munculnya nama pada sesuatu koeksisten dengan ‘yang lain’ yang tidak diberi nama sama; yang tidak sama ditandai. Narasi tentang kewingitan bahasa juga dapat kita temui misalnya pada teks Biblikal Yohanes 1: 1.
Kaum Kristen Unitarian menafsirkan logos di dalam ayat itu bukan sebagai Kristus atau Logos (dengan ‘l’ kapital) atau Word (dengan ‘w’ kapital) namun logos dengan huruf kecil. Perlu diketahui bahwa Kristen Trinitarian menggunakan ayat Yohanes 1: 1 sebagai hujah keyakinan Trinitas. Bagi Kristen Unitarian, argumen mereka untuk menyangkal ini dirujukkan kepada skriptur asli rujukan Bible yang berbahasa Yunani ada terdapat ratusan pemakaian istilah logos yang definisinya macam-macam dan huruf l kapital (dalam translasi terkemudian) atau huruf w kapital (pada penerjemahan ke bahasa Inggris sebagai Word) adalah tidak dikenal di masa awal kekristenan. Jika yang dipakai adalah tafsiran Kristen Unitarian maka ‘kekuatan’ dari ‘kata’ adalah divine karena ‘menciptakan realita [meski bukan kasunyatan]’ mendapatkan tempatnya di dalam tulisan ini.
Kajian bahasa adalah kajian yang serius bahkan sangat serius. Kalau tidak serius, bagaimana mungkin tradisi pemikiran dari jaman dulu hingga sekarang mengkaji tentangnya? Lihatlah semua cabang ilmu juga tidak bisa menghindar dari bahasa yang wujudnya dalam hal-hal pembahasaan (pengekspresian ilmu itu sendiri) maupun nomenklatur. Tidak ada yang bisa lolos dari jeratan bahasa. Bahkan secara ekstrem, ada filsuf yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang berada di luar teks. Dan teks kembalinya adalah kepada bahasa.
Menjelang bulan Ramadan ini muslim [dan yang bukan muslim] di Indonesia disuguhi bagaimana bahasa adalah sesuatu yang unik dan selalu menarik untuk dikaji. Semua dimulai dari kicauan Menag mengenai buka tutup warung.
yang kemudian mendapat respon berupa meme sebagai berikut
Tidak lama kemudian muncul tulisan lewat status Facebook oleh Dina Y. Sulaeman yang kemudian ia salin tempel ke blog pribadinya bundakiranareza.wordpress.com dengan judul “Logika Warung”. Status Facebook Dina ini mendapatkan tanggapan yang beragam. Ada yang bersepakat dengannya namun ada juga yang menyerangnya. Dina menyertakan kritik-kritik atas tulisannya itu dan sanggahan atas kritikan yang dialamatkan atas tulisannya ia tampilkan di dalam terbitan yang ada di blog-nya itu.
Secara umum, kisruh yang dibahas detil oleh Dina Y. Sulaeman ini dapatlah diringkas sebagai berikut:
MENAG
- WARUNG-WARUNG TAK PERLU DIPAKSA [DITUTUP, DISWEEPING?]
- KITA [MUSLIM] JUGA HARUS HORMATI JUGA HAK MEREKA [YANG BUKAN MUSLIM BAHKAN HAK MUSLIM DALAM KEADAAN TERTENTU] YANG TAK BERKEWAJIBAN DAN TAK SEDANG BERPUASA.
MEME
- BANDARA DI BALI TAK PERLU [DIPAKSA] DITUTUP.
- KITA [HINDU] HARUS HORMATI JUGA HAK MEREKA [YANG BUKAN HINDU] YANG TIDAK WAJIB NYEPI.
- CEMARA DI MALL TAK PERLU DIPASANG
- KITA [UMAT KRISTEN] HARUS HORMATI JUGA HAK MEREKA YANG TIDAK WAJIB NATAL
KRITIK DINA Y. SULAEMAN HINGGA KEMUDIAN SAMPAI PADA KESIMPULAN BAHWA MEME YANG BEREDAR TIDAKLAH LOGIS
- MANUSIA DEWASA HARUS MALU JIKA TIDAK BISA BERENANG
- IKAN SEJAK LAHIR SUDAH MAHIR BERENANG
IKAN HIDUP DI AIR JIKA TIDAK HIDUP DI AIR MAKA IA MATI.
MANUSIA TIDAK HIDUP DI AIR SEHINGGA IA TIDAK BUTUH HIDUP DI AIR UNTUK BISA HIDUP.
- WARUNG TAK PERLU DIPAKSA DITUTUP.
- JIKA WARUNG BUKA PUN MUSLIM TIDAK BATAL IBADAH PUASA.
- BAHKAN MUSLIM BERKEADAAN TERTENTU TIDAK WAJIB PUASA DAN MUNGKIN BUTUH WARUNG.
- BANDARA DI BALI JUSTRU PERLU DITUTUP SAAT NYEPI.
- ADA ASUMSI BAHWA BANYAK KARYAWAN BANDARA DI BALI ADALAH UMAT HINDU.
- BEKERJA SAAT NYEPI ADALAH MEMBATALKAN IBADAH NYEPI
- POHON NATAL DIPASANG DI MALL BERTUJUAN MERAMAIKAN NATAL
- IBADAH NATAL TIDAK BATAL DENGAN ADA ATAU TIDAKNYA POHON NATAL
–
–
Benar bahwa kicauan Menag telah dipelintir menjadi sesuatu yang buruk. Mungkin karena sisa debu Pilpres, mungkin juga karena sebelumnya ada insiden langgam Jawa di dalam tilawah Quran.
Ucapan Menag sejatinya tidak bermasalah. Memang tidak pas untuk memaksa sesuatu yang tidak membatalkan ibadah puasa (usaha warung) ketika puasa tiba, sebagaimana Dina Y. Sulaeman menyinggungnya.
Walaupun demikian, kicauan Menag yang muncul sehabis insiden langgam Jawa di dalam tilawah Quran bisa ditafsirkan sedikit berbeda oleh sebagian orang. Kicau Menag seakan-akan sengaja dibuat khusus untuk menyerang balik salah satu penentang (dari banyak sekali penentang) langgam Jawa di dalam tilawah Quran. Mereka ini distigma sebagai jamaah yang suka memaksa warung tutup. Konon, sekali lagi konon beberapa orang menganggap mereka bertindak seperti itu saat Ramadan: sweeping kepada semua warung zonder ‘jenis warung’ sedangkan kicau Menag bertepatan dengan momen Ramadan.
Bisa jadi ada prasangka bahwa kicauan Menag itu ditafsirkan sebagai usaha Menag memukul balik para pengkritik keras ‘kebijakan’ Menag mengenai langgam Jawa dalam tilawah Quran. Maka munculnya meme bisa ditafsirkan sebagai reaksi atas prasangka itu.
Pada kalimat yang bisa diparafrasekan sebagai berikut: “Mereka yang beribadah juga harus menghormati hak mereka yang tidak sedang beribadah”, tafsirannya bisa macam-macam, bisa saja mereka yang sedang disulut insiden sebelumnya dan merasa tersenggol dengan bahasa kicau Menag yang seakan mengarah pada aksi sweeping kebiasaan mereka bakal menafsirkannya sebagai: “orang beribadah kok malah disuruh menghormati yang tidak sedang beribadah”.
Nah, yang beginian ini masuknya bukan ke dalam semantika bahasa. Kritik Dina Y. Sulaeman atas meme yang beredar adalah benar. Kritik tersebut logis di dalam salah satu aspek bahasa; semantika. Ia mengoreksi salahnya logika semantika di dalam meme itu. Walaupun logika warung ala Dina Y. Sulaeman bisa mendapatkan tempatnya di semantika bahasa namun ia tidak berlaku di dalam kajian pragmatika bahasa.
Secara pragmatika, meme itu bisa dianggap ‘nyambung’. Karena konteksnya bukan masalah batalnya ibadah Nyepi atau tidak sahnya perayaan Natal jika bandara tetap dibuka atau pohon Natal dijulangkan namun bagaimana umat Hindu dan umat Kristiani diminta “menghormati mereka yang sedang tidak menjalankan Nyepi atau Natal” dengan harus tetap membuka bandara dan tidak menampilkan aksesoris perayaan Natal. Juga karena konteks lainnya adalah sudah ada gesekan sebelumnya mengenai kemungkinan pernyataan dan atau kebijakan Menag bagi sebagian orang untuk cenderung ditafsirkan secara negatif.
Demikian.