Status 26 Desember 2016
KETIDAKBOLEHAN TERLIBAT PERAYAAN NATAL, MENGUCAPKAN “SELAMAT NATAL,” DAN SALAH PERSEPSI
Adalah kebablasan luar biasa manakala fatwa para ulama mengenai ketidakbolehan terlibat pada perayaan Natal kemudian dimaknai SEBAGIAN ORANG ISLAM yang meyakini ketidakbolehan terlibat pada perayaan Natal untuk tidak menjaga hubungan baik kepada teman-teman dan kenalan Kristen mereka.
Jika sebelumnya kala bertemu dengan teman-teman dan kenalan Kristen mereka, SEBAGIAN ORANG ISLAM ini sudah terbiasa menyapa bagaimana kabar dan seterusnya dan seterusnya, bukan berarti fatwa ketidakbolehan terlibat pada perayaan Natal diartikan bermuka masam, hilang senyum, dan tegur sapa.
Seperti dalam hal bisnis, muamalah, kita harus bisa memahami bahwa oke oke saja bagi mereka yang beragama Kristen untuk mengekspresikan di toko mereka, di ucapan-ucapan bisnis mereka pada hari Natal. Jangan larang hak tersebut. Mereka punya hak merayakan itu.
Tentu, ketika kita menjadi pegawai dari bos yang sedang merayakan Natal, kita bisa menyampaikan dengan baik bahwa kita tidak bisa terlibat endorsement pernatalan (memakai pernik dan kostum), sedangkan aktivitas bisnis, tetaplah berjalan sebagai mana biasa, tetap masuk kerja kalau memang tak bisa ganti shift (agar kalau bisa, tidak terjebak awkward situation): sebuah muamalah, sesama manusia.
Menghindari mereka pada hari H, haruslah dipahami pada keadaan: menghindari mereka ketika “event” perayaan Natal diselenggarakan supaya tidak awkward dan ketika tidak bisa menghindari berinteraksi pada hari H maka bukan malah menjadi seseorang yang masam muka atau galak tidak karuan.
Peran media sosial yang mengikat diri kita di masa kini, menjadikan kita aneh ketika biasanya sangat ceriwis kemudian menjadi diam beraktivitas di media sosial pada sekitaran hari H dan hari H, bisa menimbulkan persepsi yang liar apalagi pada mereka yang kefigurannya bukan terkait agama DAN MENCEGAH POTENSI STEMPEL LIAR yang sedihnya, ironisnya, bisa muncul dari saudara kita sendiri mengenai “toleran dan tidak toleran” dan status Facebook saya berjudul CONTOH adalah contoh solusi dari yang saya lihat atas figur yang menjaga kehormatan dirinya di masa stempel liar merajalela.
Bukankah kita, muslim di masa kini, menghadapi dua jenis ekstremisme? Main ganyang dan satunya main permisif dengan takaran budaya dominan?
Status 25 Desember 2016
CONTOH
Jika Anda di Barat, sudah menjadi pemahaman umum bahwa ucapan “Happy Holidays” adalah ucapan yang sudah disepakati untuk menghilangkan perasaan awkward (aneh, ganjil) ketika Natal tiba namun bingung harus memberi greeting yang bukan “Merry Christmas.”
Tengoklah perkembangan di dunia Barat (khususon dunia yang berbahasa Inggris) mengenai sejarah pemakaian greeting “Happy Holidays” tersebut dan kemahfumannya di publik. Lihatlah bagaimana misalnya Avast, antivirus yang sudah tiga tahun saya langgan berbayar, memberikan ucapan “Happy Holidays” buat saya dan pelanggan lainnya. Lihatlah juga Ustadz Abu Eesa yang menyatakan “Happy holidays everyone!”
Tentu koridornya, bagi saya, yang kini di dunia Barat, Australia, kalau bisa tidak bermahsyuk pada hari H dan sekitarnya dengan kawan-kawan dan kenalan saya yang bule, tentu saya lakukan. Biar tidak ada keadaan awkward.
Tentu jika terpaksa harus bertemu, berinteraksi, sedangkan mereka memberi greeting itu, jawaban “Happy Holidays” adalah jawaban membalas “niat baik” mereka.
Seperti Sabtu kemarin ketika saya harus berinteraksi dengan beberapa orang bule, semarak dan semangat mereka merayakan Natal begitu kentara. Sesuatu yang manusiawi, bahwa setiap pemercaya, saat hari raya tiba tentunya gairah itu ada. Ya, kita, manusia.
Pada hari itu saya, karena tak bisa menghindari interaksi pada hari itu, sehari sebelum hari ini, bertemu dengan mereka. Seperti biasa, karena saya terlibat dalam kerja yang terkait care dan hospitality, “Good Morning” atau “Good good itu adalah bahasa standar … plus “how are you today” tentunya. Sepanjang hari itu saya, seperti biasa, akrab mengobrol satu dua tiga dengan beberapa bule ini. Tentu senyum, kita selalu niatkan sebagai sedekah kepada orang lain (zonder pandang SARA), tentu tak lupa.
Hanya satu kali saja, pada hari itu, dari beberapa bule, malah ada klien dari Nepal (ada satu dua dari Bangla dan Nepal, tapi kebanyakan bule) yang memberikan ucapan “niat baik”-nya “Merry Christmas,” tentu kita tahu bagaimana merespon awkward situation tadi.
Sebagaimana siang ini, ketika saya membuka Facebook, ada dosen sosiologi terkenal di Indonesia di akun Facebooknya, ia mengucapkan, bukan “Selamat Natal” namun kurang lebih “Semoga liburan Natal dan Tahun Baru 2017 menyegarkan semangat kita.”
Ia berada dalam posisi sebagai figur publik dan Natal kini sedang dirayakan oleh teman sebangsa setanah air yang beragama Kristen. Tentu saja penghindaran interaksi mungkin tidak bisa dilakukan dan kefigurannya di publik tidak terikat keagamaan.
Di satu sisi, saya, saya membacanya, bahwa ia seorang muslim yang mengikuti fatwa sekumpulan ulama kini, dan pendapat yang juga dipegang oleh ulama-ulama dulu, mengenai bagaimana mempraktikkan toleransi ketika Natal tiba: Tidak mengganggu peribadatan dan kekhusyukan mereka, dan ‘puasa interaksi jika mungkin pada hari sekitar’ supaya tidak berada pada awkward situation. Mengerti bahwa peribadatan liyan tidak boleh diganggu.
Begitu juga saya kenal figur publik di Facebook yang kefigurannya tidak terkait agama, menampilkan berita daring dari media massa nasional mengenai persiapan pengamanan penyelenggaran Natal oleh kepolisian. Beliau ini memberi komentar pengantar kurang lebih: semoga baik, semoga lancar.
Intinya adalah banyak cara untuk berinteraksi dengan liyan ketika stempel “toleran dan tidak toleran” melayang secara liar kepada mereka yang niatnya hendak pasif saja.
Cara mereka ini, para figur publik di dalam mengatasi ke-awkward-an situasi dan potensi negatif yang mungkin timbul dari mereka yang ingin serba permisif kemudian juga ada hasrat keterlaluan menempel stempel “tidak toleran” ke mana-mana pada orang-orang: “yang hendak menjaga kehormatan dirinya dengan cara elegan sebagai muslim yang berinteraksi dengan liyan.”
Banyak cara untuk menghadapi banyak situasi yang mungkin kita hadapi di saat sesuatu yang privat menjadi sasaran publik, kepo publik, di dunia masa kini yang terikat dengan aktivitas di media sosial sehingga “diam” saja dianggap ganjen. Juga di saat cibiran mereka yang berhati keruh hendak menstandarkan marka penerapan toleransi, juga di saat saling memahami dan mendengarkan kini kerap dikuasai cara berpikir dan doktrin dari budaya yang dominan.
InsyaAllah banyak cara. Tentu munculnya cara menghadapi keadaan, muncul dari ikhtiar dan tidak suka menggampang-gampangkan, apalagi menyepelekan nasehat-nasehat indah para ulama tentang jalan ini. Jalan yang kelak akan “dibaca” liyan sebagai asing, jalan yang kelak akan “dipahami” liyan dan bahkan kawan sebagai asing.
Tentu dua figur publik yang saya jadikan contoh dikenal kefigurannya bukan pada hal yang terikat dengan agamanya. Akan beda tentunya, kadar menyikapi situasinya, bagi mereka yang Ustadz apalagi Kyai. Bisa malah berdakwah mengenai perbedaan yang mohon dimaklumi oleh liyan, (lihat misal gaya Mufti Menk yang bicara betapa besar cinta atas Yesus (pbuh), bisa juga benar-benar puasa total tidak nimbrung. Tentu memprihatinkan jika malah menuntut untuk nimbrung.
Benar, itu hanyalah, cuman, sekedar “ucapan.” Tapi dari ucapan, seseorang bisa disebut berikrar masuk ke suatu iman. “Kesaksian yang dua itu” juga sebuah ucapan. Jika hati membenarkan maka ia sebuah kesaksian yang genuine. Ucapan pun, jika ia hanya benar di mulut namun hati menyangkal, maka jadilah ia kebohongan. Dan kita tahu bahwa ucapan kita semuanya tercatat, ia bukanlah kotoran yang dilempar ke jamban lalu kita flush, kita lupakan. Sekedar ucapan, sementara masih banyak jalan untuk mengucapkan (jika kedapatan awkward) atau malah tidak mengucapkan.
Demikian.
Status 24 Desember 2016
SAYA, NATAL, DAN RENUNGAN AKAN TOLERANSI: MAYORITAS TETAPI BUKAN MAYORITAS
Barusan saya mendapati status Facebook Daniel Haqiqatjou. Sebagaimana sudah saya sering sampaikan kepada beberapa teman, bahwa saya menyukai pendekatan filosofis si Daniel ini. Beda dengan saya yang dulu mengenyam sastra dan marketing, serta kini pada kajian budaya fokus maskulinitas, Daniel ini mencicip bangku fisika dan filsafat di Harvard. Perpaduan ilmu yang menarik di kampus yang mentereng. Konon banyak fisikawan yang dalam ketika berfilsafat. Bisa saya sebut satu nama: Newton.
Status Daniel yang saya terjemahkan bebas berikut menyodorkan realitas alternatif. Ia mengajak kita untuk merenung dan hasil renungan tentu berpulang kepada diri masing-masing.
Berikut terjemah bebas status tersebut:
=====
“Di dalam realitas yang dibalik, sebuah realitas alternatif, Hari Raya umat Islam adalah perayaan yang dirayakan di seluruh dunia dibandingkan dengan perayaan Natal. Dan seperti perayaan Natal di dunia yang kita diami ini, Hari Raya umat Islam di realitas alternatif telah disekulerkan dan dikomersialkan, bahkan banyak sekali non-Muslim berpartisipasi di dalam “festival kegembiraan Eid” di rumah mereka masing-masing, pergi ke mall untuk melakukan “belanja saat Eid,” dan menonton “film klasik khas Eid” bersama dengan keluarga.
Di realitas alternatif, tidak diadakan parade Natal, namun kota-kota mengadakan parade Eid. Bukan dengan Santa dan pemberian hadiahnya, namun ada pembagian Qurban. Bukan sweater Natal yang membosankan, namun orang bisa mengeluhkan baju Eid yang harus diganti. Setiap orang, baik Muslim … dan non-Muslim, terlibat bersama mearayakan “Semangat Eid.”
Namun tentu saja ada non-Muslim yang konservatif yang berusaha merusak “kegembiraan pesta” dan menasehati orang-orang untuk tidak terlibat di dalam Hari Raya-nya Muslim, bahkan ketika perayaan Hari Raya tersebut dalam rangka kultural karena kita tidak tahu mengenai keyakinan yang disandarkan pada Allah dan Muhammad saw., sehingga anak-anak non-Muslim tanpa sadar bisa mengadopsi pelan-pelan dalam bawah sadar mulai dari aspek-aspek yang kecil ketika mereka terlibat dalam kegembiraan perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Dan tanpa kau sadari, mereka bisa pindah agama menjadi Muslim!
Namun para liberal mencibir nasehat kaum konservatif. “Rileks!” kata mereka. “Ikut-ikutan menyembelih hewan kurban tak akan membuat si Paijo menjadi seorang Muslim! Jangan merusak toleransi ini dan kesenangan bersama ini!”
Tapi semprul. Si Paijo akhirnya menjadi seorang Muslim. Dengan jenggot sunnah yang dibiarkan tumbuh lebat di dagunya dan suara adzannya sangat merdu di masjid dekat perkampungan kita.”
=====
Saya mengganti Little Johny dengan si Paijo. Mungkin karena tertular Paijo-nya Pak Jorg Rachide tapi mungkin juga tidak. Nama Paijo kebetulan saja keluar pada saat menerjemahkan bebas status Facebook tersebut.
Bagi saya, atau kami, sebagai orang Jawa, atau bagi saya alias Pak Jorg Rachide tidak saya wakili pada kata “kami,” Paijo kerap dipakai oleh orang Jawa untuk menyebut dalam gerundelan atas seorang laki-laki ketika jengkel. Jadi jangan heran ketika ada orang Jawa sedang menggerundel karena jengkel kepada, misalnya Wawan, ia bukan menggerundel: “O, Wawan!” tetapi: “O, Paijo i!”
Nah, saya tidak tahu apakah panemu saya mengenai pseudonim gerundelan khas Jawa “Paijo” sebagaimana sering dipakai oleh Pak Jorg Rachide sama atau tidak.
Anyway, status Daniel tersebut membuat saya malah jadi teringat kepada salah satu tulisan kolom Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang berbicara perayaan Natal di, kalau saya tak salah ingat, Amerika Serikat. Di dalam tulisannya yang sudah dibukukan dengan judul yang sama Catatan Pinggir tersebut, ia mengajak merenungi keindahan perayaan Natal yang bisa dirayakan oleh semua orang. Perayaan Natal telah menjadi perayaan kultural dan sudah tidak eksklusif lagi milik umat Kristen. Begitu kurang lebih pesannya. Rileks saja dan nikmati kegembiraan ini.
Saya tidak mau di dalam status ini menyebut Goenawan Mohamad sebagai seorang liberal ketika menyandingkannya dengan status Daniel tersebut di atas. Saya hanya akan mengatakan dan berani menyimpulkan bahwa cara pandang Daniel dengan Goenawan memang berbeda. Daniel seolah menasehati: “hati-hati jatuh pada lubang biawak!” sedangkan Goenawan seolah berdakwah: “nikmati segala kegembiraan ini!”
Meski tidak linier utuh dengan pembicaraan di atas, renungan saya melayang pada status yang belum saya selesaikan tadi siang. Status yang saya buat ketika hendak bersiap berangkat untuk berbelanja daging giling di toko daging halal di Clayton Shopping Centre.
Di dalam status tersebut, saya berbicara mengenai Multikulturalisme dan Edward Said. Lewat status ini, saya lengkapkan keterputusan status tadi siang sembari menjelaskan pada bagian manakah ia BISA saya relevankan dengan status Daniel.
=====
MULTIKULTURALISME DAN EDWARD SAID (buat Koh Ananta Kandaka)
“Multikulturalisme dengan Edward Said mungkin tidak ada kaitannya. Dus, judul di atas seakan mengada-ada.
Sebagaimana status saya sebelumnya, multikulturalisme sebagai -isme, worldview adalah berbahaya bagi mantra Bhineka Tunggal Ika kita.
Multikulturalisme memiliki beberapa makna namun yang berulang kali saya senggol adalah multikulturalisme yang kini dipakai di beberapa negara Barat di dalam menjadi pijakan kebijakan publik terkait keberagamaan dan keberanekaragaman masyarakat; sebuah -isme.
Ia bukan multikulturalisme yang juga bisa punya makna “mengarifi perbedaan, memahami ada kemajemukan,” multikulturalisme yang bermakna penstandaran cara pandang dalam keberagamaan. Sesuatu yang bagi saya dan konteks keindonesiaan sebagai sesuatu yang buruk.
Di Barat, multikukturalisme mengejawantah dalam bentuk “integrasi kepada X values.”
X values ini disarukan dalam diksi yang nampaknya netral padahal tidak. X values ini, di negara Barat, dirujukkan pada values-nya majority.
Misalnya yang terbaru adalah geger di UK mengenai “British Values” yang rencananya akan didiseminasikan (tertarget) kepada komunitas tertentu yang “dianggap” tidak bisa berintegrasi kepada British Values.
Komunitas tertentu ini kebetulan sekali, kebetulan sekali, adalah komunitas Islam. Bahwa komunitas Islam ini, oleh pengusung kampanye Oath (Sumpah) untuk menetapi Bristish Values, dianggap kalis berintegrasi.
Aktivis Muslim di UK menggugat makna British Values ini. Bagaimanakah patokan dasar “Bristish” dan “Values” ini. Apakah values ini merujuk pada Christianity and Secular values?
Jadi, majority mendikte values dan minority harus berintegrasi pada values majority. “Demokrasi” malah seakan menjadi majoritarianism.
Di Australia juga sama. Aktivis Aboriginal juga menggugat konsep “integrasi” pada Australian culture yang kebetulan merujuk pada dua hal: Kulit Putih dan Christianity. Suara-suara vokal akan konsep integrasi; program mendidik Aborigin supaya bisa beintegrasi dengan Australian values bermunculan, hingga kini.
Di Indonesia …
=====
Saya lanjutkan status tersebut.
Di Indonesia, menyebut values keindonesiaan berdasar pada mayoritas agama tertentu adalah berbahaya bagi konsep Bhineka Tunggal Ika. Menyebut bahwa nilai keindonesiaan adalah nilai keislaman, bisa-bisa dituduh merusak kebhinekatunggalikaan.
Wait a minute. Kata “kebhinekatunggalikaan” ada tidak sih? Lazimnya “kebhinekaan” ya? Berarti “keberbedaan”? Ah, itu cuman bahasa! Jangan ribut masalah bahasa. Semua bisa diatur. Woles saja.
Pemimpin = Pembantu, jadi tidak perlu dipersoalkan kalau pembantu mengatur jalannya rumah tangga. Servant, to serve people dalam konteks juga bisa membuat policy, sebuah bahasa politik di dalam demokrasi, harusnya diterjemahkan letterlijk sebagai “servant.” Sering-seringlah piknik. Begitu nasehatnya.
Melindungi = Menjaga. Pemimpin yang melindungi rakyat tanpa memandang SARA, melindungi tempat ibadah, melindungi ini dan itu … berarti jangan dipersoalkan jika kami “menjaga.” Sering-seringlah piknik. Begitu nasehatnya.
Anyway, adalah lucu jika menyangkal bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam. Berdasar data demografis penduduk, umat Islam berjumlah lebih dari 75% persen di Indonesia.
Terkait dengan “persen-persenan” yang secara praktik di dalam demokrasi mencenderungkan kekuatan “bargain” di dalam lobi politik, ada anomali jika menyebut Indonesia.
Entah ini panemu saya yang salah atau bagaimana, semoga ada pembaca yang bisa memperkaya renungan saya, mengoreksi bagian yang kurang dari renungan, dan seterusnya, dan seterusnya.
Jika berkaca pada banyak negara Barat, kekuatan lobi yang menyangkut SARA seringkali berkorelasi positif dengan jumlah pemeluk agama di negara termaksud. Sebagaimana misalnya apa yang sudah saya contohkan dengan apa yang terjadi di UK, dan di status lainnya saya juga sudah menyinggung apa yang ada di Amerika Serikat.
Misalnya pada isu keperluterlibatan pada perayaan agama mayoritas. Di negara-negara Barat, mereka yang tidak terlibat pada perayaan agama mayoritas dianggap tidak bisa berintegrasi, berbahaya bagi komunitas dan masyarakat, bahkan pada titik ekstrim kadang dianggap sebagai ancaman nasional. Dalam keadaan terpaksa, kerap beberapa Brother dan Sister terpaksa hadir sebagai hadirin pasif karena khawatir dicap sebagai bukan seorang yang “British,” “American,” “Australian” …. “They dont respect our British Values” begitu kecamnya jika menghindari keterlibatan pada acara-acara seperti ini.
Nah, kalau di Indonesia malah sebaliknya. Ada seakan-akan stigma kepada Muslim yang [dicap] konservatif [atau kolot, jumud, kuno], yang menetapi bahwa perayaan agama adalah eksklusif masing-masing sehingga tidak mau terlibat pada perayaan agama liyan.
Sedangkan sejatinya pada kegiatan lain, orang-orang “konservatif yang juga dicap intoleran ini” bersemangat: “Ayo bangun Indonesia bersama-sama tanpa peduli SARA-mu!”
Sebab tolok ukur toleran tidaknya si fulan kemudian diukur pada keterlibatan aktifnya pada isme standardisasi multikulturalisme.
Sikap “konservatif” ini secara pelan akan terkonstruk pada kesimpulan bahwa mereka, para konservatif ini tidak mencerminkan semangat kebhinekaan, tidak toleran, atau bahkan bisa jadi kelak bisa dicap “tidak mencerminkan nilai-nilai keindonesiaan.”
Padahal, umat mayoritas ini tidak pernah dan tidak mau memaksa umat lain untuk terlibat di dalam pelaksanaan dan perayaan hari raya. Umat mayoritas ini tidak mau menyindir-nyindir agar umat liyan merasa risih dan gelisah untuk hidup bersama-sama di dalam wadah Republik untuk mau tidak mau terlibat dalam perayaan agama Islam.
Tentu saja di dalam tulisan ini saya tidak akan menyorot adanya umat liyan yang membuat risih dan gelisah umat Islam akan perlu keterlibatan dalam perayaan liyan. Sebab memang sependek tahu saya, malah tidak ada!
Fokus saya justru kepada kalangan pemuka internal umat Islam sendiri. Entah mengapa yang justru bersemangat mengkampanyekan perlu terlibatnya, normalisasi untuk terlibat, di dalam perayaan liyan adalah dari beberapa pemuka umat Islam sendiri. Argumennya ada yang mirip seperti disampaikan oleh Daniel lewat status Facebooknya yang saya terjemahkan bebas di atas.
Poin-poin yang dipakai di dalam sangat bergairah mengusung keterlibatan untuk umat Islam adalah: toleransi [seolah yang tidak adalah antitoleransi], khusus Natal misalnya tidak ada kaitannya dengan keyakinan karena di lingkup global sudah seperti perayaan kultural, keterlibatan tidak akan menggoyahkan iman yang kuat, ini sejatinya merayakan kelahiran nabi Isa (seperti maulid saja), semangat kebhinekaan kita pegang dan jangan kearab-araban, dan seterusnya dan seterusnya.
Poin-poin tersebut justru membuat kening saya berkernyit.
- Toleransi yang seperti itu bagi saya semacam bentuk lain dari pluralisme. Bahwa tidak ada perayaan yang sifatnya suci dan mendapatkan justifikasi sebagai keyakinan perayaan yang benar dipandu skriptur di hadapan Tuhan yang disembah sebab segala perayaan adalah sama saja dan Tuhan tidak ada masalah dengan bagaimana manusia mengadakan perayaan-perayaan dengan konsep berketuhanan yang berbeda-beda. Semua bebas dicampur demi toleransi.
- Justru pengertian sebagai perayaan kultural jika di dalam kajian budaya malah menunjukkan adanya “perayaan keagamaan yang sudah dinormalisasi sebagai perayaan kultural bagi siapa saja” dan adanya “perayaan keagamaan yang termarjinalkan dari konsep dirayakan oleh siapa saja.” Justru dari sini muncul sesuatu yang dominan hegemonik sedangkan yang lainnya termarjinalkan; bukan sesuatu yang bisa (baca: layak) dirayakan siapa saja; inferior.
- Jika berbicara mengenai “kegoyahan iman” atau tidak, status Daniel bisa saja dijadikan renungan. Namun jika kita cermat mencerapi dawuhnya Nabi Muhammad saw. untuk membuang atribut keagamaan liyan pada diri si fulan …. perintahnya bukan dalam konteks “khawatir ia akan goyah” namun lebih kepada bagaimana ekspresi keimanan juga meliputi cara menampilkan diri.
- Penyepadanan ini bermasalah pada banyak hal. Natal bagi umat Kristiani adalah perayaan kelahiran juru selamat, bagian dari trinitas, anak Tuhan. Kedua, kelahiran nabi Isa a.s. jika menuruti Quran bukan pada bulan apalagi tanggal termaksud. Tiga, sejak awal junjungan kita sudah memarkai perbedaan “kita” dan “mereka” dalam mempersepsi dan meyakini figur Isa (a.s) bahkan jelas ada ayat di Quran bicara letterlijk demikian. Bukankah argumen seperti ini adalah saru?
- Semangat kebhinekaan, justru, adalah semangat saling memberi ruang bagi kawan sebangsa untuk menjalankan ibadah dengan khidmat dan tanpa gangguan dari liyan. Begitu bukan?
Dari situlah kemudian nama Edward Said bisa relevan. Menyeruaknya nama Edward Said (The World, the Text, and the Critic, 1984) di dalam status ini adalah mengenai konsep kekritisan sekuler selalu dalam ambang benturan antara filiasi dan afiliasi. Ia selalu berada dan terikat dengan kultur yang dominan.
Pada konteks metropole dan periferal, penyepadanan pandangan dengan metropole adalah bentuk lain dari keterikatan intelektual tanpa disadari. Ketika metropole menggambarkan bahwa di luar mereka butuh diberadabkan … bahwa selain kebudayaan hegemonik Barat maka kebudayaan itu yang harus dirombakkan. Penyepadanan cara berpikir ini bisa bekerja di dalam bawah sadar.
Dus, pemuka Muslim (baik “ulama” maupun akademisi) yang pada alam bawah sadarnya terikat dalam keterikatan intelektual seperti ini akan mendapati bahwa kawan-kawannya seagama, muslim kawannya, butuh selalu untuk dikompatibilitaskan dengan apa yang menjadi mainstream di Barat.
Pada tataran sadar, pemuka Muslim (baik “ulama” maupun akademisi) ini butuh mengafiliasikan dirinya sebagai bagian dari intelektual metropole, pusat kebudayaan, budaya yang dominan dengan melihat dan menilai kawan seagamanya sebagaimana penilaian Barat: “we need to civilize them.”
Dari paradigma seperti inilah, kedominanan “our culture (baca: budaya Barat kami) di mana di Barat orang-orang Islam ini “dianggap” tidak bisa beradaptasi, berintegrasi, butuh dididik untuk terlibat di dalam values (values, belief, event, celebration, custom, norm) kami, diadopsi oleh “pemuka lokal yang terafiliasi Barat” ketika berbicara di Indonesia bahwa “mereka ini” butuh diberi treatment seperti yang berlaku pada “mereka yang berada di Barat” karena tidak bisa terintegrasi pada budaya dominan.
Dari situlah anomali mayoritas “di sini” (umat Islam di Indonesia) menjadi tidak sama “kuasa diskursusnya” dibandingkan dengan mayoritas “di Barat” (umat Kristen di Barat) bisa dijelaskan berdasar teori dan terjadi di dalam praktik.
Tulisan ini bukan hendak menuntut hak mayoritas di Indonesia (Muslim) untuk bermain politik multikulturalisme. Bhineka Tunggal Ika menolak politik multikulturalisme ala Barat. Tulisan ini hendak menjelaskan fenomena mengenai bagaimana sebagian pemuka mayoritas berjuang tak kenal lelah dan gagah perkasa “mendidik” rekan seagamanya untuk menormalisasi, menerima, berkontribusi aktif pada budaya dominan (di Barat yang justru di lokal bukan dominan).
Lihatlah kelak bisa muncul modifikasi tafsiran, pengusahaan pemahfuman isu-isu yang sudah mengalami normalisasi di Barat, di metropole pemikiran. Kelak akan dengan lincahnya pemahfuman beribadah bersama, penerimaan LGBTQ. Sebuah perlombaan “yang paling toleran” adalah “beradab” sebab tolok ukur peradaban bukan merujuk pendapat orang-orang lama namun bagaimana di Barat, di intelektualisme, di kritik, di pemikiran Barat hal-hal tersebut ditakar.
Lihatlah pelan-pelan lubang biawak itu memang siap menyambut. Dan kita ini akan serupa bola-bola Zuma sementara Kodok diam saja, kita berjalan tersedot ke lubang itu.
Demikian.
Status 21 Desember 2016
CARA BERPIKIR MULTIKULTURALISME: RACUN
Multikulturalisme sebagai isme, world view, menyetarakan satu pandangan pukul rata pada keyakinan yang berbeda. Semua harus dilogikakan dengan “logika” dan perbedaan tradisi berpikir serta skriptur disingkirkan. Ia semacam universalisme, globalisasi, standardisasi gaya berpikir dan mencerapi kehidupan.
Seperti pluralisme yang berbahaya ketika ia menjadi -isme, multikulturalisme memiliki ruh yang sama. Hanya multikulturalisme mengusung penstandaran takaran sedangkan pluralisme menerima perbedaan namun menyamakan tujuan; sebuah kerelatifan. (Jangan salah campur dengan multikulturalisme sebagai “penerimaan diversitas dan pluralisme sebagai padanan kemajemukan lho …)
Tidak hanya sekali saya mengkritik bagaimana kita mengikuti gendang tabuhan multikulturalisme ini dan ini adalah racun.
Berkenaan dengan toleransi, ada dua pendekatan yang ramai di Indonesia dan salah satu dari ini tidak produktif. Justru yang tidak produktif ini yang kerap muncul di media sosial dan parahnya kadang disengkuyung, di-endorse, digaungkan oleh, dalam konteks keyakinan saya, akademisi-akademisi Muslim atau bahkan “Ulama” atau “Ustad Gadungan.” Pendekatan toleransi yang saling belajar untuk dapat belajar memahami ditinggalkan dan di media sosial malah ramai pada ide toleransi yang tak produktif. Kacau. Chaos.
Misal di dalam pemersoalan “topi Santa Klaus” yang asosiatif dengan (perayaan) Natal meski tidak dipakai pada hari Natal sekalipun.
Saya tak akan bicara kajian pop culture seperti misalnya bagaimana FIKSASI warna khas Santa Claus adalah merah dan putih yang ada sejarah kuat Coca Cola. Saya tak mengatakan bahwa sebelumnya tidak ada representasi Santa dengan warna itu. Fokusnya adalah pengukuhan, fiksasi, bahkan mungkin bisa dikelindankan dengan kerja kapitalisme. Jika Panjenengan longgar, bisa do some research sendiri.
Argumen yang toksik menyinyirkan “apakah hanya dengan topi Santa” kemudian “imanmu menjadi lemah atau hilang atau terkristenkan” … “kalau begitu lemah sekali imanmu” atau kalimat semakna dengannya memiliki cara pandang multikulturalisme, bahwa dimunculkan keseragaman berpikir pada kekhasan tiap budaya, tradisi, agama. Ia seolah-olah “sangat logis” namun jika serius merenungi adalah racun.
Di dalam diskursus khas Islamik, ada panduan-panduan yang berlandas skriptur yang secara jelas melarang penyerupaan cara beraksesoris yang asosiatif dengn keyakinan liyan.
Jika misalnya di dalam agama lain, “hal yang sama” tidak disebut bermasalah (baca: dosa; menciderai iman), karena memang tidak ada panduan skriptur tentang itu di dalam tradisi mereka, maka itu adalah khas mereka.
Sungguh sangat tak elok mendampingkan satu fenomena yang sama dengan alat takaran yang berbeda. Upaya “standarisasi” ini adalah racun dan banyak yang tidak sadar tentangnya. Jika standarisasi penakaran ini kemudian dilazimkan dan menjadi sesuatu yang normal di mata awam, menjadi ternormalisasikan, maka banyak kekhasan tiap agama menjadi luntur dan terlebur serta semangat “berusaha memahami,” semangat toleransi, cita-cita Bhineka Tunggal Ika menjadi sesuatu basi.
Contoh lain yang dulu pernah saya bahas adalah karikatur para Nabi (salam dan sholawat atas mereka semua). Di dalam tradisi Islam, (isu ikonoklasme) adalah tercela jika menggambarkan Nabi, siapapun Nabi itu. Dan ini disepakati di dalam tradisi imam yang empat.
Nah, dalam konteks agama bertalian lewat Bapak Ibrahim, atau Abraham, di Indonesia, di dalam tradisi Katolik dan Kristen sependek pengetahuan saya, tidak ada larangan itu. Dan memang Katolik dan Kristen ada tradisi menggambarkan para Nabi (dan juga Yesus).
Pembicaraan tentang Yesus (Jesu, Joshua, ‘Isa) dan bagaimana “ia” direpresentasikan dan diyakini secara berbeda di dalam Katolik, Kristen, dan Islam tak perlu saya bahas panjang lebar kecuali bahwa seorang Muslim dianggap Kafir jika tidak meyakini Yesus (bukan sebagai bagian dari Trinitas, tentu saja, namun sebagai salah satu figur penting dalam penyampaian pesan Tuhan kepada kaum Yahudi: sebagai Nabi dan Rasul).
Oleh sebab itulah terjadi “toleransi” ketika Islam melarang penggambaran Nabi siapapun sedangkan Katolik dan Kristen mengharuskan pengimajian riil Yesus dalam patung dalam gambar, maka tirisan yang muncul adalah “toleransi, memahami” bagaimana keyakinan umat Katolik dan Kristen sedangkan untuk gambar Nabi Muhammad (sholawat dan salam atasnya), larangan itu berlaku. Kepada umat liyan, yang tiada urgensi keyakinan untuk menggambarkan Nabi Muhammad, maka penggambarannya adalah dianggap pelecehan.
Begitu juga misalnya bagaimana Sunan Kudus konon menasehati santrinya agar menghindari makan daging sapi sebab masih banyak umat Hindu saat itu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. (Mengenai apakah Hindu di Jawa saat itu, di India dan di Bali sama keyakinan akan sapi, saya belum mengkajinya) Bukan mengharamkan daging sapi namun jangan memprovokasi penyembelihan sapi, konsumsi daging sapi, di depan khalayak Hindu.
Kembali ke “gambar,” sangat tidak elok misalnya mengatakan: “lha wong di kita saja mau gambar ini dan gambar itu tidak masalah, masak kita menggambar Nabi Muhammad saja tidak boleh. Kamu boleh kok menggambar Nabi-nabi di tradisi kami. Begitu saja kok ribut. Jangan menjadi umat yang bersumbu pendek.”
Kalau yang bilang seperti itu adalah liyan, maka memahamkan dengan kasih dan lembut diperlukan. Sampaikan kepada mereka bagaimana “tradisi” kita dan berharap mereka mau “toleransi.” Kalau memang bersinggungan “kepentingan,” coba cari adakah tirisan atas itu. Damai itu baik bagi semua dan itu memerlukan saling belajar mendengarkan.
Nah, kalau misalnya ada “ulama nyinyirun” atau Ustad jadi-jadian seperti Ustad Abu Janda Al Boliwudi, yang “terkenal itu,” mengatakan kalimat seperti itu atau membuat meme berkalimat seperti itu, ….
Panjenengan harusnya tahu untuk tidak menenggak racun itu. Bahkan walaupun hanya untuk lucu-lucuan. Tidak elok (bagi diri Panjenengan) dan berbahaya (bagi liyan yang kemudian malah mem-perceive Islam dengan cara di luar tradisi mainstream dan malah memegang tradisi “popular” yang muncul dari justifikasi dan atau afirmasi JUSTRU dari umat Islam yang menganggap hal-hal itu HANYA “lucu-lucuan”).
Demikian.
Status 19 Desember 2016
ROSEMARY WANGANEEN
Perempuan dengan nama sesuai judul, mungkin kita semua belum mengenalnya. Namun jika kita mengikuti dinamika Aborigin di Australia, tentu lamat-lamat kita pernah mendengar namanya.
Radikal? Mungkin ia akan disematkan sebagai perempuan yang berpola pikir radikal dan tidak toleran. Akan tetapi jika menyimak tulisannya mengenai ketidakmauterlibatannya di dalam perayaan Natal di Australia walaupun bukan berarti membuat onar akan perayaan Natal, maka kita akan memahami bagaimana cara berpikirnya.
Ia menolak konsep harus berasimilasi dan berintegrasi pada perayaan mainstream hanya supaya diterima sebagai bagian dari kebudayaan hegemonik Kulit Putih.
Ia bangga dengan keaboriginannya, kulturnya, dan kepercayaan ala Aborigin miliknya. Dus, ia bisa berbagi ruang dengan mereka yang merayakannya namun ia tidak merasa harus ikut merayakannya. Ia memberi nasehat kepada kaum Aborigin lainnya bahwa ucapan “no” mungkin terasa berat. Harus kuat secara mental dan emosional untuk mengatakan “no” pada perayaan itu. Namun ia juga berpesan bahwa “no” yang diucapkan harus dalam penolakan yang penuh kasih sayang dan harus melawan “rasa bersalah” karena tidak ikut-ikutan tren masyarakat yang dicelupi kebudayaan mainstream untuk menormalisasi ikut perayaan tersebut. Ia menasehati agar dalam usaha tersebut untuk selalu menekankan confidence dan memegangi pride, bahwa mereka Aboriginalpeople.
Dan bukan, bukan, ini bukan bagian dari “War on Christmas” yang memusuhi keberagamaan untuk dirayakan di publik … Jangan salah memetakan.
Oh ya, sudahkah kita semua mendapati kisah Piet Hitam di Belanda dan argumen Kulit Hitam untuk sementara menolak partisipasi selebrasi karena Piet Hitam secara bawah sadar meneguhkan dominasi Kulit Putih dan injeksi inferioritas Kulit Hitam?
Ah, marilah duduk berkopi bersama. Sini.