Tidak Mengucap “Selamat Natal” – Sebuah Kompilasi Status Facebook

Status 26 Desember 2016

KETIDAKBOLEHAN TERLIBAT PERAYAAN NATAL, MENGUCAPKAN “SELAMAT NATAL,” DAN SALAH PERSEPSI

Adalah kebablasan luar biasa manakala fatwa para ulama mengenai ketidakbolehan terlibat pada perayaan Natal kemudian dimaknai SEBAGIAN ORANG ISLAM yang meyakini ketidakbolehan terlibat pada perayaan Natal untuk tidak menjaga hubungan baik kepada teman-teman dan kenalan Kristen mereka.

Jika sebelumnya kala bertemu dengan teman-teman dan kenalan Kristen mereka, SEBAGIAN ORANG ISLAM ini sudah terbiasa menyapa bagaimana kabar dan seterusnya dan seterusnya, bukan berarti fatwa ketidakbolehan terlibat pada perayaan Natal diartikan bermuka masam, hilang senyum, dan tegur sapa.

Seperti dalam hal bisnis, muamalah, kita harus bisa memahami bahwa oke oke saja bagi mereka yang beragama Kristen untuk mengekspresikan di toko mereka, di ucapan-ucapan bisnis mereka pada hari Natal. Jangan larang hak tersebut. Mereka punya hak merayakan itu.

Tentu, ketika kita menjadi pegawai dari bos yang sedang merayakan Natal, kita bisa menyampaikan dengan baik bahwa kita tidak bisa terlibat endorsement pernatalan (memakai pernik dan kostum), sedangkan aktivitas bisnis, tetaplah berjalan sebagai mana biasa, tetap masuk kerja kalau memang tak bisa ganti shift (agar kalau bisa, tidak terjebak awkward situation): sebuah muamalah, sesama manusia.

Menghindari mereka pada hari H, haruslah dipahami pada keadaan: menghindari mereka ketika “event” perayaan Natal diselenggarakan supaya tidak awkward dan ketika tidak bisa menghindari berinteraksi pada hari H maka bukan malah menjadi seseorang yang masam muka atau galak tidak karuan.

Peran media sosial yang mengikat diri kita di masa kini, menjadikan kita aneh ketika biasanya sangat ceriwis kemudian menjadi diam beraktivitas di media sosial pada sekitaran hari H dan hari H, bisa menimbulkan persepsi yang liar apalagi pada mereka yang kefigurannya bukan terkait agama DAN MENCEGAH POTENSI STEMPEL LIAR yang sedihnya, ironisnya, bisa muncul dari saudara kita sendiri mengenai “toleran dan tidak toleran” dan status Facebook saya berjudul CONTOH adalah contoh solusi dari yang saya lihat atas figur yang menjaga kehormatan dirinya di masa stempel liar merajalela.

Bukankah kita, muslim di masa kini, menghadapi dua jenis ekstremisme? Main ganyang dan satunya main permisif dengan takaran budaya dominan?

Status 25 Desember 2016

CONTOH

Jika Anda di Barat, sudah menjadi pemahaman umum bahwa ucapan “Happy Holidays” adalah ucapan yang sudah disepakati untuk menghilangkan perasaan awkward (aneh, ganjil) ketika Natal tiba namun bingung harus memberi greeting yang bukan “Merry Christmas.”

Tengoklah perkembangan di dunia Barat (khususon dunia yang berbahasa Inggris) mengenai sejarah pemakaian greeting “Happy Holidays” tersebut dan kemahfumannya di publik. Lihatlah bagaimana misalnya Avast, antivirus yang sudah tiga tahun saya langgan berbayar, memberikan ucapan “Happy Holidays” buat saya dan pelanggan lainnya. Lihatlah juga Ustadz Abu Eesa yang menyatakan “Happy holidays everyone!”

Tentu koridornya, bagi saya, yang kini di dunia Barat, Australia, kalau bisa tidak bermahsyuk pada hari H dan sekitarnya dengan kawan-kawan dan kenalan saya yang bule, tentu saya lakukan. Biar tidak ada keadaan awkward.

Tentu jika terpaksa harus bertemu, berinteraksi, sedangkan mereka memberi greeting itu, jawaban “Happy Holidays” adalah jawaban membalas “niat baik” mereka.

Seperti Sabtu kemarin ketika saya harus berinteraksi dengan beberapa orang bule, semarak dan semangat mereka merayakan Natal begitu kentara. Sesuatu yang manusiawi, bahwa setiap pemercaya, saat hari raya tiba tentunya gairah itu ada. Ya, kita, manusia.

Pada hari itu saya, karena tak bisa menghindari interaksi pada hari itu, sehari sebelum hari ini, bertemu dengan mereka. Seperti biasa, karena saya terlibat dalam kerja yang terkait care dan hospitality, “Good Morning” atau “Good good itu adalah bahasa standar … plus “how are you today” tentunya. Sepanjang hari itu saya, seperti biasa, akrab mengobrol satu dua tiga dengan beberapa bule ini. Tentu senyum, kita selalu niatkan sebagai sedekah kepada orang lain (zonder pandang SARA), tentu tak lupa.

Hanya satu kali saja, pada hari itu, dari beberapa bule, malah ada klien dari Nepal (ada satu dua dari Bangla dan Nepal, tapi kebanyakan bule) yang memberikan ucapan “niat baik”-nya “Merry Christmas,” tentu kita tahu bagaimana merespon awkward situation tadi.

Sebagaimana siang ini, ketika saya membuka Facebook, ada dosen sosiologi terkenal di Indonesia di akun Facebooknya, ia mengucapkan, bukan “Selamat Natal” namun kurang lebih “Semoga liburan Natal dan Tahun Baru 2017 menyegarkan semangat kita.”

Ia berada dalam posisi sebagai figur publik dan Natal kini sedang dirayakan oleh teman sebangsa setanah air yang beragama Kristen. Tentu saja penghindaran interaksi mungkin tidak bisa dilakukan dan kefigurannya di publik tidak terikat keagamaan.

Di satu sisi, saya, saya membacanya, bahwa ia seorang muslim yang mengikuti fatwa sekumpulan ulama kini, dan pendapat yang juga dipegang oleh ulama-ulama dulu, mengenai bagaimana mempraktikkan toleransi ketika Natal tiba: Tidak mengganggu peribadatan dan kekhusyukan mereka, dan ‘puasa interaksi jika mungkin pada hari sekitar’ supaya tidak berada pada awkward situation. Mengerti bahwa peribadatan liyan tidak boleh diganggu.

Begitu juga saya kenal figur publik di Facebook yang kefigurannya tidak terkait agama, menampilkan berita daring dari media massa nasional mengenai persiapan pengamanan penyelenggaran Natal oleh kepolisian. Beliau ini memberi komentar pengantar kurang lebih: semoga baik, semoga lancar.

Intinya adalah banyak cara untuk berinteraksi dengan liyan ketika stempel “toleran dan tidak toleran” melayang secara liar kepada mereka yang niatnya hendak pasif saja.

Cara mereka ini, para figur publik di dalam mengatasi ke-awkward-an situasi dan potensi negatif yang mungkin timbul dari mereka yang ingin serba permisif kemudian juga ada hasrat keterlaluan menempel stempel “tidak toleran” ke mana-mana pada orang-orang: “yang hendak menjaga kehormatan dirinya dengan cara elegan sebagai muslim yang berinteraksi dengan liyan.”

Banyak cara untuk menghadapi banyak situasi yang mungkin kita hadapi di saat sesuatu yang privat menjadi sasaran publik, kepo publik, di dunia masa kini yang terikat dengan aktivitas di media sosial sehingga “diam” saja dianggap ganjen. Juga di saat cibiran mereka yang berhati keruh hendak menstandarkan marka penerapan toleransi, juga di saat saling memahami dan mendengarkan kini kerap dikuasai cara berpikir dan doktrin dari budaya yang dominan.

InsyaAllah banyak cara. Tentu munculnya cara menghadapi keadaan, muncul dari ikhtiar dan tidak suka menggampang-gampangkan, apalagi menyepelekan nasehat-nasehat indah para ulama tentang jalan ini. Jalan yang kelak akan “dibaca” liyan sebagai asing, jalan yang kelak akan “dipahami” liyan dan bahkan kawan sebagai asing.

Tentu dua figur publik yang saya jadikan contoh dikenal kefigurannya bukan pada hal yang terikat dengan agamanya. Akan beda tentunya, kadar menyikapi situasinya, bagi mereka yang Ustadz apalagi Kyai. Bisa malah berdakwah mengenai perbedaan yang mohon dimaklumi oleh liyan, (lihat misal gaya Mufti Menk yang bicara betapa besar cinta atas Yesus (pbuh), bisa juga benar-benar puasa total tidak nimbrung. Tentu memprihatinkan jika malah menuntut untuk nimbrung.

Benar, itu hanyalah, cuman, sekedar “ucapan.” Tapi dari ucapan, seseorang bisa disebut berikrar masuk ke suatu iman. “Kesaksian yang dua itu” juga sebuah ucapan. Jika hati membenarkan maka ia sebuah kesaksian yang genuine. Ucapan pun, jika ia hanya benar di mulut namun hati menyangkal, maka jadilah ia kebohongan. Dan kita tahu bahwa ucapan kita semuanya tercatat, ia bukanlah kotoran yang dilempar ke jamban lalu kita flush, kita lupakan. Sekedar ucapan, sementara masih banyak jalan untuk mengucapkan (jika kedapatan awkward) atau malah tidak mengucapkan.

Demikian.

Status 24 Desember 2016

Credit: Kohei Hara | Digital Vision | Getty Images

Credit: Kohei Hara | Digital Vision | Getty Images

SAYA, NATAL, DAN RENUNGAN AKAN TOLERANSI: MAYORITAS TETAPI BUKAN MAYORITAS

Barusan saya mendapati status Facebook Daniel Haqiqatjou. Sebagaimana sudah saya sering sampaikan kepada beberapa teman, bahwa saya menyukai pendekatan filosofis si Daniel ini. Beda dengan saya yang dulu mengenyam sastra dan marketing, serta kini pada kajian budaya fokus maskulinitas, Daniel ini mencicip bangku fisika dan filsafat di Harvard. Perpaduan ilmu yang menarik di kampus yang mentereng. Konon banyak fisikawan yang dalam ketika berfilsafat. Bisa saya sebut satu nama: Newton.

Status Daniel yang saya terjemahkan bebas berikut menyodorkan realitas alternatif. Ia mengajak kita untuk merenung dan hasil renungan tentu berpulang kepada diri masing-masing.

Berikut terjemah bebas status tersebut:

=====
“Di dalam realitas yang dibalik, sebuah realitas alternatif, Hari Raya umat Islam adalah perayaan yang dirayakan di seluruh dunia dibandingkan dengan perayaan Natal. Dan seperti perayaan Natal di dunia yang kita diami ini, Hari Raya umat Islam di realitas alternatif telah disekulerkan dan dikomersialkan, bahkan banyak sekali non-Muslim berpartisipasi di dalam “festival kegembiraan Eid” di rumah mereka masing-masing, pergi ke mall untuk melakukan “belanja saat Eid,” dan menonton “film klasik khas Eid” bersama dengan keluarga.

Di realitas alternatif, tidak diadakan parade Natal, namun kota-kota mengadakan parade Eid. Bukan dengan Santa dan pemberian hadiahnya, namun ada pembagian Qurban. Bukan sweater Natal yang membosankan, namun orang bisa mengeluhkan baju Eid yang harus diganti. Setiap orang, baik Muslim … dan non-Muslim, terlibat bersama mearayakan “Semangat Eid.”

Namun tentu saja ada non-Muslim yang konservatif yang berusaha merusak “kegembiraan pesta” dan menasehati orang-orang untuk tidak terlibat di dalam Hari Raya-nya Muslim, bahkan ketika perayaan Hari Raya tersebut dalam rangka kultural karena kita tidak tahu mengenai keyakinan yang disandarkan pada Allah dan Muhammad saw., sehingga anak-anak non-Muslim tanpa sadar bisa mengadopsi pelan-pelan dalam bawah sadar mulai dari aspek-aspek yang kecil ketika mereka terlibat dalam kegembiraan perayaan Idul Fitri dan Idul Adha. Dan tanpa kau sadari, mereka bisa pindah agama menjadi Muslim!

Namun para liberal mencibir nasehat kaum konservatif. “Rileks!” kata mereka. “Ikut-ikutan menyembelih hewan kurban tak akan membuat si Paijo menjadi seorang Muslim! Jangan merusak toleransi ini dan kesenangan bersama ini!”

Tapi semprul. Si Paijo akhirnya menjadi seorang Muslim. Dengan jenggot sunnah yang dibiarkan tumbuh lebat di dagunya dan suara adzannya sangat merdu di masjid dekat perkampungan kita.”

=====
Saya mengganti Little Johny dengan si Paijo. Mungkin karena tertular Paijo-nya Pak Jorg Rachide tapi mungkin juga tidak. Nama Paijo kebetulan saja keluar pada saat menerjemahkan bebas status Facebook tersebut.

Bagi saya, atau kami, sebagai orang Jawa, atau bagi saya alias Pak Jorg Rachide tidak saya wakili pada kata “kami,” Paijo kerap dipakai oleh orang Jawa untuk menyebut dalam gerundelan atas seorang laki-laki ketika jengkel. Jadi jangan heran ketika ada orang Jawa sedang menggerundel karena jengkel kepada, misalnya Wawan, ia bukan menggerundel: “O, Wawan!” tetapi: “O, Paijo i!”

Nah, saya tidak tahu apakah panemu saya mengenai pseudonim gerundelan khas Jawa “Paijo” sebagaimana sering dipakai oleh Pak Jorg Rachide sama atau tidak.

Anyway, status Daniel tersebut membuat saya malah jadi teringat kepada salah satu tulisan kolom Catatan Pinggir Goenawan Mohamad yang berbicara perayaan Natal di, kalau saya tak salah ingat, Amerika Serikat. Di dalam tulisannya yang sudah dibukukan dengan judul yang sama Catatan Pinggir tersebut, ia mengajak merenungi keindahan perayaan Natal yang bisa dirayakan oleh semua orang. Perayaan Natal telah menjadi perayaan kultural dan sudah tidak eksklusif lagi milik umat Kristen. Begitu kurang lebih pesannya. Rileks saja dan nikmati kegembiraan ini.

Saya tidak mau di dalam status ini menyebut Goenawan Mohamad sebagai seorang liberal ketika menyandingkannya dengan status Daniel tersebut di atas. Saya hanya akan mengatakan dan berani menyimpulkan bahwa cara pandang Daniel dengan Goenawan memang berbeda. Daniel seolah menasehati: “hati-hati jatuh pada lubang biawak!” sedangkan Goenawan seolah berdakwah: “nikmati segala kegembiraan ini!”

Meski tidak linier utuh dengan pembicaraan di atas, renungan saya melayang pada status yang belum saya selesaikan tadi siang. Status yang saya buat ketika hendak bersiap berangkat untuk berbelanja daging giling di toko daging halal di Clayton Shopping Centre.

Di dalam status tersebut, saya berbicara mengenai Multikulturalisme dan Edward Said. Lewat status ini, saya lengkapkan keterputusan status tadi siang sembari menjelaskan pada bagian manakah ia BISA saya relevankan dengan status Daniel.

=====

MULTIKULTURALISME DAN EDWARD SAID (buat Koh Ananta Kandaka)

“Multikulturalisme dengan Edward Said mungkin tidak ada kaitannya. Dus, judul di atas seakan mengada-ada.

Sebagaimana status saya sebelumnya, multikulturalisme sebagai -isme, worldview adalah berbahaya bagi mantra Bhineka Tunggal Ika kita.

Multikulturalisme memiliki beberapa makna namun yang berulang kali saya senggol adalah multikulturalisme yang kini dipakai di beberapa negara Barat di dalam menjadi pijakan kebijakan publik terkait keberagamaan dan keberanekaragaman masyarakat; sebuah -isme.

Ia bukan multikulturalisme yang juga bisa punya makna “mengarifi perbedaan, memahami ada kemajemukan,” multikulturalisme yang bermakna penstandaran cara pandang dalam keberagamaan. Sesuatu yang bagi saya dan konteks keindonesiaan sebagai sesuatu yang buruk.

Di Barat, multikukturalisme mengejawantah dalam bentuk “integrasi kepada X values.”

X values ini disarukan dalam diksi yang nampaknya netral padahal tidak. X values ini, di negara Barat, dirujukkan pada values-nya majority.

Misalnya yang terbaru adalah geger di UK mengenai “British Values” yang rencananya akan didiseminasikan (tertarget) kepada komunitas tertentu yang “dianggap” tidak bisa berintegrasi kepada British Values.

Komunitas tertentu ini kebetulan sekali, kebetulan sekali, adalah komunitas Islam. Bahwa komunitas Islam ini, oleh pengusung kampanye Oath (Sumpah) untuk menetapi Bristish Values, dianggap kalis berintegrasi.

Aktivis Muslim di UK menggugat makna British Values ini. Bagaimanakah patokan dasar “Bristish” dan “Values” ini. Apakah values ini merujuk pada Christianity and Secular values?

Jadi, majority mendikte values dan minority harus berintegrasi pada values majority. “Demokrasi” malah seakan menjadi majoritarianism.

Di Australia juga sama. Aktivis Aboriginal juga menggugat konsep “integrasi” pada Australian culture yang kebetulan merujuk pada dua hal: Kulit Putih dan Christianity. Suara-suara vokal akan konsep integrasi; program mendidik Aborigin supaya bisa beintegrasi dengan Australian values bermunculan, hingga kini.

Di Indonesia …

=====

Saya lanjutkan status tersebut.

Di Indonesia, menyebut values keindonesiaan berdasar pada mayoritas agama tertentu adalah berbahaya bagi konsep Bhineka Tunggal Ika. Menyebut bahwa nilai keindonesiaan adalah nilai keislaman, bisa-bisa dituduh merusak kebhinekatunggalikaan.

Wait a minute. Kata “kebhinekatunggalikaan” ada tidak sih? Lazimnya “kebhinekaan” ya? Berarti “keberbedaan”? Ah, itu cuman bahasa! Jangan ribut masalah bahasa. Semua bisa diatur. Woles saja.

Pemimpin = Pembantu, jadi tidak perlu dipersoalkan kalau pembantu mengatur jalannya rumah tangga. Servant, to serve people dalam konteks juga bisa membuat policy, sebuah bahasa politik di dalam demokrasi, harusnya diterjemahkan letterlijk sebagai “servant.” Sering-seringlah piknik. Begitu nasehatnya.

Melindungi = Menjaga. Pemimpin yang melindungi rakyat tanpa memandang SARA, melindungi tempat ibadah, melindungi ini dan itu … berarti jangan dipersoalkan jika kami “menjaga.” Sering-seringlah piknik. Begitu nasehatnya.

Anyway, adalah lucu jika menyangkal bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam. Berdasar data demografis penduduk, umat Islam berjumlah lebih dari 75% persen di Indonesia.

Terkait dengan “persen-persenan” yang secara praktik di dalam demokrasi mencenderungkan kekuatan “bargain” di dalam lobi politik, ada anomali jika menyebut Indonesia.

Entah ini panemu saya yang salah atau bagaimana, semoga ada pembaca yang bisa memperkaya renungan saya, mengoreksi bagian yang kurang dari renungan, dan seterusnya, dan seterusnya.

Jika berkaca pada banyak negara Barat, kekuatan lobi yang menyangkut SARA seringkali berkorelasi positif dengan jumlah pemeluk agama di negara termaksud. Sebagaimana misalnya apa yang sudah saya contohkan dengan apa yang terjadi di UK, dan di status lainnya saya juga sudah menyinggung apa yang ada di Amerika Serikat.

Misalnya pada isu keperluterlibatan pada perayaan agama mayoritas. Di negara-negara Barat, mereka yang tidak terlibat pada perayaan agama mayoritas dianggap tidak bisa berintegrasi, berbahaya bagi komunitas dan masyarakat, bahkan pada titik ekstrim kadang dianggap sebagai ancaman nasional. Dalam keadaan terpaksa, kerap beberapa Brother dan Sister terpaksa hadir sebagai hadirin pasif karena khawatir dicap sebagai bukan seorang yang “British,” “American,” “Australian” …. “They dont respect our British Values” begitu kecamnya jika menghindari keterlibatan pada acara-acara seperti ini.

Nah, kalau di Indonesia malah sebaliknya. Ada seakan-akan stigma kepada Muslim yang [dicap] konservatif [atau kolot, jumud, kuno], yang menetapi bahwa perayaan agama adalah eksklusif masing-masing sehingga tidak mau terlibat pada perayaan agama liyan.

Sedangkan sejatinya pada kegiatan lain, orang-orang “konservatif yang juga dicap intoleran ini” bersemangat: “Ayo bangun Indonesia bersama-sama tanpa peduli SARA-mu!”

Sebab tolok ukur toleran tidaknya si fulan kemudian diukur pada keterlibatan aktifnya pada isme standardisasi multikulturalisme.

Sikap “konservatif” ini secara pelan akan terkonstruk pada kesimpulan bahwa mereka, para konservatif ini tidak mencerminkan semangat kebhinekaan, tidak toleran, atau bahkan bisa jadi kelak bisa dicap “tidak mencerminkan nilai-nilai keindonesiaan.”

Padahal, umat mayoritas ini tidak pernah dan tidak mau memaksa umat lain untuk terlibat di dalam pelaksanaan dan perayaan hari raya. Umat mayoritas ini tidak mau menyindir-nyindir agar umat liyan merasa risih dan gelisah untuk hidup bersama-sama di dalam wadah Republik untuk mau tidak mau terlibat dalam perayaan agama Islam.

Tentu saja di dalam tulisan ini saya tidak akan menyorot adanya umat liyan yang membuat risih dan gelisah umat Islam akan perlu keterlibatan dalam perayaan liyan. Sebab memang sependek tahu saya, malah tidak ada!

Fokus saya justru kepada kalangan pemuka internal umat Islam sendiri. Entah mengapa yang justru bersemangat mengkampanyekan perlu terlibatnya, normalisasi untuk terlibat, di dalam perayaan liyan adalah dari beberapa pemuka umat Islam sendiri. Argumennya ada yang mirip seperti disampaikan oleh Daniel lewat status Facebooknya yang saya terjemahkan bebas di atas.

Poin-poin yang dipakai di dalam sangat bergairah mengusung keterlibatan untuk umat Islam adalah: toleransi [seolah yang tidak adalah antitoleransi], khusus Natal misalnya tidak ada kaitannya dengan keyakinan karena di lingkup global sudah seperti perayaan kultural, keterlibatan tidak akan menggoyahkan iman yang kuat, ini sejatinya merayakan kelahiran nabi Isa (seperti maulid saja), semangat kebhinekaan kita pegang dan jangan kearab-araban, dan seterusnya dan seterusnya.

Poin-poin tersebut justru membuat kening saya berkernyit.

  • Toleransi yang seperti itu bagi saya semacam bentuk lain dari pluralisme. Bahwa tidak ada perayaan yang sifatnya suci dan mendapatkan justifikasi sebagai keyakinan perayaan yang benar dipandu skriptur di hadapan Tuhan yang disembah sebab segala perayaan adalah sama saja dan Tuhan tidak ada masalah dengan bagaimana manusia mengadakan perayaan-perayaan dengan konsep berketuhanan yang berbeda-beda. Semua bebas dicampur demi toleransi.
  • Justru pengertian sebagai perayaan kultural jika di dalam kajian budaya malah menunjukkan adanya “perayaan keagamaan yang sudah dinormalisasi sebagai perayaan kultural bagi siapa saja” dan adanya “perayaan keagamaan yang termarjinalkan dari konsep dirayakan oleh siapa saja.” Justru dari sini muncul sesuatu yang dominan hegemonik sedangkan yang lainnya termarjinalkan; bukan sesuatu yang bisa (baca: layak) dirayakan siapa saja; inferior.
  • Jika berbicara mengenai “kegoyahan iman” atau tidak, status Daniel bisa saja dijadikan renungan. Namun jika kita cermat mencerapi dawuhnya Nabi Muhammad saw. untuk membuang atribut keagamaan liyan pada diri si fulan …. perintahnya bukan dalam konteks “khawatir ia akan goyah” namun lebih kepada bagaimana ekspresi keimanan juga meliputi cara menampilkan diri.
  • Penyepadanan ini bermasalah pada banyak hal. Natal bagi umat Kristiani adalah perayaan kelahiran juru selamat, bagian dari trinitas, anak Tuhan. Kedua, kelahiran nabi Isa a.s. jika menuruti Quran bukan pada bulan apalagi tanggal termaksud. Tiga, sejak awal junjungan kita sudah memarkai perbedaan “kita” dan “mereka” dalam mempersepsi dan meyakini figur Isa (a.s) bahkan jelas ada ayat di Quran bicara letterlijk demikian. Bukankah argumen seperti ini adalah saru?
  • Semangat kebhinekaan, justru, adalah semangat saling memberi ruang bagi kawan sebangsa untuk menjalankan ibadah dengan khidmat dan tanpa gangguan dari liyan. Begitu bukan?

Dari situlah kemudian nama Edward Said bisa relevan. Menyeruaknya nama Edward Said (The World, the Text, and the Critic, 1984) di dalam status ini adalah mengenai konsep kekritisan sekuler selalu dalam ambang benturan antara filiasi dan afiliasi. Ia selalu berada dan terikat dengan kultur yang dominan.

Pada konteks metropole dan periferal, penyepadanan pandangan dengan metropole adalah bentuk lain dari keterikatan intelektual tanpa disadari. Ketika metropole menggambarkan bahwa di luar mereka butuh diberadabkan … bahwa selain kebudayaan hegemonik Barat maka kebudayaan itu yang harus dirombakkan. Penyepadanan cara berpikir ini bisa bekerja di dalam bawah sadar.

Dus, pemuka Muslim (baik “ulama” maupun akademisi) yang pada alam bawah sadarnya terikat dalam keterikatan intelektual seperti ini akan mendapati bahwa kawan-kawannya seagama, muslim kawannya, butuh selalu untuk dikompatibilitaskan dengan apa yang menjadi mainstream di Barat.

Pada tataran sadar, pemuka Muslim (baik “ulama” maupun akademisi) ini butuh mengafiliasikan dirinya sebagai bagian dari intelektual metropole, pusat kebudayaan, budaya yang dominan dengan melihat dan menilai kawan seagamanya sebagaimana penilaian Barat: “we need to civilize them.”

Dari paradigma seperti inilah, kedominanan “our culture (baca: budaya Barat kami) di mana di Barat orang-orang Islam ini “dianggap” tidak bisa beradaptasi, berintegrasi, butuh dididik untuk terlibat di dalam values (values, belief, event, celebration, custom, norm) kami, diadopsi oleh “pemuka lokal yang terafiliasi Barat” ketika berbicara di Indonesia bahwa “mereka ini” butuh diberi treatment seperti yang berlaku pada “mereka yang berada di Barat” karena tidak bisa terintegrasi pada budaya dominan.

Dari situlah anomali mayoritas “di sini” (umat Islam di Indonesia) menjadi tidak sama “kuasa diskursusnya” dibandingkan dengan mayoritas “di Barat” (umat Kristen di Barat) bisa dijelaskan berdasar teori dan terjadi di dalam praktik.

Tulisan ini bukan hendak menuntut hak mayoritas di Indonesia (Muslim) untuk bermain politik multikulturalisme. Bhineka Tunggal Ika menolak politik multikulturalisme ala Barat. Tulisan ini hendak menjelaskan fenomena mengenai bagaimana sebagian pemuka mayoritas berjuang tak kenal lelah dan gagah perkasa “mendidik” rekan seagamanya untuk menormalisasi, menerima, berkontribusi aktif pada budaya dominan (di Barat yang justru di lokal bukan dominan).

Lihatlah kelak bisa muncul modifikasi tafsiran, pengusahaan pemahfuman isu-isu yang sudah mengalami normalisasi di Barat, di metropole pemikiran. Kelak akan dengan lincahnya pemahfuman beribadah bersama, penerimaan LGBTQ. Sebuah perlombaan “yang paling toleran” adalah “beradab” sebab tolok ukur peradaban bukan merujuk pendapat orang-orang lama namun bagaimana di Barat, di intelektualisme, di kritik, di pemikiran Barat hal-hal tersebut ditakar.

Lihatlah pelan-pelan lubang biawak itu memang siap menyambut. Dan kita ini akan serupa bola-bola Zuma sementara Kodok diam saja, kita berjalan tersedot ke lubang itu.

Demikian.

Status 21 Desember 2016

CARA BERPIKIR MULTIKULTURALISME: RACUN

Multikulturalisme sebagai isme, world view, menyetarakan satu pandangan pukul rata pada keyakinan yang berbeda. Semua harus dilogikakan dengan “logika” dan perbedaan tradisi berpikir serta skriptur disingkirkan. Ia semacam universalisme, globalisasi, standardisasi gaya berpikir dan mencerapi kehidupan.

Seperti pluralisme yang berbahaya ketika ia menjadi -isme, multikulturalisme memiliki ruh yang sama. Hanya multikulturalisme mengusung penstandaran takaran sedangkan pluralisme menerima perbedaan namun menyamakan tujuan; sebuah kerelatifan. (Jangan salah campur dengan multikulturalisme sebagai “penerimaan diversitas dan pluralisme sebagai padanan kemajemukan lho …)

Tidak hanya sekali saya mengkritik bagaimana kita mengikuti gendang tabuhan multikulturalisme ini dan ini adalah racun.

Berkenaan dengan toleransi, ada dua pendekatan yang ramai di Indonesia dan salah satu dari ini tidak produktif. Justru yang tidak produktif ini yang kerap muncul di media sosial dan parahnya kadang disengkuyung, di-endorse, digaungkan oleh, dalam konteks keyakinan saya, akademisi-akademisi Muslim atau bahkan “Ulama” atau “Ustad Gadungan.” Pendekatan toleransi yang saling belajar untuk dapat belajar memahami ditinggalkan dan di media sosial malah ramai pada ide toleransi yang tak produktif. Kacau. Chaos.

Misal di dalam pemersoalan “topi Santa Klaus” yang asosiatif dengan (perayaan) Natal meski tidak dipakai pada hari Natal sekalipun.

Saya tak akan bicara kajian pop culture seperti misalnya bagaimana FIKSASI warna khas Santa Claus adalah merah dan putih yang ada sejarah kuat Coca Cola. Saya tak mengatakan bahwa sebelumnya tidak ada representasi Santa dengan warna itu. Fokusnya adalah pengukuhan, fiksasi, bahkan mungkin bisa dikelindankan dengan kerja kapitalisme. Jika Panjenengan longgar, bisa do some research sendiri.

Argumen yang toksik menyinyirkan “apakah hanya dengan topi Santa” kemudian “imanmu menjadi lemah atau hilang atau terkristenkan” … “kalau begitu lemah sekali imanmu” atau kalimat semakna dengannya memiliki cara pandang multikulturalisme, bahwa dimunculkan keseragaman berpikir pada kekhasan tiap budaya, tradisi, agama. Ia seolah-olah “sangat logis” namun jika serius merenungi adalah racun.

Di dalam diskursus khas Islamik, ada panduan-panduan yang berlandas skriptur yang secara jelas melarang penyerupaan cara beraksesoris yang asosiatif dengn keyakinan liyan.

Jika misalnya di dalam agama lain, “hal yang sama” tidak disebut bermasalah (baca: dosa; menciderai iman), karena memang tidak ada panduan skriptur tentang itu di dalam tradisi mereka, maka itu adalah khas mereka.

Sungguh sangat tak elok mendampingkan satu fenomena yang sama dengan alat takaran yang berbeda. Upaya “standarisasi” ini adalah racun dan banyak yang tidak sadar tentangnya. Jika standarisasi penakaran ini kemudian dilazimkan dan menjadi sesuatu yang normal di mata awam, menjadi ternormalisasikan, maka banyak kekhasan tiap agama menjadi luntur dan terlebur serta semangat “berusaha memahami,” semangat toleransi, cita-cita Bhineka Tunggal Ika menjadi sesuatu basi.

Contoh lain yang dulu pernah saya bahas adalah karikatur para Nabi (salam dan sholawat atas mereka semua). Di dalam tradisi Islam, (isu ikonoklasme) adalah tercela jika menggambarkan Nabi, siapapun Nabi itu. Dan ini disepakati di dalam tradisi imam yang empat.

Nah, dalam konteks agama bertalian lewat Bapak Ibrahim, atau Abraham, di Indonesia, di dalam tradisi Katolik dan Kristen sependek pengetahuan saya, tidak ada larangan itu. Dan memang Katolik dan Kristen ada tradisi menggambarkan para Nabi (dan juga Yesus).

Pembicaraan tentang Yesus (Jesu, Joshua, ‘Isa) dan bagaimana “ia” direpresentasikan dan diyakini secara berbeda di dalam Katolik, Kristen, dan Islam tak perlu saya bahas panjang lebar kecuali bahwa seorang Muslim dianggap Kafir jika tidak meyakini Yesus (bukan sebagai bagian dari Trinitas, tentu saja, namun sebagai salah satu figur penting dalam penyampaian pesan Tuhan kepada kaum Yahudi: sebagai Nabi dan Rasul).

Oleh sebab itulah terjadi “toleransi” ketika Islam melarang penggambaran Nabi siapapun sedangkan Katolik dan Kristen mengharuskan pengimajian riil Yesus dalam patung dalam gambar, maka tirisan yang muncul adalah “toleransi, memahami” bagaimana keyakinan umat Katolik dan Kristen sedangkan untuk gambar Nabi Muhammad (sholawat dan salam atasnya), larangan itu berlaku. Kepada umat liyan, yang tiada urgensi keyakinan untuk menggambarkan Nabi Muhammad, maka penggambarannya adalah dianggap pelecehan.

Begitu juga misalnya bagaimana Sunan Kudus konon menasehati santrinya agar menghindari makan daging sapi sebab masih banyak umat Hindu saat itu yang menganggap sapi sebagai hewan suci. (Mengenai apakah Hindu di Jawa saat itu, di India dan di Bali sama keyakinan akan sapi, saya belum mengkajinya) Bukan mengharamkan daging sapi namun jangan memprovokasi penyembelihan sapi, konsumsi daging sapi, di depan khalayak Hindu.

Kembali ke “gambar,” sangat tidak elok misalnya mengatakan: “lha wong di kita saja mau gambar ini dan gambar itu tidak masalah, masak kita menggambar Nabi Muhammad saja tidak boleh. Kamu boleh kok menggambar Nabi-nabi di tradisi kami. Begitu saja kok ribut. Jangan menjadi umat yang bersumbu pendek.”

Kalau yang bilang seperti itu adalah liyan, maka memahamkan dengan kasih dan lembut diperlukan. Sampaikan kepada mereka bagaimana “tradisi” kita dan berharap mereka mau “toleransi.” Kalau memang bersinggungan “kepentingan,” coba cari adakah tirisan atas itu. Damai itu baik bagi semua dan itu memerlukan saling belajar mendengarkan.

Nah, kalau misalnya ada “ulama nyinyirun” atau Ustad jadi-jadian seperti Ustad Abu Janda Al Boliwudi, yang “terkenal itu,” mengatakan kalimat seperti itu atau membuat meme berkalimat seperti itu, ….

Panjenengan harusnya tahu untuk tidak menenggak racun itu. Bahkan walaupun hanya untuk lucu-lucuan. Tidak elok (bagi diri Panjenengan) dan berbahaya (bagi liyan yang kemudian malah mem-perceive Islam dengan cara di luar tradisi mainstream dan malah memegang tradisi “popular” yang muncul dari justifikasi dan atau afirmasi JUSTRU dari umat Islam yang menganggap hal-hal itu HANYA “lucu-lucuan”).

Demikian.

Status 19 Desember 2016

ROSEMARY WANGANEEN

Perempuan dengan nama sesuai judul, mungkin kita semua belum mengenalnya. Namun jika kita mengikuti dinamika Aborigin di Australia, tentu lamat-lamat kita pernah mendengar namanya.

Radikal? Mungkin ia akan disematkan sebagai perempuan yang berpola pikir radikal dan tidak toleran. Akan tetapi jika menyimak tulisannya mengenai ketidakmauterlibatannya di dalam perayaan Natal di Australia walaupun bukan berarti membuat onar akan perayaan Natal, maka kita akan memahami bagaimana cara berpikirnya.

Ia menolak konsep harus berasimilasi dan berintegrasi pada perayaan mainstream hanya supaya diterima sebagai bagian dari kebudayaan hegemonik Kulit Putih.

Ia bangga dengan keaboriginannya, kulturnya, dan kepercayaan ala Aborigin miliknya. Dus, ia bisa berbagi ruang dengan mereka yang merayakannya namun ia tidak merasa harus ikut merayakannya. Ia memberi nasehat kepada kaum Aborigin lainnya bahwa ucapan “no” mungkin terasa berat. Harus kuat secara mental dan emosional untuk mengatakan “no” pada perayaan itu. Namun ia juga berpesan bahwa “no” yang diucapkan harus dalam penolakan yang penuh kasih sayang dan harus melawan “rasa bersalah” karena tidak ikut-ikutan tren masyarakat yang dicelupi kebudayaan mainstream untuk menormalisasi ikut perayaan tersebut. Ia menasehati agar dalam usaha tersebut untuk selalu menekankan confidence dan memegangi pride, bahwa mereka Aboriginalpeople.

Dan bukan, bukan, ini bukan bagian dari “War on Christmas” yang memusuhi keberagamaan untuk dirayakan di publik … Jangan salah memetakan.

Oh ya, sudahkah kita semua mendapati kisah Piet Hitam di Belanda dan argumen Kulit Hitam untuk sementara menolak partisipasi selebrasi karena Piet Hitam secara bawah sadar meneguhkan dominasi Kulit Putih dan injeksi inferioritas Kulit Hitam?

Ah, marilah duduk berkopi bersama. Sini.

Modus Cara Menutur dan Motif Penuturan: Pelotot, Potelot, dan Pelotot

Siapapun bisa dituturkan, diceritakan, dituliskan, dipotelotkan sebagai “orang baik” ketika pelototan sengaja diarahkan kepada “hal-hal baik”-nya saja dan dipilih sedikit “hal-hal buruk”-nya dalam rangka memanipulasi pembaca melalui ilusi struktur konvensional keobjektifan sebuah tuturan, tulisan.

Bagi kita yang dilatih untuk mem-perceive segala sesuatu secara objektif sebab dari situlah konon tolok ukur keberadaban sebagai manusia, hal-hal yang sifatnya deceptive di dalam kreativitas penuturan, penulisan dengan mengarahkan pelototan sebagaimana tersebut sebelumnya menjadi kajian yang menarik di dalam bagaimana teks-teks naratif dibangun dan dikokohkan di dalam narasi mainstream sebagai bagian dari proses sosiologis relasi kuasa ala Bordeauian atau bagaimana kuasa di-exercise-kan melalui teks ala Foucault.

Lepas dari objektivitas sebuah teks yang bisa dibangun atas kesadaran subjektif, keberterimaan teks juga tak bisa lepas dari kesubjektifan objektivitas. Dari situlah post-truth dan post-facts menari-nari dan bersaing di dalam semesta realitas yang terepresentasikan, dan terpaksa hanya bisa dimanifestasikan, melalui teks.

Saya tidak sedang berbicara dengan mengkhususkan mengenai gubernur sebuah provinsi di Indonesia yang bermasalah sejak awal mendapat durian runtuh hingga yang terbaru tentang bagaimana pihak yang berwajib “mengamankan” (silakan dibaca kata “mengamankan” dalam konteks bermakna ambigu) yang bersangkutan.

Saya juga tidak sedang bicara bagaimana media massa mainstream menenun narasi bahwa si gubernur seolah-olah hanya bermasalah dengan “kelompok agama tertentu yang intoleran, radikal, penuh dengan hate speech.” Tidak perlu disebut misalnya masalahnya sudah si gubernur pupuk sedari durian runtuh pertama ia nikmati. Tidak perlu disebut misalnya ada kelompok-kelompok lain dari “ideologi” lain atau bahkan dari kelompok agama yang disebut-sebut tersebut yang sangat moderat dan toleran namun melihat bahwa si gubernur sudah keseringan adigang, adigung.

Yang begituan biarlah yang mengurusi dan peduli politik untuk mencerapi.

Poin saya adalah narasi bisa ditenun dan “nature” dari narasi, text, adalah textus, tenunan. Tentu saja penenun narasi bisa mengusahakan tampil keobjektifan teks-nya, narasi-nya. Ia butuh menyelimuti teks-nya dalam mode kestandaran objektif supaya pembaca yang dibayangkannya; audience yang ditargetnya tidak melihat teksnya utuh sebagai sebuah modus propaganda. Di dalam penenunannya, tentu saja harus kita bayangkan bahwa ia tak bisa terhindarkan untuk mengolah bagaimana pelototan diarahkan ketika potelot ia mainkan dan bagaimana narasi buatannya kelak ia bayangkan hendak dipelototkan di dalam sumuk sesak narasi-narasi lainnya.

Paham mengenai ini membuat kita menyadari bahwa seorang perompak bajingan bisa saja saya potelotkan sebagai seorang ksatria berbaju zirah putih yang baik hati. Saya bisa kurangi bagian keburukan-keburukan di dalam potelotan saya dan saya kuatkan bagian-bagian yang membuat perompak bajingan yang saya potelotkan tampak seperti santo saya berikan porsi segede gaban.

Every single empire in its official discourse has said that it is not like all the others, that its circumstances are special, that it has a mission to enlighten, civilise, bring order and democracy, and that it uses force only as a last resort. And, sadder still, there always is a chorus of willing intellectuals to say calming words about benign or altruistic empires.

Edward Said, “A Window on the World” (2003)

Begitu juga jangan heran misalnya pelotot, potelot dan pelotot naratif mengenai proyek besar imperialisme modern dan kapitalisme yang butuh perluasan dan pengembangan pasar dengan tudung demokratisasi menuansakan pembebasan dan kebaikan-kebaikan sedangkan pihak yang dijadikan subjek kuasaan disituasikan di dalam narasi sebagai penuh borok dan butuh disembuhkan. Narasi tersebut mengarahkan pelototan pada bagian-bagian yang dipilihkan untuk mengkonstruk sebuah frame sementara mengaburkan bagian-bagian lain —pada beberapa kasus malah ditelusupkan laporan dan atau data palsu di dalam narasi— di dalam lentuk lincah hasil goresan potelot kemudian dipelototkan kepada publik sembari lewat kuasa jaringan, relasi kuasa, secara rapi meminggirkan narasi yang tidak menguntungkan.

Demikian.

Pakaian

[revisi dan tambah referensi 6 Juni 2017]

Perkara berpakaian adalah perkara yang bisa jadi serius, atau malah sangat serius. Tengok misalnya adanya istilah dress code di dalam acara-acara tertentu. Tidak patuh pada ketetapan di dalam dress code maka resmi sudah cap di jidat: saltum (salah kostum). Salah kostum berarti siap-siap jadi olokan di pesta dan jadi tidak nyaman.

Pakaian juga merefleksikan bagaimana seseorang hendak dipandang oleh orang lain. Mungkin itulah sebab di dalam masyarakat Jawa ada ungkapan ajining raga saka busana.[1]Dan entah mengapa kemudian ada orang bilang bahwa yang penting adalah apa yang ada di dalam diri seseorang dan bukan apa yang dipakai seseorang atau sebaliknya.[2]Nasehat dari ungkapan Jawa “dihargai seseorang karena lidah, dipandang seseorang karena penampilan” justru lebih mengena karena bicara dua aspek: sikap dan penampilan. Nasehat ini mengena karena memang merefleksikan kenyataan dan bukan sesuatu yang klise.

Tambah bingung lagi ketika ada acara kontes ratu kecantikan dan endorser-nya berkoar-koar ambigu mengenai inner beauty. Jikasanya yang dinilai dari kontes kecantikan adalah dua macam kecantikan (kecantikan luar dan dalam) mengapa tidak disebut sebagai kontes inner beauties saja? Sebab tak mungkin jadi juara kontes kecantikan jika hanya punya kecantikan dalam dan tidak cantik saat memakai dalaman, vice versa. Lain soal  jika kontes kecantikan itu memang serupa lomba cerdas cermat di mana kontestan duduk dan mencet tombol  berebut giliran jawab tanpa dinilai cara duduk dan bentuk tubuhnya.

Gara-gara pakaian seseorang bisa kena cibiran, dampratan, pisuhan, dan juga kutukan. Pangeran Harry dari Inggris dulu pernah kena getah dari yang beginian. Ia kena jepret dalam sebuah pesta dengan berpakaian seragam Nazi. Harry bisa selamat dari limpah hujatan berkelanjutan dengan pernyataan permintaan publiknya –dikatakan tidak langsung namun lewat juru bicaranya– bahwa pakaian Nazi yang dipakainya adalah ‘poor choice’.

Namun Harry, lepas dari bagaimana berbagai media mengutuk kejadian itu, mungkin sadar bahwa paman buyutnya –Raja Edward VIII– adalah pengagum dan berkawan baik dengan Hitler. Harry bisa saja hendak beromansa dengan sejarah keluarga besarnya, sejarah keluarga yang tidak anti Hitler.

Atau mungkin Harry ambil posisi skeptik terhadap kisah holocaust. Kisah holocaust bilang bahwa pada Perang Dunia II seakan-akan pembantaian ‘hanya terhadap Yahudi saja’. Bisa jadi Harry punya keyakinan sebagaimana kaum Revisionisme Historis serupa Mark Weber, Ibrahim Alloush, dan Robert John yang menolak adanya kisah seperti itu. Mungkin saja.

Pakaian, bagi mereka yang suka kajian filsafat politik ala Antonio Gramsci, bisa menjadi bahan diskusi sambil isap kopi. Walaupun yang dibahas di dalam tulisan agak-agak seram dan bikin jidat tambah berkernyit namun lumayan karena bisa jadi bahan cerita yang mengasyikkan. Nancy J. Parezo contohnya. Meski tidak nguprek-uprek pandangan Gramsci tentang hegemoni namun apa yang ditulis Parezo sepakatan dengan pandangan tentang mereka yang terkalahkan.

Parezo[4] di dalam tulisannya tentang representasi busana suku Indian menuduh bahwa suatu eksebisi di Amerika Serikat dengan nama The Indian Fashion Show sebagai praktik politis orang kulit putih Amerika Serikat di dalam membentuk perspektif yang tidak tepat tentang pakaian native Indian.[3] Model-model yang dipakai di dalam The Indian Fashion Show, yang merupakan perempuan kulit putih banget, dan bagaimana desain pakaian yang ditampilkan adalah olok-olok kultural sebab mencerminkan simplifikasi dan komodifikasi suatu budaya untuk kepentingan komersil dari suku Indian yang telah terkalahkan.

Gugatan yang beginian dari Parezo memang sebelas dua belas dengan kritik Edward Said terhadap kaum Orientalis yang urakan menggambarkan aspek budaya (mis. pakaian) dan cara hidup orang-orang Timur yang berhasil mereka tundukkan.[4]

Pakaian juga bisa menjadi urusan bernilai jutaan dolar di dalam bahasan fashion industry. Model pakaian terus menerus diciptakan ulang untuk menambah pernik kebaruan haute couture. Ensiklopedia Daring Britannica bahkan sangat serius mendedah industri fashion ini sambil kasih definisi yang sangat komplit atas istilah fashion.[5]Akan tetapi Ensiklopedia Daring Britannica mungkin agak sedikit khilaf karena tidak memasukkan faktor agama atau keyakinan juga ikut ambil peran dalam hal fashion.

Bicara pakaian dan agama adalah hal yang sesuatu banget;[6] sesuatu yang super serius. Sebelum mengobrol tentang agama dan pakaian, sedikit melebar namun penting kiranya jika membahas kata ‘agama’ dulu di dalam bahasa Indonesia.

Kata ‘agama’ di dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dari bahasa Sanskrit gama yang artinya jalan. Di dalam bahasa Jawa, gama berubah menjadi gaman lalu ageman lantas agama (yang dipegang, yang dipakai) sebelum muncul ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai agama. Pendapat lainnya menyatakan bahwa kata ‘agama’ berasal dari bahasa Arab iqoma yang mendapati dialek Arab Yaman sebab kebudayaan Nusantara dalam sejarah bersinggungan dengan pedagang Yaman, menjadi igoma sebagaimana qamis menjadi gamisIqoma artinya secara gampang adalah tegak, lurus, tidak melenceng. Di dalam kamus ini, agama kemudian jadi memiliki definisi yang komplit yang bunyinya bla, bla, dan bla.[7]

Agama, ambil gampang, secara umum bisa diartikan sebagai “panduan jalan” dan bisa juga “sesuatu yang dipakai.” Jadi agama sama dengan pakaian (karena membungkus sikap dan perilaku) namun pakaian bukanlah agama karena agama bukanlah sesuatu yang diperjualbelikan – kecuali beberapa orang yang menjualnya dengan harga yang murah.[8]Dus, di sini kentara bahwa agama juga merupakan pakaian yang dipakai seseorang di dalam menjalani kehidupan. Dan begitulah menjadi kurang pas kiranya jika bicara pakaian dan tetek bengeknya namun melupakan bahasan agama dan pakaian.

Di dalam beberapa agama, cara berpakaian punya aturan khusus bagi penganutnya. Di Yahudi ada yang namanya frumka, tichel, mitpachat, kittel dan tallit, di Sikh ada turban dan pagree, di Korea jaman Dinasti Joseon ada ‘jilbab’ jangot, di Hindu India ada ghunghat atau jhund, di Kekristenan ada juga yang namanya wimple, di Kristen Ortodoks ada pakaian yang namanya apostolnik dan skufia, di Katolik ada yang namanya vestments, di Katolik Spanyol ada mantilla, di Katolik Timur ada juga yang namanya klobuk sedangkan di dalam Islam misalnya ada jilbab dan kemudian juga ada istilah isbal. Jilbab berkaitan dengan pakaian perempuan sedangkan istilah isbal berhubungan dengan pakaian buat laki-laki.

Jilbab bagi perempuan Islam adalah wajib. Tapi bilang ‘wajib’, kini di jaman orang main gampang bikin pendapat, bukan hal yang enteng. Banyak ocehan-ocehan di sekitar istilah wajib ini. Dulu ada tokoh nasional yang memberikan pernyataan kontroversial bahwa ada [seorang?] mufasir yang berpendapat bahwa jilbab tidaklah wajib.[9] Tafsir Quran yang dirujuk tokoh nasional tersebut kemungkinan adalah tafsir kontemporer Quran karya Muhammad Asad –yang oleh Komisi Fatwa Arab Saudi sudah difatwakan[10] bahwa tafsirnya dipenuhi oleh beberapa hal karangan akalnya sendiri– dan lalu diikuti oleh Ibrahim B. Syed.[11]

Argumen yang dibangun sehingga pada kesimpulan untuk tidak mewajibkannya memang masuk akal. Namun masuk di akal bukan berarti bersesuaian dengan Quran dan Hadist  bukan? Sebagai bandingan, coba misalnya dibaca dulu bagaimana Lobna Mulla di dalam tulisannya “Hijab: Fard (Obligation) or Fiction?”[12] dalam situs Ustad Suhaib Webb.

Lobna Mulla dalam tulisannya itu menunjukkan dengan elegan bahwa ‘akal-akalan’ di dalam menafsirkan Quran bisa juga merembet kepada tidak ada kewajiban salat ‘lima waktu’. Logikanya jelas. Di dalam Quran tidak dijelaskan dengan gamblang tentang perkara wajib lima kalinya. Itu jika hendak memakai akal saja. Masalahnya adalah, di dalam Islam ada yang namanya teladan dan petunjuk Nabi saw. yang dihapal dan dipraktikkan oleh  para sahabat dalam bentuk Hadist. Inilah pendamping pemahaman atas apa yang termaktub di dalam Quran.

Perkara jilbab di Indonesia selain ulah tokoh nasional tadi, juga memunculkan self-promoter blogger bernama dr. Abimanyu, Sp.B.[13]Dokter Abi ini main-main ke blog banyak orang dan menyalin tempel sebagian tulisannya. Tulisan yang disalin-tempelkan sebagian ini mungkin berfungsi sebagai trailer atau teaser agar blog-nya dikunjungi. Nampaknya ada semacam hasrat dalam dirinya untuk jadi blog-angelist.

Yang unik dari dokter Abi adalah bagaimana ia bermain-main dengan pembandingan penafsiran tekstual dan kontekstual, sejarah tentang pakaian, pendapat Syaikh Al Albani tentang jilbab, dan kekhawatiran punahnya tradisi lokal (pakaian daerah) jika diterapkan jilbasisasi lewat sebuah tulisan dalam blog-nya. Well, memang sepintas menarik… dan masuk akal.

Namun ada yang perlu dicatat dan dikoreksi dari tulisan dokter Abi. Saat bicara tafsir skriptur Islam apalagi teks Qur’an, bicara analisis teks simplifikatif dengan hanya mengebiri metode hanya sebagai tafsir tekstual dan kontekstual saja adalah salah akal. Bicara teks Quran bukan melulu bicara ‘teksnya terbaca bagaimana’ atau ‘sebab turun ayat’ saja. Cara yang beginian ini jadi lucu.

Metode tafsir Quran bukanlah metode biblical criticism atau misalnya analisis struktural semantik teks dan analisis biblical ala hermeneutics dan textual historicism saja sebab ada teks di sana, ada sebab turun ayat, ada naskh ayat, ada hadist, ada mutsolah hadist, ada pendapat para sahabat, pendapat generasi sesudah sahabat, juga pandangan ulama-ulama salaf.[14]

Tambah lucunya lagi, dokter Abi menyindir bahwa perintah wajibnya jilbab adalah karena metode tekstualitas ulama yang memfatwakannya namun di bagian lain dari tulisannya ia membangun argumen mengenai penerapan tafsir kontekstual Syaikh Al Albani dengan Syaikh At Tuwaijiri yang keduanya dikenal dengan olok-olok dari jamaah tertentu sebagai ‘ulama-ulama tekstual.’ Apakah dokter Abi tidak tahu tentang ini ataukah ia hanya kebetulan melewatkan sesuatu di dalam pembangunan argumennya?

Tidak berhenti sampai di situ saja. Jika diteliti benar argumen yang dibangun oleh dr. Abimanyu, Sp.B. tentang ‘budaya’ berdasarkan tulisan Syaikh Al Albani tentang jilbab maka seolah-olah ada bagian yang rancu. Ada cherry picking dan misleading informasi di dalam tulisannya. Syaikh Al Albani berbeda pendapat tentang wajibnya cadar dengan Syaikh At Tuwaijiri oleh sebab beda menentukan derajat hadist yang dipakai dalam menghukumi cadar.[15]Jadi, Syaikh Al Albani berbeda pendapat mengenai ‘wajibnya cadar’ dan bukan dalam perkara ‘wajib jilbabnya.’

Kemudian bicara hal lain dari tulisan dokter Abi ini. Marilah bicara tentang argumen yang memunculkan ketakutan hilangnya pakaian daerah (tradisional) gara-gara jilbabisasi.

Sebenarnya masalah pakaian jika hendak bermain analisis tentang perubahan cara berpakaian berdasar sejarah, dr. Abi, Sp.B. ini hampir saja cetak score. Hampir…

Tapi begini ceritanya. Kita ambil contoh pakaian tradisional Jawa. Pakaian tradisional Jawa yang sekarang lazim dipakai adalah tidak murni totok Jawa. Kalau hendak murni Jawa ya mesthi pakaian laki-lakinya bakal bledhehan tanpa kancing.

Kancing tidak asli Jawa sebab orang Jawa tidak menemukan kancing. Batik model kemeja lengan pendek-pun adalah komodifikasi dari pertemuan antara kain yang sudah lazim dipakai sebagai bahan baju oleh kebudayaan kuno di Jazirah Persia dan Arab, kancing yang lebih dulu dikenal oleh bangsa Eropa dan menjadi bagian dari aksesoris tradisi berpakaian di sana, kemeja yang pasti bukan khas Jawa, dan motif Batik yang bisa dibilang dan diakui beraroma Jawa. Jadi campur mawur kan?

Kemudian dokter Abi ini, jika bener-bener dokter, maka seharusnya sadar bahwa seragam dokter yang berwarna putih sebagai dress code profesi dokter juga bukan khas Jawa. Darimana aturan dress code itu? Mengapa ia tidak memakai pakaian yang lazim dipakai oleh tabib atau penghusada asli tradisi Jawa? Lalu mengapa ia tidak mengkhawatiri juga bagaimana laki-laki Jawa sudah kelihatan nyaman juga untuk memakai kemeja ala Eropa di dalam acara-acara khusus dan bukan pakaian adat Jawa? Mengapa ia mengkritisi jilbabisasi namun melupakan hal lainnya di dalam gugatannya semisal mengenai adab berpakaian yang bergaya Barat?

Bisa tidak, untuk luwes menyikapi ini dengan menciptakan jilbab beraroma Jawa, misal jilbab dengan motif Batik? Atau semisal seragam dokter perempuan yang berwarna putih (karena ada dress code dari Barat) divariasi dengan jilbab putih? Kreatif kan? Pernahkah dokter Abi menengok bagaimana wanita-wanita Bima begitu elegan dan luwes menggunakan kain rimpu?

Rimpu kredit nusatenggaraindonesia.com

Argumen lain dari dokter Abi bahwa jilbab adalah pakaian gaya Persia Kuno atau misalnya terkait dengan padang pasirnya Arab juga tidak pas dijadikan acuan. Sebab jika ia benar-benar mempelajari skriptur Islam, mengapa ada aturan berpakaian yang diajarkan Rasulullah saw. kepada Asma’ binti Abu Bakar?[16]Ini berarti ada pengajaran mengenai bagaimana seorang yang beriman berpakaian dan sekaligus menunjukkan bahwa pakaian yang sudah lazim di jazirah Persia dan Arab saat itu (dalam konteks ini untuk wanita) adalah tidak persis sebagaimana hujah dokter Abi.

Lepas dari itu semua, beberapa kalimat argumentatif dokter Abi ini tampaknya sangat mirip pleg dengan pendapat Ibrahim B. Syed. Mungkin dokter Abi dapat ide untuk tulisan blog-angelist-nya dari sana.

Istilah lainnya yang terkait dengan pakaian di dalam Islam adalah isbal.  Namun sebelum bicara panjang lebar mengenainya, alangkah baiknya untuk refreshing dulu. Mari kita simak sebuah cerita dari kisah-kisah kontemplatif Zen yang judulnya “Ritual Cat.”[17]Saya sudah lama sekali menyimpan kisah ini di dalam blog saya karena saya yakin suatu saat bakal jadi sisipan yang menarik.

Kisahnya begini:

Syahdan, Guru Meditasi dan para muridnya hendak memulai meditasi malam. Kala itu, kucing yang sering berseliweran di biara bikin ribut sehingga mengganggu mulainya meditasi. Guru Meditasi lalu ambil kebijakan bahwa kucing tersebut harus diikat supaya meditasi bisa segera dimulai. Tahun berlalu kemudian ketika Guru Meditasi itu sudah meninggal, kucing yang berseliweran sudah biasa untuk diikat selama meditasi dilangsungkan. Ketika kucing tersebut akhirnya juga mati, maka rahib yang masih muda-muda mencari seekor kucing pengganti yang baru untuk diikat selama berlangsungnya meditasi. Berabad-abad kemudian, penghuni penerus kerahiban tersebut kemudian mulai menuliskan bahwa pengikatan seekor kucing adalah bagian dari syarat kekhusyukan meditasi.

Kemudian patut pula merenungi apa yang Ustad Taufiq Zubaidi sampaikan di dalam tulisan beliau dengan judul “Muhaddist Bagaikan Apotik, Fuqoha’-lah Dokternya.”[18]Ustad Taufiq Zubaidi lewat tulisan tersebut hendak menunjukkan bagaimana rumitnya membaca dan menafsirkan teks skriptur terutama yang berimplikasi praktik ritual dan aturan hukum.

Dan kisah Zen serta tulisan yang bagus sekali dari Ustad Taufiq Zubaidi tersebut ditambahkan juga dengan hadist dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah dua orang yang bertayyamum namun menjadi berbeda pendapat mengenai keabsahan tayyamum serta sholat yang telah dilakukan karena kemudian didapati air. Kisah berbeda pendapat di dalam menafsirkan skriptur perintah tayyamum sebagai pengganti wudu ketika tidak didapati air tidak segampang itu diselesaikan oleh dua orang yang berbeda pendapat. Ada kehati-hatian pada dua orang tersebut sebab lalu keduanya meminta verifikasi justifikatif pada pemegang otoritas: Rasulullah saw.[19]

Lalu apa kaitan ketiga narasi tersebut dengan isbal?

Begini. Kisah Zen mengajari tentang ketaklidan atau ketundukan meski didasari skriptur tanpa mempelajarinya dengan dalam. Celakanya di dalam kisah Zen itu nampaknya rahib-rahib yang belakangan kesulitan menelusur asal praktik demikian karena hanya ada sumber yang tunggal dan itupun bukan berdasarkan penuturan  mereka yang hidup bersama dengan Guru Meditasi.

Tidak hanya itu. Jikalau narator kisah tersebut tidak bercerita mengenai adanya Guru Meditasi yang mendasari permulaan adanya praktik pengikatan kucing setiap meditasi dilangsungkan maka kita (sebagai penikmat cerita yang berbeda dengan rahib-rahib belakangan di dalam cerita itu) tidak bakal tahu bahwa praktik meditasi awalnya tidak terkait dengan pengikatan kucing kecuali karena Guru Meditasi mendapati kejadian yang memaksanya harus mengikat kucing tiap kali meditasi.

Belum lagi misalnya bagaimana memverifikasi otentisitas narator di dalam berdongeng kepada kita para pembaca. Adakah cara yang sahih untuk mengecek bahwa kisah selisih niatan ikat kucing dengan tindakan ikat kucing para rahib belakangan adalah benar-benar demikian. Bisakah ditelusur bahwa narator adalah memiliki ketersambungan periwayatan dari masih hidupnya Guru Meditasi hingga keterkinian praktik para rahib belakangan. Narator tidaklah mungkin omnipresent jikalau ia adalah manusia. Oleh sebab itulah jalur periwayatan bersambung juga menjadi sesuatu yang penting di dalam validasi sebuah skriptur (juga teks apapun).

Tulisan Ustad Taufiq Zubaidi mengajarkan sesuatu yang penting. Mengetahui dan menghapal sebuah perintah di dalam teks adalah penting namun juga penting untuk mengetahui bilakah sebuah perintah ditempatkan sebagaimana mestinya. Kalaupun hendak luwes mempraktikkan sebuah perintah haruslah didasari oleh pemahaman akan nash-nash lain yang mengikat penerapan sebuah perintah.

Kemudian kisah dua orang yang berwudlu tayyamum mengajari kita sesuatu yang penting. Keduanya mendapat apresiasi terhadap apa yang mereka pahami dari sebuah perintah yang jelas rujukannya (tuntunan Rasulullah saw.). Keduanya walaupun sedikit berbeda karena dasar kondisi darurat (tiada air) dan upaya menebusnya ketika sudah longgar (sudah tersedia air) namun tetap berpancangan kepada justifikasi Rasulullah saw. ketika mereka sudah berkesempatan meminta klarifikasi kepada beliau saw.

Baik Ustad Taufiq Zubaidi[20] maupun Ustad Muhammad Abduh Tuasikal[21] di dalam berbicara mengenai perintah penghindaran isbal menunjukkan rujukan mereka pada pembacaan yang kompleks atas semua skriptur yang ada dan atau yang terkait dengan perintah itu. Isbal adalah perintah di dalam Islam untuk menghindari kain dipakai laki-laki menjulur melebihi mata kaki. Pada keduanya, baik Ustad Taufiq maupun Ustad Tuasikal, bersikap hati-hati di dalam menentukan hasil akhir dari penetapan perkara isbal. Ustad Taufiq mengenai isbal sampai pada kesimpulan ‘tidak apa-apa’ sedangkan Ustad Tuasikal berpegang pada ‘wajib menghindari berisbal’ meskipun kemudian penetapan yang diberikan oleh Ustad Tuasikal menjadi terbaca oleh para pembaca sebagai sesuatu yang ‘tidak mengapa’ bersebab tambahan informasi –yang tidak beliau bantah– dari salah satu teman beliau mengenai ini.

Bicara mengenai pakaian bisa melebar kemana-mana apalagi jika pakaian tersebut terkait dengan identitas keimanan seseorang. Ada nilai yang lebih daripada hanya mengikuti industri fashion yang tak kenal henti berinovasi. Pada pakaian yang terikat dengan keimanan atau identitas keberagamaan maka rujukannya pastilah ada di skriptur.

Menarik-narik gaya berpakaian menurut skriptur ke dalam kajian sejarah dan budaya adalah menarik namun jangan lantas meninggalkan skriptur sebab pancang ajaran di dalam agama adalah skripturnya dan bukan budayanya. Jika kemudian meletakkan tafsir skriptur lebih berat kepada pandangan akan fenomena budaya maka bisa-bisa terjerumus kepada melihat agama sebagai seperangkat set perintah dan larangan yang merupakan produk budaya. Cara berpikir ini berbahaya karena menafikan urgensi revelasi samawi dari perintah dan larangan yang ada. Cara menafsirkan skriptur dengan menitikberatkan kepada konteks budaya juga malah bisa mengimplikasikan tidak kokohnya memandang bahwa revelasi dari langit adalah nyata dan ada.

Hal lain yang hendak di-share lewat tulisan ini adalah kerumitan penafsiran teks skriptur. Tidak semua orang bisa menafsirkan skriptur dengan baik. Bahkan seorang yang paham metodologi yang tepat di dalam menafsirkan skriptur dan berusaha keras menafsirkan skriptur bisa saja mendapati dirinya kemudian belum pas atau menimbulkan kesimpulan yang berbeda. Jika berbicara kisah kewajiban jilbab bagi wanita memang ada perbedaan pendapat tentang wajib atau tidaknya cadar sebagaimana mengenai boleh atau tidaknya isbal bagi laki-laki. Meskipun demikian semua pendapat tetap berpancang kepada skriptur dan menenun argumennya secara hati-hati. Layak misalnya merujuk pada keteduhan dari kalimat yang ditambahkan oleh salah satu pembaca tulisan Ustad Tuasikal: “semoga kita diberi kelapangan hati untuk menerima dan mengakui pandangan ulama [yang tahu metodologi yang benar di dalam menafsirkan skriptur] yang berbeda dengan [pandangan ulama yang kita ikuti] dalam hal [berpakaian] ini”.[22] Ada semangat yang santun di dalam kalimat itu.

Benar, masalah pakaian memang bisa menjadi perkara yang sangat serius sebagaimana kisah jilbab dan isbal. Saya kemudian jadi teringat kisah jilbab pada sebuah cerita yang saya peroleh dari seorang bule Australia berdarah Yahudi namun dibesarkan dalam tradisi Kristen pada sebuah sesi pertukaran bahasa di sebuah kampus di Australia. Ia bernama Sam Shlansky. Bule ini masih ingat bagaimana nenek dan ibunya selalu enggan keluar kecuali harus menutup kepala mereka dengan kain setiap hendak pergi ke gereja. Ada sesuatu yang tidak untuk dicibiri dari kisah itu, begitu kata si bule. Hal seperti itu, sebagaimana mereka pernah diajarkan, adalah tidak pantas jika kemudian tidak menelusuri acuan mana yang dipakai di dalam timbul keharusan menutup kepala dengan kain. Mungkin generasi nenek dan ibu dari bule Australia itu masih menjalankan ajaran yang diperintahkan di dalam Bible (1 Kor 11: 2-16) sebagaimana wanita Amish masih bertutup kain di kepalanya hingga kini lalu wanita Majelis Tuhan Rakyat Samoa yang di dalam kebaktian masih jamak memakai penutup kepala dalam bentuk topi putih dan juga bagaimana sebagian sekte Yahudi masih memakai tutup kepala hingga kini.

Swinging Grannies (1966), (c) Jiri Jiru

Jikalau kemudian penafsiran 1 Kor 11: 2-16 kemudian dijatuhkan kepada tradisi masa lalu dus skriptur tersebut dianggap tidak relevan lagi karena budaya sekarang terbiasa bagi wanita untuk pergi ke gereja tanpa penutup kepala maka penafsir demikian mirip dengan gaya tafsir Muhammad Asad. Hanya saja pada kasus seperti ini penafsiran skripturnya merujuk pada budaya ‘yang sekarang’ bukan pada ‘latar belakang budaya’. Jika demikian lantas apa fungsi revelasi atas skriptur jikalau manipulasi dengan akal melemparkannya?

Bahkan bila menyimak pendapat ekstrem milik dokter Abi mengenai latar belakang munculnya perintah tersebut sebagai dalil tidak relevannya perintah itu kini maka adakah otoritas pada dirinya yang menjustifikasi penghapusan perintahnya? Bagaimanakah ia begitu yakin bahwa perintah tersebut sudah dihapus saat terketahui ‘latar belakangnya’?

Devian namun masih relevan dari argumen dokter Abi, perkara pencarian alasan yang menghindari pemakaian basis skriptur mengenai ‘bebasnya tidak memakai jilbab’ sebagaimana digaungkan oleh para feminis liberal sekuler yang mengklaim bukti konteks budaya patriarki terlibat di dalam perintah itu juga terlihat kepayahan di dalam menjelaskan bagaimana industri fashion yang begitu gila justru malah menenggelamkan para wanita di dalam objektifikasi para laki-laki sedangkan jilbab malah membuat para wanita berani menunjukkan identitas keimanan dan berlepas diri dari jerat industri fashion [dan kosmetik] –tentu saja kecuali pada jilbab ‘modern’ dan jilbab ‘gaul’ (jilboobs)– sebagaimana beberapa poin mengenai ini sudah secara implisit disinggung oleh Chelsea Diffendal di dalam satu tulisannya[23] dan bagaimana hal ini konsisten disuarakan serta dipraktikkan oleh politikus Asmaa Abdol-Hamid, aktivis Asosiasi Arab-Amerika Linda Sarsour, dan ustadah Yasmin Mogahed.

Being a Muslim I had expected opposition, but to be accused of advocating gender apartheid took me by surprise. Wearing a headscarf does not mean that I’m oppressed or deprived. The values on which I live my life are Islamic and not Arab. It is important to make a distinction between religion and culture. In many respects, the Arab way of thinking discriminates against women; even though I am an Arab, I don’t make my choices on a cultural basis, but in the light of my religion. Otherwise I wouldn’t have got so far as I have today. My position as Chair of a forum consisting entirely of immigrant men can be challenging to many Arab men. (Asmaa Abdol-Hamid via kvinfo.dk)

As you can see, I wear hijab. It is a choice for me to wear and cover my hair for religious observation; and I consider myself to be a feminist and someone who supports the upholding of all rights, specifically of women. … I’m very proud of my religion, and my faith, and I’m very proud of the hijab that I wear. (Linda Sarsour)

I’m not here to be on display. And my body is not for public consumption. I will not be reduced to an object, or a pair of legs to sell shoes. I’m a soul, a mind, a servant of God. My worth is defined by the beauty of my soul, my heart, my moral character. So, I won’t worship your beauty standards, and I don’t submit to your fashion sense. My submission is to something higher.

With my veil I put my faith on display – rather than my beauty. My value as a human is defined by my relationship with God, not by my looks. I cover the irrelevant. And when you look at me, you don’t see a body. You view me only for what I am: a servant of my Creator (Yasmin Mogahed, “A Letter to the Culture that Raised Me”)

Benar, pakaian adalah perkara yang sangat serius. Setidaknya bagi saya dan mungkin bagi sebagian banyak orang. Ada industri dan ideologi bertarung di sana: pada sebuah ruang diskursus berpakaian; ideologi busana.

===========================

Endnotes

[1] Lengkapnya adalah ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana (dihargai seseorang sebab jaga lidahnya, dipandangnya seseorang sebab atur busananya). Di dalam ajaran Jawa, apa yang diucapkan seseorang melambangkan kewasisan dan kewaskitaan seseorang sedangkan apa yang dipakai seseorang melambangkan bagaimana seseorang memandang posisi dirinya di dalam masyarakat.

[2] It’s not what you’ve got on that matters, it’s what you’ve got in atau what it’s important it’s what you’ve got on and not what you’ve got in

[3] Nancy J. Parezo. 2007. “The Indian Fashion Show: Manipulating Representations of Native Attire in Museum Exhibits to Fight Stereotypes in 1942 and 1998”, American Indian Culture and Research Journal, Volume 31, Number 3 / 2007, hlm. 5-48.

[4] Edward Said. 1977. Orientalism. London: Penguin.

[5] “Fashion is a complex social phenomenon, involving sometimes conflicting motives, such as creating an individual identity and being part of a group, emulating fashion leaders and rebelling against conformity.”

“The fashion system involves all the factors that are involved in the entire process of fashion change. Some factors are intrinsic to fashion, which involves variation for the sake of novelty (e.g., when hemlines have been low for a while, they will rise).”

“The fashion designer is an important factor, but so also is the individual consumer who chooses, buys, and wears clothes, as well as the language and imagery that contribute to how consumers think about fashion.”

“Some factors are intrinsic to fashion, which involves variation for the sake of novelty (e.g., when hemlines have been low for a while, they will rise). Other factors are external (e.g., major historical events such as wars, revolutions, economic booms or busts, and the feminist movement). Individual trendsetters (e.g., Madonna and Diana, princess of Wales) also play a role, as do changes in lifestyle (e.g., new sports such as skateboarding) and music (e.g., rock and roll, hip-hop).”

(Fashion industry. 2014. Encyclopædia Britannica Online. Retrieved 09 September, 2014, from:

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1706624/fashion-industry/296479/Media-and-marketing)

[6] “sesuatu banget” di sini adalah bukan “sesuatu banget ya!” ala salah satu bintang selfie (foto puja diri) yang juga seorangi penyanyi tenar di Indonesia.

[7] Agama adalah “sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kpd Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg berhubungan dng pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya” (Agama. 2008. KBBI Daring, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Diakses 9 September 2014, dari:

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php)

[8] Di dalam bahasa Qur’ani, ada sindiran mengenai salah satu keburukan adalah menjual agama (akhirat) dengan harga yang murah (dunia).

[9] Sebenarnya perkataan tokoh nasional tersebut tentang jilbab adalah ‘mengambang’. Dia [kurang lebih] mengajukan referensi bahwa mainstream ulama [salafus salih] sudah terketahui mewajibkan jilbab sedangkan ada yang tidak mewajibkannya. Dia tidak mengatakan ulama yang tidak mewajibkannya itu siapa namun ada kemungkinan bahwa ia merujuk kepada tafsir Muhammad Asad.

[10] Fatwa No. 2190.

Lebih jauh lagi ketika berbicara metodologi penafsiran Quran maka tidak sesederhana ‘mengerti’ bahasa Arab saja. Memang Muhammad Asad memiliki kontribusi kepada penerjemahan Quran sehingga mudah dipahami oleh pembaca berbahasa Inggris namun masalahnya adalah, Asad, di dalam tafsirannya kadang mengedepankan akal dan melewatkan skriptur pendamping pemahaman kajian Quran. Untuk pemahaman mengenai isu ini silakan bandingkan dengan penerjemahan Al Quran oleh Ahmad Zaki Ahmad dalam tulisan lewat tautan ini:

http://attahawi.com/2009/06/29/what-is-the-best-english-translation-of-the-meanings-of-the-quran/

Juga kajian kritis atas terjemahan Quran karya Muhammad Asad yang dapat dibaca lewat tautan ini:

http://learnquran.gov.ae/default.asp?action=article&ID=84

[11] Professor di the University of Louisville, Kentucky. Tulisannya bisa dirujuk lewat link berikut:
http://www.irfi.org/articles/articles_1_50/women_in_islam.htm

Yang agak ganjil juga dari tulisan Ibrahim B. Syed adalah bagaimana ia mempertanyakan jilbab bukan hanya berdasar rujukan yang ia peroleh dari tafsir Quran berbahasa Inggris dari seorang muallaf Yahudi modern yang mendapat label ‘berbahaya’ karena banyak yang hanyak merujuk ‘nalar SAJA’ (lih. endnotes 10) namun juga kesilapannya dalam melihat adanya jejak kewajiban perintah ‘[head] hair covering’ kepada wanita yang beriman di dalam skriptur Biblikal (1 Kor 11: 2-16). Dan sebagai tambahan, Muhammad Asad selain menghasilkan tafsir yang sudah difatwakan sebagai banyak penyimpangan (lih. Endnotes 10) juga di dalam hidupnya adalah seorang petualang politik.

[12] Lobna Mulla. 15 Oktober 2012. “Hijab: Fard (Obligation) or Fiction?”. Web. Diakses 9 September 2014 dari:

http://www.suhaibwebb.com/islam-studies/quran/hijab-fard-obligation-or-fiction/

[13] Abimanyu. Maret 2014. “Tafsir Al Ahzab 59 dan An Nur 31: Jilbab Tidak Wajib“. Web. Diakses 9 September 2014 dari:

http://dokterabimanyu.blogspot.com.au/2014/03/tafsir-al-ahzab-59-dan-nur-31-jilbab.html

[14] Lihat misalnya bagaimana pelibatan banyak ilmu di dalam ‘salah satu runtut metode’ menafsirkan sebuah teks di dalam Islam sebagaimana dipaparkan secara singkat oleh Ustad Ribut Nur Huda berikut ini:

Ilmu memiliki dua kategori: 1. Ilmu sarana. Ilmu ini mencakup beberapa ilmu seperti ilmu bahasa, nahwu-sharaf, balaghah, sastra, ilmu akal semisal mantiq , dialektika, diskusi, bicara, dan ilmu yang mengabdi kepada teks seperti mustholah al hadist, ilmu rijal, ilal, ilmu2 qur’an dan ushul fiqh. 2. Ilmu maqoshid (tujuan) seperti fiqih, aqidah, tafsir dan hadist.

Dalam bahasa Abid al Jabiri, ilmu ada dua yaitu ilmu sebagai alat dan sebagai isi. Apabila ilmu sarana itu hilang maka hilang pula ilmu maqhosid tersebut. Jika mencukupkan diri dengan ilmu sarana maka ibarat membawa wadah yang kosong tak berisi. Sehingga antara ilmu alat dan isi itu harus kita gabungkan.

[15] Untuk salah satu pandangan mengenai kewajiban jilbab tanpa cadar yang dibahas oleh Ustad M. Shiddiq al Jawi silakan turut tautan berikut ini:

http://myjilbab.wordpress.com/about/

atau dapat juga merujuk misalnya pada hasil Muktamar VIII Nahdlatul Ulama jika hendak memegang wajibnya cadar:

Pertanyaan : bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah haram atau makruh? Kalau dihukumkan haram, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi darurat, ataukah tidak? (surabaya)

Jawaban : hukumnya wanita keluar yang demikian itu haram, menurut pendapat yang mu’tamad (yang kuat dan dipegangi – penj ). Menurut pendapat yang lain, boleh wanita keluar untuk jual-beli dengan terbuka muka dan kedua tapak tangannya, dan menurut mazhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan terbuka kakinya, apabila tidak ada fitnah.

Sumber: Ahkamul Fuqaha, Solusi problematika hukum Islam, keputusan muktamar, munas, dan konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 m), halaman123-124, pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.Ma Sahal Mahfudh; lajnah ta’lif wan nasyr (ltn) NU Jatim dan Khalista, cet.iii, Februari 2007. Keputusan Masalah Diniyyah Nomor: 135 / 12 Muharram 1352 H / 7 Mei 1933 Tentang Hukum keluarnya wanita dengan terbuka wajah dan kedua tangannya. Web. Didasarkan pada nukilan lewat:

http://muslimafiyah.com/engkau-lebih-cantik-bercadar-mengangkat-kekhawatiran-dan-belum-siapnya-wanita-untuk-memakai-cadar.html

[16] ‘Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.’ (HR. Abu Dawud).

[17] John Suler (ed.). 1997. “Ritual Cat”. Web. Diakses 9 September 2014 dari:

http://users.rider.edu/~suler/zenstory/ritualcat.html

[18] Taufiq Zubaidi. 4 September 2014. ““Muhaddist Bagaikan Apotik, Fuqoha’-lah Dokternya”. Web. Diakses 9 September 2014 dari:

https://www.facebook.com/notes/taufiq-zubaidi/muhaddits-bagaikan-apotik-fuqoha-lah-dokternya/10152659112580535

Muhaddist Bagaikan Apotik, Fuqoha’-lah Dokternya

Saat ini banyak sekali kita temukan orang yang bersemangat dalam merujuk ke Sunnah/Hadits secara tekstual langsung tanpa mengiringinya dengan pemahaman para fuqoha’ ulama’ salaf atas nash hadits yang dikutip. Begitupula banyak kita jumpai orang yang lebih memenangkan pendapat ulama’ kholaf atas ulama’ salaf. …

Gejala seperti itu menjadikan ummat semakin bingung, khususnya mereka yang tidak memahami seluk beluk ilmu alQur’an ataupun Hadits. Ditambah lagi mereka a’jami (bukan ahli bahasa arab), mengetahui hadits hanya melalui buku terjemahan, adapula yang dari mbah Google.

Di sisi lainnya dua rujukan utama dalam mempelajari Islam tersebut; yaitu alQur’an dan Hadits, tentunya tidak mungkin untuk mempelajarinya hanya melalui tulisan saja tanpa guru yang mumpuni (yaitu guru yang memiliki sanad keilmuan tasalsul sampai kepada pemilik kitab dan sampai kepada Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam). Sebab mempelajari tersebut dalam rangka memahami ajaran Islam yang sebenarnya. Mempelajari tersebut adalah utuk mengenal agama yang sejati. Bukan hanya sekedar mengenal nash belaka.

Ada nasehat yang sangat bagus dari ahlul Hadits Imam Khotib alBaghdadi. Beliau dawuh: “Banyak sekali orang yang menyampur aduk antara muhaddits dan faqih (alim), mereka menyangka bahwa orang yang banyak hafal hadits dan mengetahui jalan sanadnya adalah pemilik otoritas fatwa. Padahal tidaklah demikian, pandangan semacam itu adalah keliru. Sebab fatwa hanya berhak dipegang oleh orang yang faqih (orang yang dapat memahami nash dengan baik secara tasalsul keilmuannya dan fatwanya tidak muncul dari hawa nafsunya sendiri).”

Memperjelas nasehat Imam Khotib alBaghdadi, mari kita lihat kisah indah sebagaimana berikut: Diceritakan, ada perempuan yang hadir dalam suatu majlis, dimana dalam majlis tersebut ada Yahya bin Mu’in, Abu Khaitsamah, dan Kholaf bin Salim (Mereka semuanya adalah muhaddits pada zamannya). Dalam majlis tersebut perempuan tadi mendengarkan mereka mengucapkan: (Kanjeng Nabi shollalahu alaihi wasallam dawuh, telah diriwayatkan oleh fulan, dan tidak diceritakan hadits tersebut selain fulan), sesaat kemudian perempuan tersebut bertanya tentang orang yang sedang haid memandikan orang yang meninggal, apa orang tersebut boleh memandikan? Para muhaddits tersebut tidak ada yang menjawabnya dan hanya memandang satu sama lain.

Kemudian datanglah Abu Tsaur (seorang alim faqih), para muhaddits tersebut menyuruh kepada perempuan tadi untuk bertanya kepada Abu Tsaur. Dan menolehlah perempuan tersebut kepada Abu Tsaur seraya bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang sama. Kemudian Abu Tsaur menjawab: “Boleh memandikan mayit, sebagaimana haditsnya alQosim dari Sayyidatina A’isyah Rodliyallahu anha: Bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam berkata kepadanya: (Adapun sesungguhnya haidlmu tidaklah di tanganmu), dan sebagaimana pula perkataannya beliau Rodliyallahu anha: “aku pernah memisahkan rambut Rosulullah shollallahu alaihi wasallam dengan air dan saat itu aku sedang haidl.”

Dari hadits tersebut Abu Tsaur dawuh: “Kalau beliau diperbolehkan memisahkan rambut dengan air orang yang masih hidup, maka kepada mayit tentu lebih diutamakan kebolehannya”. Kemudian para muhaddits membenarkan hal tersebut seraya berkata; “benar, hadits tersebut diriwayatkan oleh Fulan, dan Diceritakan oleh fulan, jalan riwayatnya seperti ini”. Mendengar perkataan muhaddits tersebut, perempuan tadi bertanya kepada para muhaddits: “Lantas, mengapa kalian tidak dapat menjawab seperti Abu Tsaur menjawabnya?”

Cerita tersebut memberikan pelajaran kepada kita, bahwa banyak ditemukan sebagian muhaddits hanya berpaku kepada teks, sehingga mereka tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang tidak ada nash-nya secara shorih (jelas).

Kisah muhaddits lainnya, Imam A’masy berkata: “Ketika aku duduk mendengarkan Sariyah memberi fatwa kepada orang, aku berada dihadapan sariyah, awalnya aku ditanya mengenai hal tersebut, namun aku tidak mengetahuinya. Pernah juga, ada seseorang datang bertanya persoalan kepadaku, disitu pula ada Abu Hanifah duduk bersama. Karena ada Abu Hanifah, maka aku memberikan otoritas kepadanya untuk menjawab persoalan: Wahai Nu’man (nama Abu Hanifah), jawablah pertanyaan tersebut. Dan menjawablah Imam Abu Hanifah. Lantas aku bertanya kepada Imam Abu Hanifah; “darimana rujukan ucapanmu tersebut?”. “Dari haditsmu yang telah engkau ceritakan kepada kami” jawab Imam Abu Hanifah. “Benarlah kamu wahai Nu’man, kami adalah apotik, dan kamu adalah dokternya.”

Dari kisah di atas dapat kita simpulkan bahwa tidak semuanya ulama’ ahlul hadits zaman dahulu adalah seorang yang faqih pula. Karena mereka menyadari hal tersebut, maka mereka lebih memberikan hak otoritas fatwa kepada fuqoha’. Walaupun mereka mengetahui matan/nash sebuah hadits mengenai persoalan tersebut sekalipun. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila sekelas Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhab Hanbali) dawuh: “Kalaulah tidak ada Imam Syafi’i, maka kami tidak akan mengerti fiqhul hadits (pemahaman hadits)”. Ditambah lagi perkataannya Imam Abu Hatim arRozi: “Kalaulah tidak ada Imam Syafi’i, maka ashabul hadits  dalam keadaan buta”. / tidak mengetahui cara beristinbath hukum dari sebuah nash dan tidak mengetahui nasikh mansukh sebuah hadits… Rodliyallahu anhum, Wallahu a’la wa a’lam.

[19] Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulang shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu telah mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya,  “Untukmu dua pahala (HR. Abu Dawud no. 338, An Nasa’i no. 433. Dinyatakan sahih oleh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 3861).

[20] Taufiq Zubaidi. 8 September 2014. “Isbal”. Web. Diakses 10 September 2014 dari:

https://www.facebook.com/notes/taufiq-zubaidi/isbal/10152665935525535

Isbal

Sering kita jumpai kelompok tertentu dalam memakai pakaian, baik celana atau jubah lebih tinggi “sekilan” di atas mata kaki. Atau bahasa gaulnya cingkrang. Dalam memandang mereka saya husnudlon kalau kelompok tersebut selain berniat untuk mengamalkan sunnah, barangkali mereka juga ingin ihtiyat “hati-hati” agar tidak termasuk kategori orang yang Isbal (Musbil) dalam berpakaian. Sebab seorang yang Isbal ancamannya sangat berat sebagaimana dalam hadits berikut ini:

Diceritakan dari Abi Dzar Rodliyallahu anhu dari Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam dawuh: “Tiga golongan yang tidak didawuhi oleh Gusti Allah Ta’ala pada hari Kiamat, tidak diperhatikan dan tidak pula dibersihkan (dosa-dosanya), bagi mereka hanyalah adzab yang pedih”. Abu Dzar mengatakan bahwa; “Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam sampai mengulangi tiga kali. Sungguh akan menyesal dan merugi mereka. siapakah mereka wahai Rasulullah?”  tanya Abu Dzar. Kanjeng Nabi Shollallahu alaihi wasallam menjawab: “Orang yang isbal, Orang yang mengungkit-ngungkit sedekah dan kebaikannya untuk mengharap imbalan (tidak ikhlas sedekahnya), dan Penjual yang suka bersumpah palsu dengan niatan orang membeli barang tersebut.”

Memang cukup mengerikan nash tersebut apabila diambil bunyi teksnya secara langsung tanpa menjelaskan maksud dari dawuhnya Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam. Sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama’ bahwa di dalam menerangkan teks itu adakalanya tidak langsung menggunakan pemahaman sendiri dengan menyimpulkan satu teks saja. Melainkan dibutuhkankan pemahaman secara menyeluruh atas sebuah teks dengan teks lainnya. Entah itu saling menguatkan, menjelaskan secara terperinci atau mengkhususkan maksud dari nash lainnya. Untuk itu dalam memahami sebuah nash tidak cukup hanya memahami satu nash dan mengesampingkan nash yang lain. Disinilah peran fungsi kealiman sang mujtahid atau mufti dalam beristinbath sebuah hukum.

Sebelum saya membaca syarah dari hadits di atas, saya sempatkan terlebih dahulu untuk membaca pandangan-pandangan melalui mbah Google. Ada yang memandangnya bahwa Isbal adalah harom mutlak tanpa penjelasan lebih detail, menghukumi bahwa Isbal adalah termasuk dosa besar. Adapula yang menjelaskannya sesuai dengan penjelasan ulama’ pensyarah hadits di atas. Setelah saya menelaah kembali hadits diatas, yaitu hadits yang cukup sering dipakai sebagai landasan untuk menghukumi bahwa Isbal adalah dosa besar dan haram mutlak, Alhamdulillah saya menemukan pencerahan dari Imam Nawawi Rodliyallahu anhu. Sengaja saya pilih pendapat beliau tidak lain adalah dikarenakan tidak diragukan lagi kealiman beliau dalam ilmu hadits selain itu kapabilitas beliau termasuk dalam Madzhab Syafi’i sebagai Mujtahid Fatwa. Sebuah maqom yang cukup tinggi dan hanya dapat diraih oleh orang-orang yang alim nan faqih saja. Terbukti selain memiliki banyak karangan kitab terkait hadits dan fiqh, beliau telah mensyarahi Kitab shohih Setelah alQur’an dan Shohih Bukhori, yaitu Shohih Muslim.

Isbal dalam Pandangan Imam Nawawi Rodliyallahu anhu 

Dalam kitab alMinhaj Syarah Shohih Muslim bin Hajjaj karya Imam Nawawi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar tersebut diberi judul oleh beliau; “Bab menerangkan kelirunya pengharaman Isbal Izar (sarung) dan mengharap imbalan dari pemberian, penjual yang menjual barangnya dengan bersumpah, serta penjelasan ketiga golongan tersebut kelak tidak diajak berbicara oleh Gusti Allah di hari Kiamat, tidak diperhatikan, tidak dibersihkan dosa-dosa mreka dan baginya adalah adzab yang pedih)”.

Sebelum Imam Nawawi Rodliyallahu anhu menjelaskan maksud dari hadits di atas, beliau terlebih dahulu menyebutkan riwayat hadits lainnya, terkait dengan orang yang mendapatkan balasan sesuai yang telah dijelaskan dalam hadits di atas. Di antaranya adalah sebagai berikut: “alMannan (Orang yang mengungkit-ngungkit sedekah dan kebaikannya untuk mengharap imbalan, tidak ikhlas sedekahnya) tidaklah diberi imbalan kecuali dari imbalan yang ia terima di dunia, dan orang yang isbal sarungnya.” Riwayat lainnya disebutkan: “Syaikh yang berzina, Raja/pemimpin yang sering dusta/berbohong, dan Pemimpin keluarga yang takabbur” dan beberapa riwayat lainnya.

Barulah kemudian Imam Nawawi menjelaskan maksud dari hadits yang diriwayatkan oleh sayyidina Abu Dzar di atas. Pertama; Makna Penjelasan tidak didawuhi oleh Gusti Allah Ta’ala pada hari Kiamat adalah tidak di dawuhi oleh Gusti Allah sebagaimana Gusti Allah Ta’ala mendawuhi ahlil khoirot (orang-orang yang melakukan kebaikan) dimana Gusti Allah Ta’ala mendawuhinya dengan tampak penuh keRidloan. Orang-orang yang melakukan diantara ketiga laku di atas tidak akan di dawuhi oleh Gusti Allah sebagaimana orang yang melakukan kebaikan, melainkan di dawuhi dengan dawuh ahli asSukhti (ahli orang yang dibenci dan dimarahiNya). Ada juga yang berpendapat maksudnya adalah Gusti Allah Ta’ala kelak mengacuhkan mereka. Jumhur mufassirin menerangkan maksud dari tidak di dawuhi oleh Gusti Alllah adalah: Tidak didawuhi dawuh yang memberi manfa’at dan membahagiakan mereka. Ada pula yang memaknai Gusti Allah tidak mengirimkan kepada malaikat ucapan selamat kepada mereka, sebagaimana ucapan yang diberikan oleh ahli surga.

Kedua: Maksud dari Gusti Allah Ta’ala tidak melihat/memperhatikan mereka adalah; Gusti Allah mengacuhkan mereka. Sedangkan penglihatan/perhatianNya Allah Ta’ala kepada hambaNya adalah rohmat dan kasih sayang.

Ketiga: Makna dari mereka tidak dibersihkan oleh Gusti Allah Ta’ala adalah mereka tidak disucikan dari kotoran-kotoran dosa mereka. AzZujaz berpendapat; maksudnya adalah Gusti Allah Ta’ala tidak memuji mereka.

Ke empat: Makna Siksa yang Pedih adalah; Sebagaimana yang dikatakan oleh alWahidi; yaitu siksa yang sampai membuat hati mereka ikut bergetar.

Adapun maksud dari dawuhnya Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam: alMusbil Izarohu (orang yang Isbal/melebihkan sarungnya sampai melebihi mata kaki) adalah yang melakukannya dengan khuyala’. Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits lain; (Gusti Allah Ta’ala tidak melihat/memperhatikan orang yang menjulurkan pakaiannya dengan niatan khuyala’). Dan makna dari khuya’al adalah takabbur/sombong. Taqyid tersebut (khuyala’) mengkhususkan keumuman orang yang isbal dalam menggunakan sarung. Makna lainnya menunjukkan bahwa maksud dari balasan adalah hanya untuk orang yang menjulurkan sarungnya dengan rasa takabbur (merasa gagah). Sebab Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam telah meringankan Isbal untuk Sayyidina Abu Bakar asShiddiq Rodliyallahu anhu dengan dawuh: “kamu bukanlah termasuk mereka (khuyala’)” karena beliau rodliyallahu anhu tidaklah bertakabbur ketika Isbal.

Di dalam Hadits lainnya disebutkan pula secara jelas nash yang menyebutkan bahwa pelarangan Isbal adalah ketika menjadikan orang tersebut khuyala’. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, anNasa’i dan Ibnu Majjah dengan sanad hasan: Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam dawuh: “Isbal dalam menggunakan Izar, Gamis, Imamah yaitu orang yang menjulurkan tersebut dalam rangka Khuyala’, maka Gusti Allah Ta’ala tidak melihatnya kelak di hari kiamat”.

Syarah tersebut barangkali sudah cukup jelas mengenai hukum Isbal, tidak lain adalah Isbal dihukumi harom ketika sampai pada munculnya sifat takabbur bagi orang yang mengenakan pakainnya. Dengan konsekwensi kelak dihari kiamat tidak akan didawuhi oleh Gusti Allah Ta’ala, tidak diperhatikan dan tidak pula dibersihkan (dosa-dosanya), selain itu baginya adalah adzab yang pedih. Namun apabila pemakai pakaian yang walaupun tampak Isbal tapi ketika tidak berniat menyombongkan diri atau dapat menghindarkan hati dari rasa takabbur, maka ia termasuk kategori orang yang isbal namun bukan termasuk Khuyala’. Sehingga baginya tidaklah harom secara mutlaq.

Daripada itu apabila kita kerucutkan lebih ringkas lagi, sebenarnya titik tekan dari pelarangan Isbal tiada lain adalah dikhawatirkannya muncul sifat kesombongan dari diri kita. Keharaman Isbal lantaran untuk melindungi kita dari sifat sombong. Mafhum mukholafahnya adalah, apabila kita Isbal namun diri kita tetap dapat menjaga hati untuk tetap bisa rendah hati, merasa diri paling hina diantara lainnya, merasa tidaklah lebih sekedar hamba yang tak patut menyombongkan diri, bahkan kesombongan yang muncul dari cara berpakaian sekalipun, maka Isbal tersebut tidaklah sampai pada hukum harom sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi di atas.

Barangkali pula dikarenakan kesombongan itu sangatlah tidak patut untuk disandang oleh seorang hamba, sampai-sampai di hadits yang lain pula Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam dawuh: “Tidaklah masuk surga seorang yang di dalam hatinya terdapat sebiji dzarroh dari kesombongan”. Jadi seorang mukmin sekalipun, harus masuk neraka terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran dosa kesombongannya terlebih dahulu, sampai ketika telah bersih dirinya dari kesombongan, barulah dimasukkan kedalam surgaNya. Wallahu a’la wa a’lam…

[21] Muhammad Abduh Tuasikal. 9 Februari 2010. “Hukum Celana di Bawah Mata Kaki”. Web. Diakses 10 September 2014 dari:

http://rumaysho.com/umum/hukum-celana-di-bawah-mata-kaki-2-837

Hukum Celana di bawah Mata Kaki

Mungkin sebagian orang sering menemukan di sekitarnya orang-orang yang celananya di atas mata kaki (cingkrang). Bahkan ada yang mencemoohnya dengan menggelarinya sebagai ‘celana kebanjiran’. Pembahasan kali ini –insya Allah- akan sedikit membahas mengenai cara berpakaian seperti ini apakah memang pakaian ini merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan.

Penampilan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Celana Setengah Betis

Perlu diketahui bahwasanya celana di atas mata kaki adalah sunnah dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup telapak kakinya. Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata: Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata,Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai  teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)

Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shohih)

Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis. Boleh bagi seseorang menurunkan celananya, namun dengan syarat tidak sampai menutupi mata kaki. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai teladan terbaik bagi kita dan bukanlah professor atau doctor atau seorang master yang dijadikan teladan.  Allah Ta’ala berfirman,“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [60]: 21)

Menjulurkan Celana Hingga di Bawah Mata Kaki

Perhatikanlah hadits-hadits yang kami bawakan berikut ini yang sengaja kami bagi menjadi dua bagian. Hal ini sebagaimana kami ikuti dari pembagian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’ pada Bab Satrul ‘Awrot.

Pertama: Menjulurkan celana di bawah mata kaki dengan sombong

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 5576)

Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam Shohih Muslim.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 306). Orang yang isbal (musbil) adalah orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.

Kedua: Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong

Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)

Dari hadits-hadits di atas terdapat dua bentuk menjulurkan celana dan masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda. Kasus yang pertama -sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar di atas- yaitu menjulurkan celana di bawah mata kaki (isbal) dengan sombong. Hukuman untuk kasus pertama ini sangat berat yaitu Allah tidak akan berbicara dengannya, juga tidak akan melihatnya dan tidak akan disucikan serta baginya azab (siksaan) yang pedih. Bentuk pertama ini termasuk dosa besar.

Kasus yang kedua adalah apabila seseorang menjulurkan celananya tanpa sombong. Maka ini juga dikhawatirkan termasuk dosa besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan semacam ini dengan neraka.

Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua kasus ini berbeda. Tidak bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Huroiroh pada kasus kedua ke hadits muqoyyad dari Ibnu Umar pada kasus pertama karena hukum masing-masing berbeda. Bahkan ada sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut.

Pakaian seorang muslim adalah hingga setengah betis. Tidaklah mengapa jika diturunkan antara setengah betis dan dua mata kaki. Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Daud no. 4095. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash Shogir, 921)

Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus pertama dan kedua berbeda.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika menjulurkan celana tanpa sombong maka hukumnya makruh karena menganggap bahwa hadits Abu Huroiroh pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits Ibnu Umar pada kasus pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman (siksaan) adalah yang menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak dilakukan dengan sombong, hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan Riyadhus Shalihin, juga merupakan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Abdullah Ali Bassam di Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom -semoga Allah merahmati mereka-.

Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika kita melihat dari hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing kasus berbeda. Jika hal ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika dilakukan tidak dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang menunjukkan adanya ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri dibedakan hukum di antara dua kasus ini. Perhatikan  baik-baik hadits Abu Sa’id di atas: Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti). Jadi, yang menjulurkan celana dengan sombong ataupun tidak, tetap mendapatkan hukuman. Wallahu a’lam bish showab.

Catatan: Perlu kami tambahkan bahwa para ulama yang menyatakan makruh seperti An Nawawi dan lainnya, mereka tidak pernah menyatakan bahwa hukum isbal adalah boleh kalau tidak dengan sombong. Mohon, jangan disalahpahami maksud ulama yang mengatakan demikian. Ingatlah bahwa para ulama tersebut hanya menyatakan makruh dan bukan menyatakan boleh berisbal. Ini yang banyak salah dipahami oleh sebagian orang yang mengikuti pendapat mereka. Maka hendaklah perkara makruh itu dijauhi, jika memang kita masih memilih pendapat yang lemah tersebut. Janganlah terus-menerus dalam melakukan yang makruh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.

Jadi, masalah isbal (celana menyeret tanah) adalah perkara yang amat penting. Jika ada yang mengatakan ‘kok masalah celana saja dipermasalahkan?’ Maka cukup kisah ini sebagai jawabannya. Kita menekankan masalah ini karena salaf (shahabat) juga menekankannya. -Semoga kita dimudahkan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaatAlhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

[Yang menarik adalah bagaimana pendapat dari Ustad Muhammad Abduh Tuasikal mendapat masukan dari salah satu kawan beliau yang bernama Abu Zuhriy al Gharantaliy sebagai berikut ini:

Ustadz mohon DITELITI lagi “klaim” bahwa syaikh al-bassam berpendapat “makruh”… Justru yang nampak beliau berpendapat “mubah”…

simak:

قال الشيخ عبد الرحمن بن عبد الله البسام رحمه الله : ” ( إن القاعدة الأصولية هي حمل المطلق على المقيد وهي قاعدة مطردة في عموم نصوص الشريعة. والشارع الحكيم لم يقيد تحريم الإسبال – بالخيلاء – إلا لحكمة أرادها ولولا هذا لم يقيده. والأصل في اللباس الإباحة ، فلا يحرم منها إلا ما حرمه الله ورسوله صلى الله عليه وسلم . والشارع قصد من تحريم هذه اللبسة الخاصة قصد الخيلاء من الإسبال وإلا لبقيت اللبسة المذكورة على أصل الإباحة. وإذا نظرنا إلى عموم اللباس وهيئاته وأشكاله لم نجد منه شيئاً محرماً إلا وتحريمه له سبب وإلا فما معنى التحريم وما الغرض منه ، لذا فإن مفهوم الأحاديث أن من أسبل ولم يقصد بذلك الكبر والخيلاء ، فإنه غير داخل في الوعيد “.اهـ من ( توضيح الأحكام من بلوغ المرام 6/246 )

Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah al bassam berkata, “Sesungguhnya Kaidah Ushul Hamlul Muthlaq ‘alal Muqoyyad adalah kaidah umum yang terdapat pada Nash-Nash syara’. Asy-syari’ (Allah) yang Mahabijak tidak membatasi pengharaman Isbal dengan kesombongan kecuali karena hikmah yang dikehendaki. Andaikan tidak ada hikmah yang dikehendaki, tentu Dia tidak akan membatasinya. Hukum asal pakaian adalah Mubah. Tidak ada yang haram darinya kecuali bila Allah dan RasulNya mengharamkannya. As-Syari’ memaksudkan pengharaman cara berpakaian khusus ini adalah pada kesombongan pada Isbal. Jika tidak, maka cara berpakaian yang disebutkan seharusnya tetap dalam kemubahannya. Dan jika kita melihat pada umumnya pakaian serta model dan bentuknya, kita tidak menemukan adanya sesuatu yang diharamkan kecuali pengharamannya karena sebab tertentu. Jika tidak, maka apalah artinya pengharamannya dan apa tujuan pengharamannya. Oleh sebab itu, maka pemahaman terhadap hadits ini adalah barangsiapa yang Isbal dan tidak dalam rangka sombong dan angkuh, maka ia tidak masuk dalam ancaman.”(Taudhih Al-Ahkam min Bulughi Al-marom)

Dan pendapat “mubah” ini sudah ada dari ulama terdahulu….

Berkata Abu Hatim dalam mengomentari Shahiih ibnu Hibbaan:

الأمر بترك استحقار المعروف أمر قصد به الإرشاد والزجر عن إسبال الإزار زجر حتم لعلة معلومة وهي الخيلاء فمتى عدمت الخيلاء لم يكن بإسبال الإزار بأس

Abu Hatim berkata, “Perintah untuk meninggalkan menganggap remeh hal yang ma’ruf adalah perintah yang bermaksud untuk mendidik. Dan larangan untuk tidak mengIsbalkan sarung adalah larangan yang pasti karena sebab yang telah diketahui, yakni kesombongan. Oleh karena itu, jika kesombongan itu tidak ada, maka TIDAKLAH MENGAPA Isbal sarung.” (Shahih Ibnu Hibban, 2/282)

Semoga kita diberi kelapangan hati untuk menerima dan mengakui pandangan ulama yang berbeda dengan kita dalam hal ini… ]

[22] Ibid.

[23] Chelsea Diffendal. 2006. “The Modern Hijab: Tool of Agency, Tool of Oppression”. Chrestomathy: Annual Review of Undergraduate Research, School of Humanities and Social Sciences, School of Languages, Cultures, and World Affairs, College of Charleston. Volume 5, 2006: pp. 129-136.

Untuk melihat pendapat lain mengenai jilbab apakah sebagai bentuk opresi (penindasan) atau pembebasan para wanita misalnya dapat dibaca pada tulisan:

Maryam S. 4 September 2014. “Why I Don’t Need A Makeup Tutorial to Teach Me How to Wear a Hijab”. Web. Diakses 20 september 2014 dari:

http://muslimmatters.org/2014/09/04/why-i-dont-need-a-makeup-tutorial-to-teach-me-how-to-wear-a-hijab/

Nakata Khaula. tanpa tanggal. “A Japanese Woman’s Experience of Hijaab”. Web. Diakses 20 September 2014 dari:
http://www.beautifulislam.net/women/japanese_hijab.htm

Abdul Sattar Ahmed. 30 April 2012. “Hijab is not to Protect Men, but to Honor Women”. Web. Diakses 20 September 2014 dari:
http://www.suhaibwebb.com/islam-studies/islam-101/misconceptions/hijab-is-not-to-protect-men-but-to-honor-women/

Vanessa Rivera de la Fuente. 14 Maret 2013. “No Ladies, Hiyabis are not asking for It”. Web. Diakses 20 September 2014 dari:
http://ladivinafeminista.wordpress.com/2013/03/14/no-ladies-hiyabis-are-not-asking-for-it/

Helena Andrews. 8 Juni 2006. “Muslim Women Don’t See Themselves as Oppressed, Survey Finds”. The New York Times. Diakses 27 Oktober 2014 dari: http://www.nytimes.com/2006/06/08/world/middleeast/08women.html

Yasmin Mogahed. 1 Februari 2011. “A Letter to the Culture that Raised Me”. Web. Diakses 27 Oktober 2014 dari: http://www.yasminmogahed.com/2011/02/01/a-letter-to-the-culture-that-raised-me

Creative Commons License
Pakaian by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License.

Pembodohan yang Atraktif

Published on 24 January 2014, Latest Revision on 4 February 2015 as issues on ISIS getting bigger.

Malam itu saya mengikuti sebuah pengajian yang sering ditayangkan di sebuah televisi lokal. Hal yang menarik dari pengajian tersebut adalah pembodohan yang terus berulang kepada awam dan dikemas dengan cara yang atraktif. Yang tipikal dari pengajian ini adalah modus serupa ini: candaan dilemparkan, musik tradisional Jawa dimainkan, sholawat didendangkan, ayat-ayat Qur’an dikutip, hadist disitir, kisah-kisah diceritakan, sedikit bahasa Inggris ini dan itu ditampilkan. Memukau bagi awam!

Pengajian Bergending Itu

Dan malam itu, seperti biasa, sekali lagi saya mengikuti tayangan pengajian yang memukau bagi awam tersebut.

Pengajian dibuka dengan kritik terhadap fatwa MUI tentang doa bersama. Sangat khas, kritik dilakukan bukan dengan kalimat menyalahkan sehingga awam tidak mendapat kesan bahwa pengajian ini suka menyalah-nyalahkan. Kritik tersebut dilakukan dengan mengutip kisah Iblis yang berdoa (memohon) kepada Allah untuk diberi kelonggaran waktu menjalani hukuman sebagaimana termaktub di dalam Qur’an. Iblis dikabulkan doanya. Sang penceramah berkoar-koar atraktif dan menyebut contoh ini sebagai justifikasi bahwa Iblis-pun doanya dikabulkan oleh Allah padahal Iblis telah jelas-jelas dinyatakan terkutuk.

Sang penceramah lalu menunjukkan bahwa banyak orang yang berbeda keyakinan mendapat kemuliaan dunia berkat doa-doa mereka. Lalu pernyataan provokatif dilemparkan: Jika Allah hanya mengabulkan doa orang yang sama keyakinan dengan kita, mengapa justru terdapat banyak bukti bahwa orang-orang yang tidak sama keyakinan juga mendapatkan kemuliaan dunia? Bukankah ini berarti doa-doa mereka juga dikabulkan oleh Allah? Lihatlah Iblis. Iblis saja doanya dikabulkan oleh Allah. Jadi jika ada orang yang berbeda keyakinan atau orang yang serupa Iblis sedang berdoa maka tidak ada salahnya untuk mengaminkan doa mereka. Sang Penceramah berkata bahwa bisa jadi doa yang dilontarkan oleh mereka ini kebetulan ‘pas dikabulkan’ oleh Allah jadi yang penting aminkan saja. Lalu dikatakan bahwa mereka yang tidak paham ini berarti kurang mendalami agama Islam.

Awam hadirin pengajian itu terpukau seperti biasanya. Lalu ada yang ikut menertawakan MUI.

Ada yang ganjil dengan gaya berpikir seperti itu. Untuk kasus Iblis, jika kita cermat membaca kisahnya kita akan mendapati bahwa Iblis berdoa kepada Allah. Iblis, meskipun sudah dicap sebagai pengingkar perintah, tidak bisa disamakan dengan kasus umat yang berkeyakinan lain dalam hal doa. Umat lain berdoa bukan kepada Allah atau ada juga yang berdoa kepada Allah beserta apa yang mereka persekutukan dengan Allah. Jadi berbeda, sangat berbeda (cf. sanggahan Keith E. Johnson atas John Hick dalam terjemahan saya ‘Hipotesis Pluralistik John Hick …’).

Lalu bagaimana dengan terkabulnya doa? Sebuah ilustrasi: Bagaimana jikalau hanya orang yang beriman yang benar saja yang dikabulkan doanya? Jawabannya: semua orang akan beriman pada keimanan yang benar itu. Lalu jika ini terjadi, orang beriman tidak akan mendapatkan ujiannya. Iman menjadi tidak bernilai istimewa sebab tidak beriman kepada iman yang benar itu akan menjadi tidak relevan. Semua orang tentunya akan berbondong-bondong memeluk sebuah agama yang semua doanya tiap kali berdoa dikabulkan. Dus, mempunyai pikiran bahwa benarnya sebuah agama adalah dengan terkabulnya semua doa (di dunia) adalah keluguan. Bayangkan betapa kacaunya dunia jika setiap berdoa tidak ada yang tidak dikabulkan.

Sang penceramah melanjutkan khotbahnya. Ia berkata bahwa banyak orang salah memahami Islam dengan cara selalu mengekor pada budaya Arab.[1] Ia membenturkan budaya Jawa dengan budaya Arab dengan menceritakan, kurang lebih, bahwa budaya Arab adalah budaya padang pasir [yang keras] sedangkan budaya Jawa adalah budaya lempung [yang lentuk]. Kemudian ia menyindir mereka yang bersikap keras – melakukan kekerasan – di dalam berdakwah. Kekerasan bukan khas Jawa. Islam itu datang dalam ajakan kedamaian dan keselamatan dan bukan untuk mengadakan kekacauan.

Awam hadirin pengajian itu terpukau seperti biasanya.

Ada yang aneh dengan pembandingan model seperti itu. Sebagaimana pernah saya singgung dalam endnote pada terjemahan saya ‘Hipokrisi dalam Profesi Kependidikan‘ mengenai Islam dan Arab, ada kerancuan mengenai penyamaan Islam dengan Arab. Inilah cara pikir yang salah. Perlu diketahui bahwa jazirah Arab secara umum berhasil di-islam-kan sehingga seakan-akan semua yang berasal dari Arab adalah pasti Islam.

Tidak semua yang berasal dari Arab adalah Islam dan begitu juga jangan dikatakan bahwa semua yang merupakan ajaran dari Islam adalah budaya Arab. Budaya di jazirah Arab bukanlah budaya yang monoton seratus persen islami karena di jazirah Arab terdapat banyak negara, etnis, varian bahasa, dan agama (mis. Kristen Ortodox Syiria, Kristen Lebanon, Yahudi, Syiah, Zoroastrian).

Cara pikir bahwa semua ajaran Islam adalah sejatinya khas budaya Arab adalah tidak pas. Sebagai contoh lain, tidak pas ketika mengatakan bahwa ajaran menutup aurat dikatakan sebagai budaya Arab karena Arab berpadang pasir sehingga ada kebutuhan menutup diri dari debu dan atau panas. Jika cara melihatnya adalah serupa ini maka secara sederhana seharusnya dapat dijelaskan juga mengapa kewajiban menutup aurat antara pria dan wanita di dalam Islam berbeda padahal baik pria maupun wanita Arab mengalami lingkungan yang sama. Tambahan pula, mengapa juga ada hadist yang menjelaskan bagaimana cara menutup aurat yang ternyata tidak sama dengan apa yang sudah lazim dipakai orang Arab sebelum perintah menutup aurat diperintahkan? Dan jika ingin cermat – bukan kaku – bukankah perintahnya bukan agar berpakaian ala Arab namun ‘menutup aurat’? Dengan demikian pemahaman menutup aurat hendak dipraktikkan dengan gaya busana penutup aurat model apapun – asal pantas dan tidak berlebihan – adalah ketepatan memahami perintah ini.

Kecerobohan dan Kesembronoan

Lebih jauh lagi – meski tidak disinggung di dalam ngaji bersama yang saya tonton itu – beberapa gelintir orang di dalam pengajian serupa pengajian yang saya tonton ini malah pernah saya dengar melempar guyonan rasis bahwa perintah itu adalah karena laki-laki bangsa Arab libidonya besar sehingga kaum wanitanya butuh dilindungi dengan pakaian tertutup. Duh, jika argumen ini dijadikan rujukan maka argumen tersebut dapat pula dipatahkan dengan fakta bahwa tidak semua laki-laki Arab menikah di usia muda, menikah dengan banyak wanita, dan seterusnya yang membuktikan bahwa tidak semua laki-laki bangsa Arab libidonya besar. Tuduhan atau klaim berdasarkan ‘kasus-kasus tertentu’ kemudian digeneralisasi adalah sebuah kesembronoan.

Contoh lain di dalam kesembronoan berpendapat misalnya pada isu kemuliaan bangsa Yahudi. Pendapat yang mengatakan bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa yang mulia sehingga ‘selalu benar apapun tindak-tanduknya’ adalah berbahaya. Sudah mahfum diketahui bahwa ‘mulia’-nya bangsa Yahudi adalah dalam konteks mereka beruntung karena banyak nabi yang dimunculkan dari kalangan mereka. Dan bagi believers, derajat kemuliaan seseorang adalah kedekatannya kepada Tuhan: melakukan perintah dan menjauhi larangan. Bila sebuah bangsa, bangsa apapun, tidak melakukan perintah dan menjauhi larangan Tuhan maka bangsa tersebut bukan bangsa yang mulia. Dus, makna mulia yang pertama dengan yang kedua adalah berbeda (cf. terjemahan dari tulisan seorang Kristen mengenai sikap berlebihan di dalam ‘memuliakan’ bangsa Yahudi: Siapakah Pemilik Sah Tanah Palestina? dapat dijadikan pembanding).

Dahulu sekali, saya juga pernah terperanjat dengan semacam ajaran yang ditularkan word-of-mouth dari sebuah jamaah yang sampai kepada saya mengenai tingkatan sholat di dalam Islam. Di dalam ajaran yang aneh itu diceritakan bahwa tingkat sholat tertinggi adalah sudah tidak dengan gerakan namun sudah menyatu dengan tiap napas. Menurut ajaran ini, saat sholat sudah menyatu dengan napas maka sudah tidak relevan lagi – sudah tidak level lagi – untuk menetapi sholat yang ‘konvensional’; sholat dengan gerakan. Duh, ajaran ini sungguh aneh. Jika merujuk kepada banyak hadist, Muhammad saw. justru mengecam peninggal sholat [wajib, 5 waktu, dengan gerakan dari takbir hingga salam]. Bahkan sudah terkabarkan pula bahwa Rasul saw. bukan hanya sholat wajib namun juga menghidupkan malamnya dengan sholat tahajud hingga kaki beliau bengkak. Di dalam riwayat muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasul ‘membebani diri’ dengan sholat tahajud. Sholat tahajud yang beliau lakukan bukan hanya sekedar dilakukan namun beliau saw. konsisten sebagai pengunjuk hamba yang pandai bersyukur.  Bukankah asal perintah sholat [wajib] di dalam Islam diberikan langsung kepada Muhammad saw. (cf. HR Muslim no 162) dengan gerakan yang diperintahkan diikuti sesuai apa yang beliau saw. contohkan?  Lalu darimana dasar kesembronoan ajaran ‘sholat tanpa gerakan’ yang menyelisihi teladan nabi yang mengajarkan Islam dan juga sholat?

Hendak disangkal atau hendak direnungkan, kerap ada yang salah dengan bagaimana kita membuat hujjah. Contoh lainnya adalah mengenai kejawaaan kita. Kita selalu mengatakan bahwa yang khas dari orang Jawa adalah lemah lembut dan tata laku-nya. Imbas praktikal dari klaim ini adalah orang Jawa – yang tidak boleh hilang kejawaannya – selalu diajari untuk selalu lemah lembut dalam bertutur kata dan berperilaku sesuai adat Jawa pada hal apapun.

Pertanyaan yang penting justru timbul: Sejauh manakah lemah lembut teguh dipraktikkan kepada sesuatu yang buruk? Bukankah di dalam sejarah tanah Jawa kita telah belajar bahwa kekerasan kadang diperlukan demi kebaikan? Bukankah kita sama-sama sepakat bahwa Walisongo melakukan ‘kekerasan’ kepada Syeh Siti Jenar karena mengajarkan pantheisme dan atau monisme, sesuatu yang berbeda dengan ajaran Muhammad saw.? Bukankah Pangeran Diponegoro, yang sangat teguh memegang kejawaannya dan sikap halus orang Jawa, berani bergerak keras terhadap Belanda (cf. Peter Carey)?

Kadang Kekerasan Dibutuhkan

Kekerasan itu kadang diperlukan asal tepat keadaan, adil, tidak melupakan berbuat kasih sebab ada adab bahkan di dalam tindak kekerasan, dan tak pernah lupa menyediakan ruang pemaafan. Bila saja hendak adil melihat semua fenomena yang ada maka di dalam konteks penegakan demokrasi dan HAM tidak dapat disangkal bahwa kekerasan juga sering dilakukan – tentu saja dengan jargon spesial klasik yang hanya boleh dipakai untuk kekerasan atas nama demokrasi: ‘membebaskan’.

Salah kaprah yang sering terjadi adalah pemberian label bahwa semua kekerasan [kecuali yang didukung media massa] adalah selalu buruk. Dalam konteks ‘main label’ mana kekerasan yang baik dan mana kekerasan yang buruk maka jihad tergambarkan sebagai kekerasan yang buruk. Jihad sekarang ini selalu sengaja diarahkan definisinya dengan hanya kekerasan. Muncul istilah olok-olok serupa kelompok jihadis zonder timbang bagaimana konteks gerakan resistance atau perlawanan tersebut berawal. Intinya jika ada orang Islam melakukan pembelaan diri atau perlawanan terhadap penindasan di sebuah negara yang diinvasi adalah sudah otomatis disebut sebagai bagian dari grup jihadis.

Kebanyakan orang mengamini hal ini tanpa memahami kedalaman dan keluasan makna jihad. Apa yang diyakini oleh kebanyakan awam tentang jihad saat ini adalah distorsi pemaknaan. Argumen beserta fakta-fakta ditampilkan untuk meyakinkan publik awam bahwa jihad adalah memang benar-benar ‘tindakan kekerasan [terhadap orang yang berkeyakinan lain] dalam rangka menegakkan kalimat Allah’ tanpa ditampilkan kepada publik betapa kompleksnya fenomena ‘kekerasan’ (jika memang tidak ada kata lain untuk menunjuk pada kontak fisik) yang dilakukan oleh orang Islam.

Labeling untuk Melemahkan Lawan

Merujuk kepada apa yang pernah diletupkan oleh Huntington (1996) bahwa ideologi “yang tersisa” selepas perang dingin yang memiliki potensi untuk berkonflik di masa mendatang adalah Western dan Islamic. Kisah embargo minyak oleh negara-negara Islam di tahun 70-an dan trauma lama kekalahan bertubi-tubi dalam Crusade menghasilkan persepsi bahwa Islam adalah kompetitor yang alot. Penakhlukan Islam, sebagaimana sebelumnya telah berhasil dilakukan terhadap sosialis-komunis, tidak bisa dilakukan kecuali dengan pembuatan narasi di belakang tirai. Kapitalisme Barat sudah belajar dari pengalaman mereka bahwa berhadapan frontal dengan Islam kerap menghasilkan kekalahan.

Strategi pelemahan lawan lewat penciptaan narasi yang menguntungkan penguasa jalur informasi mainstream ini telah dikupas oleh Spivak di dalam Can The Subaltern Speak? (1988) ketika ia menunjukkan bagaimana sati ditampilkan terus-menerus oleh kolonial Inggris di dalam teks-teks sebagai bentuk budaya yang opresif terhadap perempuan dan buruk. Penampilan berulang-ulang sebuah narasi ‘cangkokan’ mengenai tidak beradabnya ritual sati ini menyingkirkan narasi asli sati yaitu pembuktian loyalitas kepada pasangan dan momen sakral kehinduan. Saat orang-orang India sudah teracuni narasi ‘keburukan’ sati dan melupakan nilai sakral sati maka mereka juga ‘mulai lambat laun percaya’ bahwa budaya mereka inferior [‘buruk’] dibandingkan superioritas [atau ‘kebaikan’] budaya Barat.

Pembentukan narasi yang telah sedang berlangsung sekarang dalam konteks benturan antarperadaban, sebuah istilah yang digaungkan oleh Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996) dan mengundang polemik, adalah tengah terjadi terhadap Islam.

Edward Said-lah yang menunjukkan di dalam kajian dan tulisan-tulisannya mengenai pembentukan narasi bahwa Islam itu ‘tidak toleran’, ‘kasar’, dan ‘jahat’. Edward Said adalah seorang cendekiawan Palestina yang concern terhadap apa yang tengah terjadi kepada Islam. Edward Said di dalam bukunya Covering Islam: How the Media and the Experts Determine How We See the Rest of the World (1997) menunjukkan bahwa narasi tentang Islam sengaja dibuat dalam rangka membentuk wajah Islam sebagai: suka kekerasan, buruk, kolot terhadap perubahan dan kemodernan serta selalu menolak apa yang dibawa oleh Barat.

Foto Edward Said di tahun 2003, tahun ia meninggal (Credit: Jean-Christian Bourcart/Getty Images)

Foto Edward Said di tahun 2003, tahun ia meninggal (Credit: Jean-Christian Bourcart/Getty Images)

6 Poin Hipotesis Penenunan Isu-isu dalam ‘Menyerang dan Melemahkan’ Islam secara Halus

Sebagaimana Said kemukakan, ideologi yang masih alot dan kurang begitu compatible dengan kapitalisme Barat adalah Islam. Diperlukan suatu cara agar orang-orang Islam terpecah dan sebagian dari mereka lalu ‘terpaksa’ mendefinisikan ulang ajaran agama mereka agar lebih compatible sehingga mudah dikuasai. Isu takfir, kafir, bid’ah, terorisme, bom bunuh diri, dan jihad sengaja ditenun menjadi sebuah narasi besar – beserta sekumpulan identifikator tematik – untuk mencapai tujuan hegemoni ideologi. Berikut ini adalah hipotesis penenunan isu-isu tersebut:

  1. Dibuat sebuah keyakinan lewat pembuatan narasi secara masif dan kolosal bahwa orang beragama Islam ada yang moderat dan ada yang fundamentalis.
  2. Dibuat sebuah momen besar yang membuat kaum moderat memisah dari kaum fundamentalis. Kejadian 9/11 memulai sebuah mega proyek War on Terror dapat terjadi. War on Terror, disangkal atau tidak, telah membuat batasan yang jelas: “bersama kami atau bersama mereka”.

Umat Islam kemudian terpecah karena pilihannya hanya ada dua: moderat atau fundamentalis. Yang moderat berarti compatible dengan apa-apa yang ditawarkan pemimpin mega proyek tersebut sedangkan yang fundamentalis tidak compatible dengan apa yang digaungkan.

Untuk wacana pembanding mengenai kejadian 9/11 apakah merupakan kejadian yang dilakukan oleh orang Islam ‘yang fundamentalis’ atau tidak, dapat dirujuk salah satunya pada laman ini, ini, dan juga ini.

Secara umum mega proyek War on Terror yang dimulai dengan kejadian 11 September, menurut banyak cendekiawan, ilmuwan persenjataan, analis militer dan politik, perkumpulan arsitek (yang memahami karakteristik bangunan WTC), saksi di tempat kejadian, keluarga korban WTC, dan beberapa politisi Amerika Serikat sebagaimana terkumpul di dalam gerakan 9/11truth dan ReThink911, adalah penuh keanehan jika dirujukkan kepada versi yang dinarasikan oleh pemerintah Amerika Serikat dan dituturkan ke seluruh dunia.[2]

Gerakan 9/11truth, ae911truth, dan ReThink911 merujuk kepada pertanyaan-pertanyaan dan dugaan dengan dasar yang kuat seputar:

1). keganjilan-keganjilan kronologi tindakan pemerintah Amerika Serikat sekitar kejadian 9/11,

2). Tiga bangunan gedung pencakar langit (Menara kembar WTC + Building 7) yang runtuh oleh tabrakan dua pesawat (cf. David Hooper, Anatomy of a Great Deception),

3). konstruksi gedung WTC yang memang sudah didesain untuk kuat terhadap tabrakan pesawat sejenis Boeing namun hancur dengan tabrakan pesawat yang sejenis,

4). Video-video pengakuan Osama bin Ladin atas tindakan ‘kekerasannya’ yang berbeda-beda wajah dan insiden pemakaman dihilangkan di laut sehingga pembuktian DNA tidak mungkin dilakukan,

5). Pesawat yang dinarasikan sebagai pesawat terbang komersial dan dibajak berdasar bukti-bukti video diragukan sebagai benar-benar pesawat terbang komersial,

6). Debris bangunan WTC secepat kilat sudah langsung ‘ditangani’ sehingga investigasi insiden dari lokasi kejadian sudah tidak dapat sempurna dilakukan,

7). Debris menara WTC yang sangat panas – besi rangka menara meleleh – dan berdasar banyak ahli, sangat tidak masuk akal jika dihasilkan dari hasil bakaran solar pesawat,

8). Beberapa perusahaan yang berkantor di WTC secara massal pindah dari WTC sebelum kejadian,

9). Kegelisahan urgensi kebutuhan sumber energi, khususnya minyak, yang harus segera dicarikan solusi untuk menghindari kolapsnya ekonomi Amerika Serikat yang dilontarkan oleh pejabat tinggi Amerika Serikat beberapa bulan sebelum peristiwa 9/11. Dugaan bahwa insiden 9/11 merupakan casus belli untuk menginvasi negara kaya sumber energi yang kurang kooperatif dan belum kuat lindung pengaruh China dan Rusia,

10). Sebelum peristiwa 9/11 yang dianggap banyak orang sebagai pelecut utama Amerika Serikat menyerang Irak dan Afghanistan terjadi, sebenarnya pemerintah Amerika Serikat sudah jauh-jauh hari mempersiapkan angkatan perangnya untuk serangan penuh ke Irak dan Afghanistan. Hingga kini alasan persiapan pasukan di sekitar Irak dan Afghanistan tidak begitu jelas namun 9/11 menjadi alasan justifikatif dimulainya operasi militer ke Irak dan Afghanistan,

11). Ketika invasi sudah terjadi maka secara logis mulai timbul perlawanan. Abrakadabra, gerakan perlawanan ini sudah langsung gampang dilabeli oleh media massa dan analis ‘pilihan’ sebagai grup radikal jihadis yang terkait dengan serangan 9/11. Awam dibuat kabur mana yang muncul lebih duluan di dalam ‘perang melawan teror’. Perhatikan bagaimana narasi mengenai kejahatan Irak (pembantaian yang dilakukan Saddam Hussein, Pengembangan Senjata Pemusnah Masal (WMD) Kimia dan Niklir, keterkaitan dengan Al Qaida) hanyalah rajutan dari ‘penggalan-penggalan’ fakta usang atau malah kadang palsu (cf. CBC – The Fifth Estate – The Lies that Led to War) juga perhatikan bagaimana Afghanistan yang dikait-kaitkan dengan Al Qaida dan pusat radikalisme Islam juga merupakan narasi manipulatif (cf. Syaikh Abdussalam, Community Showcase, Cage Africa; David Ray Griffin, 2010. “Did 9/11 Justify the War in Afghanistan?”; Michel Chossudovsky, 2010. “The War is Worth Waging: Afghanistan’s Vast Reserves of Minerals and Natural Gas”).

12). Saat usaha melawan narasi-narasi penyebar syubhat lewat hipotesis kuat mengenai latar belakang terjadinya peristiwa 9/11 maka dimunculkan pula narasi-narasi yang dipaparkan oleh orang-orang di luar ‘struktur resmi negara’ sehingga muncullah FUD (Fear, Uncertainty, Doubt) mengenai apa yang sedang terjadi dan bagian manakah dari sekumpulan narasi-narasi yang beredar hendak diterima kebenarannya. Bahkan Senator Paul Wellstone meninggal dalam kecelakaan pesawat yang diyakini oleh beberapa orang terkait dengan kerasnya ia bersuara tentang keganjilan kisah 9/11.

13). Usaha-usaha lewat jalur resmi konstitusional di dalam meminta penyelidikan ulang akan keganjilan jatuhnya gedung 7 oleh rakyat Amerika Serikat karena dapat ‘paling tidak’ menguak lubang atau ketidakkonsistenan cerita resmi mengenai serangan terorisme pada peristiwa 9/11 pun seakan-akan mendapat hambatan sebagaimana terjadi atas gerakan NYC CAN.

Meluas dari subjek perang mencari minyak bumi, dugaan perluasan market dan diseminasi ide demokrasi liberal yang memudahkan jalan bagi integrasi negara-negara yang ditakhlukkan menjadi berbasis demokrasi [liberal] kapitalisme dapat dirujuk kepada tulisan hipotesis Huntington di dalam benturan antarperadaban [antar-ideologi] dan Edward Said di dalam evilisasi Islam.

14). Dan ketika justifikasi perang lewat kisah WTC sudah mulai kacau maka dimunculkanlah ISIS sebagai bagian dari penciptaan keadaan: “ada musuh di sana”.

  1. Umat Islam yang fundamentalis ini dilabeli mitos sebagai sekumpulan orang yang mengartikan dan mempraktikkan Islam itu sebagai aksi kekerasan jihad [khusus yang sudah bergerak kontak fisik bukan beradu wacana lagi sudah spesifik disebut dengan label jihadis], pemberangusan bid’ah, aksi angkat senjata, terorisme, menolak patuh pada ‘semua’ hukum buatan manusia, tidak memberi ruang hidup kepada pemeluk agama lain, memusuhi kafir secara mutlak, dan mengakomodasi tindak bom bunuh diri sedangkan umat Islam yang moderat dibuat identifikator mitologis sebagai orang yang tidak kaku dalam beragama, menjadi rahmat bagi semesta alam, penuh kasih sayang, memberi ruang kepada umat lain, dan mengutuk segala tindak kekerasan.
  1. Ciri-ciri kelompok fundamentalis kadang dibuat di dalam satu paket narasi sebagai:

a). penolak doa bersama (didistorsikan sebagai bukti bahwa mereka ini membenci dan punya niatan untuk membunuh kafir serta tidak suka kedamaian); b). penolak pengadaan ritual tradisional yang baik dan sudah turun temurun (didistorsikan sebagai bukti bahwa mereka tidak mencintai budaya asli mereka. Mereka ini dilukiskan sebagai terlalu berkiblat pada Arab. Mereka dituding sebagai berbahaya bagi kearifan lokal); c). penganjur pada kemurnian peribadatan dan penasihat bahaya bid’ah (didistorsikan sebagai penolak segala kemodernan dan kemajuan zaman)*

  1. Perpecahan terjadi dan kemudian ‘memang muncul’ dua muka Islam: moderat dan fundamentalis. Pada fase ini umat Islam telah berhasil dipecah. Yang moderat akan punya kecenderungan untuk terus meng-compatible-kan diri dengan pencetus War on Terror sedangkan yang fundamentalis akan punya kecenderungan semakin menjaga jarak dengan ‘mereka’.

Pemilahan umat Islam menjadi dua kelompok yaitu kaum moderat dengan fundamentalis sebenarnya sebuah cara agar di dalam umat Islam terjadi saling tuding dan lalu terpecah belah. Separasi ini mengakibatkan umat Islam dibuat sibuk dengan saling membedakan mana yang se-aliran (moderat atau fundamentalis) serta di sisi lain membuat pembuktian-pembuktian bahwa Islam bukan agama yang sembarangan melakukan kekerasan kepada umat lain. Sudah menjadi sifat alami manusia yang cenderung mudah terprovokasi untuk membantah tudingan bahwa ia buruk.

Konsep moderat dan fundamentalis dalam beragama yang didoktrinkan secara halus kepada umat Islam adalah diniatkan sebagai provokasi untuk membuat umat Islam terpecah belah, sibuk menyanggah dan membantah tudingan pancingan, serta memaksa diri sebagian umat Islam untuk membuka keran permissivism selebar-lebarnya.

  1. Dunia, bukan hanya dunia Islam, bersamaan dengan peluncuran poin 1 hingga 4 dari hipotesis ini disuguhi oleh dua hal di dalam pop culture: 1). Film-film dan karya fiksi ilmiah yang menampilkan proyeksi jenis Islam yang melakukan kekerasan. Sebuah proyeksi evilisasi Islam dalam upaya membentuk keyakinan bawah sadar kolektif bahwa ‘Islam yang jahat’ memang benar-benar ada dan tidak layak dianggap sebagai saudara trans-negara yang layak dibantu oleh saudara Islam lainnya, 2). Film-film dan karya fiksi ilmiah yang menampilkan ketakutan akan akhir dunia dan hanya dapat dicegah oleh kekuatan teknologi yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Tujuan dari cangkok pikiran ini jelas, meyakinkan bahwa Amerika Serikat adalah superior dan juga menjadi satu-satunya harapan keberlangsungan bumi dan manusia sehingga tidak pas untuk tidak didukung.
Screenshot Laman Muka SItus Architects and Engineers for 9/11 Truth (Credit: ae911truth.org)

Screenshot Laman Muka SItus Architects and Engineers for 9/11 Truth (Credit: ae911truth.org)

Bagian dari Adu Domba: Penciptaan Mitos tentang Nasihat Bid’ah adalah sama dengan Takfir dan Makin Disokongkuatkannya Moderat Islam dengan Warna Lokal

Berdasar pengertian yang sederhana, takfir adalah menggelari seorang muslim sebagai keluar dari Islam karena ucapan dan atau perilakunya yang secara terang-terangan dan konsisten berseberangan dengan apa yang Al-Kitab (untuk istilah ‘Al-Kitab’ silakan rujuk ke tulisan saya yang berjudul ‘Sastra dan Hermeneutika‘ pada bagian endnote nomor 1) dan As-Sunnah ajarkan. Takfir adalah perkara yang berat dan bukan perkara yang ringan. Penggelaran takfir kepada seseorang pun harus bersandar kepada Al-Kitab dan As-Sunnah bukan dengan asal-asalan.

Telah terjadi salah kaprah yang fatal di dalam merujuk perbuatan takfir. Yang sering terjadi adalah saat seseorang menegur saudaranya yang seiman mengenai praktik bid’ah sering disalahsangkakan sebagai bentuk takfir. Ada kerancuan mengenai nasihat tentang bid’ah dengan pentakfiran. Agama adalah nasihat. Perilaku saling menasihati dalam takwa dan kebaikan adalah nature seorang muslim kepada saudaranya. Oleh sebab itulah ketika saudara kita menasihati tentang ibadah bid’ah tidak selalu dapat langsung disangkakan bahwa ia mengkafirkan kita.

Ada semacam mitos mengenai keterkaitan antara takfir, nasihat mengenai bid’ah, dan kekerasan. Nasihat mengenai bahaya bid’ah sejatinya dilakukan oleh ulama atau saudara-saudara kita dalam rangka kasih sayang dan nature untuk saling menasihati dalam kebaikan. Nasihat tentang bid’ah dalam agama memang kadang terdengar keras dan kurang mengenakkan telinga karena perkara bid’ah adalah bukan perkara yang sepele. Adakah kita pernah merenung barang sebentar saja mengapa mereka ini terkesan begitu sangar di dalam nasihat tentang bid’ah? Bukankah Muhammad saw. sudah memberikan peringatan keras mengenai bid’ah? Mereka yang menasihati tentang bahaya bid’ah sering disalahsangkakan sebagai bentuk kekakuan memahami agama. Mereka yang berbicara tentang bid’ah selalu dikaitkan dengan cerita bahwa mereka ini punya potensi untuk melakukan kekerasan. Well, tidak ada ruginya pandangan tidak pas ini dirujukkan kepada kisah Ibrahim as. dengan kapaknya.

Bid’ah adalah istilah yang ada di dalam Islam. Istilah bid’ah bukanlah istilah baru dalam Islam sebab memang jelas tersebut di dalam beberapa hadist. Bahkan Muhammad saw. kerap mengulang-ulang nasihat untuk menghindari bid’ah di dalam khotbah beliau (cf. HR Muslim No 867).

Bid’ah secara umum dapat diartikan sebagai membuat perkara baru dalam agama (cf. HR Muslim No 867, HR Bukhari No 5063, HR Muslim No 1847, HR Tirmidzi No 2677). Ketika seorang muslim mengadakan amalan baru di dalam beragama dengan dalih apapun, dapat disebut sebagai menambah perkara yang baru di dalam agama. Islam bagi orang Islam adalah agama yang lengkap. Segala amalan telah diajarkan oleh Muhammad saw. tanpa ada yang ditutup-tutupi. Bukankah amalan yang diajarkan Muhammad saw. sudah sangat banyak untuk tiap kita dapat melakukan semua amalan tersebut? Mengapa merasa lebih pintar di dalam beribadah kepada Allah dengan menambah amalan baru?

Yang lucu dari penyebar ‘kebohongan’ tentang isu bid’ah biasanya lari kepada dua hal: 1). merancukan awam antara bid’ah di dalam beribadah dengan ‘perkara baru di dalam kehidupan’, atau 2). merancukan awam dengan penafsiran liar.

Pada kasus pertama penyebar kebohongan biasanya merujuk kepada kalimat yang kurang lebih berbunyi: Apa-apa yang tidak ada di jaman nabi saw. disebut bid’ah lalu naik sepeda motor, memakai listrik, menikmati dan mensyukuri kemajuan teknologi berarti tidak boleh?

Perlu diketahui bahwa apa yang Muhammad saw. nasihatkan tentang bid’ah adalah perkara baru di dalam beragama dan bukan dalam semua hal. Jadi jikalau seorang muadzin menggunakan pengeras suara sebagai pengganti keharusan ia bersuara lantang tiap adzan maka tidaklah dapat disebut sebagai bid’ah sebagaimana kebolehan manakala kita pergi ke masjid hendak memakai motor dan bukan berjalan kaki karena rumah yang terlalu jauh untuk berjalan kaki. Namun menjadi tidak tepat, sebuah bid’ah, ketika misalnya ber-adzan dengan lafaz yang dibuat sendiri meskipun diargumenkan sebagai baik.

Implikasi dari perancuan di atas adalah penyimpulan bahwa Islam seakan-akan menolak kemajuan dan modernisasi.

Pada kasus kedua dirancukannya awam dengan penafsiran liar dari hadist tentang bid’ah hasanah. Sebenarnya pembahasan tentang bid’ah yang lebih pas dapat dirujuk kepada laman ini atau ini.

Isu bid’ah adalah isu yang menarik di dalam makin kuatnya fenomena terpecahnya umat Islam menjadi bukan hanya moderat vs. fundamentalis saja namun ‘moderat dengan warna lokal’; atau kadang distempel sebagai pembumian Islam yang disesuaikan dengan budaya setempat. Di Indonesia, isu Yasinan adalah isu utama yang menjadi penanda ‘moderat dengan warna lokal’.

Bahasan khusus tentang Yasinan, sebagai salah satu isu yang kerap menciptakan konflik frontal horizontal, argumen-argumen yang lebih lengkap dapat dirujuk pada laman ini atau ini. Di dalam isu Yasinan, secara singkat, awam dibuat rancu antara 1). Sampainya doa dan amalan sedekah kepada orang yang sudah meninggal yang seakan-akan terjustifikasi manifestasinya hanya lewat Yasinan. Cara lain yang bukan lewat ‘institusi’ Yasinan menjadi seperti ‘kurang lazim’, 2). Perintah membaca Quran yang dikait-kaitkan dengan pemilihan ‘hanya’ surah Yasin padahal tidak ada dalil yang kuat dengan pengkhususan selalu membaca surah Yasin, 3). Tidak ada dalil pengkhususan hari-hari dengan bilangan tertentu. Dalil yang disandarkan pada pendapat Jalaludin Abdurrahman As-Suyuthi beratsar ma’lul lagi dhoif,[3]  4). Larangan berkumpul-kumpul setelah pemakaman yang dibenturkan dengan argumen menghibur keluarga yang berduka, 5). Klaim ritual warisan Walisongo yang patut dipertanyakan: a. Apakah benar Walisongo mengajari demikian? b. Benarkah Walisongo mengajari demikian untuk tetap diteruskan ataukah hanya sementara dipakai sebagai sarana untuk kemudian dihilangkan secara pelan-pelan? c. Jikalau memang ada bukti-bukti kuat bahwa Walisongo mengajari demikian, apakah ide kembali kepada As-sunnah di dalam menyikapi kematian hendak dinafikan? 6). Alasan berkumpul dalam kebaikan dan sebagai sarana dakwah yang juga menyelisihi poin nomor empat, 7). Tradisi ritual khas Jawa yang patut dilestarikan versus permurnian ritual ibadah, dan 8). Isu kekakuan dalam beribadah dengan memegang As-Sunnah.

Penciptaan Mitos mengenai Istilah Kafir yang Deviatif dari Skriptur Islam

Isu lainnya adalah mengenai pemakaian istilah kafir. Kafir secara bahasa dapat dirujukkan kepada ‘ingkar, menolak, menutup’. Tidak dipahami oleh kebanyakan orang – bahkan orang Islam awam – bahwa di dalam Islam orang kafir dapat dibagi menjadi tiga golongan: kafir harbi, kafir ahlu al-‘ahd, kafir dzimmi (cf. Ibnu Qayyim). Ketiga golongan kafir ini di dalam kacamata Islam memiliki kedudukan yang berbeda-beda. Selama ini mitos yang selalu diajarkan, dan tidak fair di dalam mengutip sumber dari literatur dan sejarah Islam, adalah bahwa orang Islam diajari untuk ‘memusuhi, berperilaku ramah yang hipokrit, tidak berlaku adil, berbuat jahat, bahkan membunuhi’ orang-orang kafir.

Modus yang dipakai di dalam membuat dan mengukuhkan mitos ini adalah dengan memotong sebuah ayat dari ayat yang lain, dari konteks sebab turunnya, dari hadist yang menerangkan maknanya, dan bagaimana Muhammad saw. dan para sahabat awal – semoga rahmat Allah atas mereka – mempraktikkannya. Modus lain yang kadang dipakai di dalam pengukuhan mitos ini adalah mengutip kisah sejarah dengan membuat distorsi tentangnya. Repotnya, praktik-praktik ini dilakukan dengan kalimat-kalimat yang santun dan atau mengesankan keilmiahan sehingga kerap memukau.

Saat kita fair melongok hubungan antara umat Islam dengan umat yang bukan Islam (atau disebut dengan istilah sebagai kafir) akan kita dapati bahwa kebanyakan cerita yang beredar tentang kekejaman Islam terhadap kafir adalah mitos. Dampak fatal dari mitos ini adalah ada semacam fobia manifestasi kekerasan di dalam penggunaan istilah kafir untuk menyebut orang yang bukan Islam: mereka yang Islam sungkan memakai istilah kafir kepada non-muslim sedangkan yang non-muslim merasa terancam dengan istilah kafir.

Istilah kafir di dalam Islam merujuk kepada mereka yang bukan muslim, non-muslim. Di dalam sejarah Islam di zaman Muhammad saw. dan para sahabatnya, rahmat Allah atas mereka, muslim hidup berdampingan dengan kafir. Tidak ada yang salah dengan istilah kafir. Istilah kafir dari etimologi maupun di dalam teologi Islam merujuk kepada mereka yang menolak Islam sebagai keyakinan yang hak. Mitos yang berkembang bahwa kafir adalah sebutan orang Islam terhadap orang di luar mereka ‘yang harus dibunuh’, ‘tidak layak diperlakukan adil’, ‘serupa hewan’, ‘sudah pasti masuk neraka,’[4] dan ‘tidak memiliki hak hidup’ adalah tidak berdasar pada sumber otentik Islam (cf. tulisan Umm Zakiyyah yang berjudul ‘Kaafir, the New F-word’ memiliki perspektif yang mirip dengan apa yang saya sampaikan).

Penyematan Kesepadanan Istilah antara Jihad, Terorisme, dan Bom Bunuh Diri

Isu lain yang dilekatkan dengan Islam ‘yang buruk’ – Islam fundamentalis – adalah jihad, terorisme, dan bom bunuh diri.[5] Sudah jelas bahwa jihad adalah bagian penting dari Islam sedangkan terorisme bukan ajaran Islam jikalau kita benar-benar mempelajari ajaran Islam. Tidaklah adil untuk menganggap bahwa terorisme adalah ajaran Islam karena kebetulan ‘ada orang Islam yang melakukan terorisme’ [Bahkan secara ekstrem, temuan Trevor Aaronson bisa memberikan gambaran bagaimana national security theater yang merujuk pada ‘Muslim Terrorist Attack on American Soil’ adalah proyek internal pemerintahan Amerika Serikat yang dapat kita baca pada tulisan yang berlandaskan banyak data dengan judul “How the FBI Created A Terrorist”].**

Sama halnya juga tidak tepat jika diterapkan di dalam menuduh bahwa demokrasi mengajarkan ‘terorisme oleh negara’ karena ada beberapa negara pengusung demokrasi yang menginvasi dan atau membuat teror politik dan ekonomi terhadap negara lain karena ‘berbeda pendapat’ tentang bentuk pemerintahan yang ideal (baca: tidak memakai demokrasi sebagai sistem bernegaranya). Begitu juga merupakan hal yang ceroboh saat kita menuduh agama-agama di daerah tertentu di belahan dunia ini sebagai pengajar terorisme oleh sebab kebetulan ‘ada pemeluk agama tersebut yang melakukan terorisme’.

Kasus bom bunuh diri adalah kasus yang menarik. Ia menarik karena dari kajian bentur kebudayaan, Gayatri Spivak menyebut di dalam salah satu pidatonya sebagai perilaku sub-altern yang kian tersedak karena tidak memiliki sedikit pun kesempatan untuk berbicara mengenai ketertindasannya sedang narasi yang bertebaran malah justru menjustifikasi ‘kebenaran’ dan pembenaran pihak penindas.

Di dalam dunia Islam mayoritas ulama menyatakan pendapat bahwa bom bunuh diri di dalam melawan penindasan sebagai perbuatan yang terlarang. Perjuangan melawan penjajah, penindas, atau pembuat kejahatan harus dilakukan secara proporsional; bukan dalam konteks keputusasaan dan gegabah serta memahami mana daerah damai dan mana daerah di mana peperangan terjadi.

Patut pula ditambahkan bahwa bom bunuh diri merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di dunia Islam. Di beberapa negara, bom bunuh diri juga dilakukan oleh pemeluk agama lain, juga sebagai cermin dari keputusasaan. Berdasar hal-hal ini maka mengatakan bahwa bom bunuh diri adalah ciri khas ajaran Islam adalah blunder pembuatan kesimpulan.

Penyempitan Definisi Jihad – Perancuan Makna Jihad

Awam sering dibuat bingung dengan istilah jihad. Kebingungan disebarkan dengan membedakan bahwa Islam yang baik adalah yang tahu bahwa jihad hanyalah melawan hawa nafsu sedangkan Islam yang salah –yang radikal– adalah yang memaknai jihad sebagai mengangkat senjata ketika ditindas.[6] Beberapa endorser inferioritas jihad sebagai suatu istilah yang melingkupi angkat senjata berperang membela penindasan dirancukan lewat penggaungan terus menerus sebuah penyempitan makna jihad hanya sebagai melawan hawa nafsu.

Di sisi lain, karena istilah jihad disempitkan maknanya menjadi perang melawan hawa nafsu saja lewat endorser-endorser terpilih maka jihad yang termasuk membela diri dengan mengangkat senjata menjadi sesuatu yang tabu untuk diceritakan ke publik awam. Endorser-endorser mau ikut mengkampanyekan narasi itu bisa karena uang dan atau bisa karena dicekoki dengan ketakutan bahwa jikalau istilah jihad ditautkan juga dengan aktivitas mengangkat senjata maka Islam akan disamakan dengan mengajarkan kekerasan.

Narasi model ini yang diceritakan terus-menerus lewat media massa akan membuat umat Islam awam meredefinisi istilah jihad. Mereka memberi arti baru –yang sempit- bahwa mengangkat senjata ketika ditindas bukanlah sesuatu yang terkait dengan jihad. Ini terbentuk oleh dua hal: endorser-endorser narasi yang merupakan ulama yang su‘ atau ulama baik yang terlalu moderat seolah-olah yang mengajarkan suatu definisi bahwa jihad tidak bisa dilakukan dengan angkat senjata meskipun dalam kondisi tertindas. Indoktrinasi bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu yang telah membuat umat Islam merasa sudah ‘benar’ karena mendahulukan jihad yang paling besar: melawan hawa nafsu dan merasa ‘salah’ jika ada pikiran bahwa membela diri dengan mengangkat senjata adalah jihad.

Ketakutan menampilkan definisi jihad secara utuh adalah fenomena yang relevan dengan bahasan Gayatri Spivak mengenai bagaimana sati di dalam budaya Hindu India menjadi nampak buruk dan akhirnya menghilang dari praktik ritual. Umat Islam bisa suatu ketika pada titik nadir kehilangan kepastian definisi istilah jihad, konteks aplikasinya, dan urgensinya di dalam kelindannya terhadap pengakuan keimanan.

Upacara sati yang merupakan salah satu praktik ritual di dalam agama Hindu India, saat itu dalam bedah Spivak, disebut-sebut kolonial Inggris sebagai tidak beradab. Sati diajarkan kepada rakyat pribumi saat itu oleh pemerintah kolonial Inggris sebagai sesuatu yang harus dihindari karena mengejarkan kekerasan, kebrutalan. Pelabelan ini dilakukan secara besar-besaran dan berkelanjutan sehingga menciptakan keyakinan pada masayarakat Hindu India bahwa sati adalah benar-benar buruk dan kemudian meninggalkan praktik ritual tersebut.

Sebenarnya jika ditelisik lebih dalam, sati adalah identitas kehinduan India. Praktik ritual ini adalah salah satu bagian dari Hindu India sehingga indoktrinasi –yang kemudian berhasil– bahwa sati adalah sesuatu yang buruk. Saat itulah timbul rasa inferioritas budaya dalam diri orang Hindu India terhadap budaya kolonial Inggris. Rasa inferioritas ini menyebabkan makin mudahlah kolonial Inggris mencekoki ajaran mengenai keunggulan budaya Inggris. Dan dari situlah Inggris berhasil menjajah India secara lama.

Jihad secara istilah sebenarnya berarti “bersungguh-sungguh mencapai sesuatu yang Allah cintai berupa iman dan amal sholeh dan menolak sesuatu yang dibenci Allah berupa kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan”.[7] Jihad tidak pernah diartikan bahwa yang paling utama adalah ‘menahan hawa nafsu’. Pernyataan ‘jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu’ ini seakan-akan kadang meremehkan bentuk jihad lain yaitu mengangkat senjata ketika penindasan dilakukan atas orang beriman.[8]

Perlu diketahui bahwa hadist yang dipakai untuk membuat kesimpulan bahwa ‘jihad melawan hawa nafsu sebagai jihad terbesar‘ sebenarnya bersandar pada hadist lemah.[9] Hadist ini lemah oleh sebab terdapat perawi yang bernama Yahya bin Ya’la Al-Aslami Al-Kufi dan Laith bin Abi Sulaim. Pun meski demikian, informasi ini jangan diartikan bahwa ‘melawan hawa nafsu’ bukan bagian dari jihad sebab ada hadist lain yang menyatakan bahwa melawan hawa nafsu juga bagian dari jihad.[10] Yang menjadi kurang pas adalah bila meyakini jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu dan jihad dalam bentuk lain kalah utama dari melawan hawa nafsu.

Ada yang salah jika terjebak dengan keyakinan bahwa jihad adalah hanya melawan hawa nafsu dan menghindari pemakaian istilah jihad ketika berjuang dengan angkat senjata di dalam membela diri dan agama yang diyakini. Usaha mengerucutkan jihad kepada urusan hawa nafsu saja sehingga kemudian timbul ‘keyakinan’ di dalam pikiran awam mengenai definisi itu adalah bagian dari memencilkan suatu ajaran yang jelas ada dasarnya di dalam skriptur dan membuat awam menafikan ajaran yang resmi ada di dalam agama yang diyakininya. Kalau sudah demikian bolehlah disebut sudah merasa inferior dengan istilah ‘jihad’ dan mungkin bisa merembet kepada istilah-istilah lain. Perasaan inferior pada praktik keberagamaan lewat pembingungan istilah dan ajaran adalah jalan bagi mudahnya dipecah-belah dan ditakhlukkan, serupa kisah sati.

Kontemplasi

Malam itu, seperti biasa, saya mendapati televisi – saat dilakukan secara masif dan kolosal – potensial untuk dapat mencekoki awam dengan pemikiran atau keyakinan apapun.

Bagaimana jika televisi sebagai alat dakwah kapitalisme terus menerus dipakai dan berhasil mendikte awam mengenai ‘cara yang benar’ dalam memahami dan menjalankan perintah agama lewat ulama-ulama su’? Jika demikian terjadi bukankah ancaman tercabutnya ilmu agama pelan-pelan menjadi nyata?

Ah, mungkin memang benar. Ulama-ulama yang baik dan tinggi ilmunya kurang laku di televisi karena tidak pandai membuat senda gurau dan main-main, tidak pandai bernyanyi, tidak mengajarkan ‘semua’ pelestarian ritual budaya, tidak bisa joget, tidak fasih berbahasa Inggris, tidak memakai gadget canggih, tidak berpenampilan gaul, dan tidak dapat melakukan hipnotis. Mereka tidak suka bermain-main dalam menyampaikan sesuatu. Mereka kurang memiliki nilai jual, kurang atraktif.

Ataukah bukan itu saja?

Bercermin dari apa yang telah tersampaikan di atas, ulama-ulama yang baik dan tinggi ilmunya ini tidak  laku di televisi karena tidak menguntungkan  bagi teror penciptaan perasaan inferior – tidak kooperatif, tidak bisa mengikuti narasi redefinisi Islam, tidak dapat membuat Islam yang mampu berintegrasi dengan kapitalisme dan budaya Barat yang ‘superior’, tidak dapat meng-compatible-kan Islam dengan kebutuhan permisif pada semua hal. Dengan kata lain, mereka memang tidak ‘berguna’ bagi usaha penancapan hegemoni ideologi dalam doktrinasi massal awam lewat televisi.

Lalu bagaimana jika kita, karena terbiasa terpapar televisi, menjadi terlena kepada pembodohan yang dikemas secara atraktif dan lalu menyingkiri kebenaran yang membuat panas telinga?

Apakah kemudian ulama-ulama yang baik dan tinggi ilmunya akan makin memencil, teralienasi, menjadi al-ghuroba’, menjadi sub-altern that cannot speak sehingga kita tidak mempunyai lagi akses kepada mereka dan kita juga tidak memiliki lagi saluran yang mampu mendistribusikan, mewartakan, membagikan nasihat dan pemikiran mereka? Bukankah pada keadaan seperti ini umat Islam seperti dibodohi dengan buaian atraksi permainan narasi dan lelucon-lelucon yang membuat kita ikut tertawa atas kebodohan yang tidak mau segera disadari?

================================

Endnotes

[1] Si Penceramah benar hanya pada bagian “salah karena mengekor budaya Arab”. Mempraktikkan Islam bukanlah mempraktikkan semua hal yang ada di Arab. Jikapun banyak hal di kawasan Arab sudah terislamisasikan bukan berarti semua hal yang ada di Arab adalah bagian dari Islam. Silakan bandingkan dengan salah kaprah mengenai Islam dianggap sama dengan Arab di dalam tulisan ini.

[2] Tidak hanya banyak kejanggalan di dalam versi resmi (official story) peristiwa tersebut namun juga jargon-jargon War on Terror malah menjadi alat justifikasi menindas [negara-negara] muslim.

Mengenai gugatan ini silakan misalnya baca tulisan dari Junaid Rana (Associate Professor dalam Kajian Asian American dari Universitas Illinois, Urbana Champaign) yang berjudul “Palestine, Blackness, and the Complexity of Racism” lewat link berikut ini untuk menambah pemahaman mengenai bagaimana jargon War on Terror adalah propaganda terselubung di dalam menekan Islam: http://www.theislamicmonthly.com/the-challenge-of-decolonization/

[3] Justru yang menarik dari fenomena Yasinan adalah mengenai darimana angka-angka jumlah hari di dalam suasana duka keluarga yang ditinggalkan dirujuk. Jika dugaan beberapa orang bahwa angka-angka hari yang dipakai sebagai patokan berkumpul para tetangga di rumah keluarga yang berduka adalah dari tradisi Hindu maka bisa jadi benar. Perlu diingat bahwa sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, budaya Hindu sudah sangat kuat berakar.

Prosesi ritual duka di dalam tradisi Hindu (cf. Sourabh Gupta. 20 Mei 2009. “Hindu Death Rituals”Hinduism Today. Januari/Februari/Maret 2007. “Death and Dying”; Vasudha Narayanan. Februari 2003. “Hindu Rituals for Death and Grief”) dapat disarikan beberapa hal yang masih terdapati jejak tradisi Hindu di penduduk Jawa ketika menghadapi kematian adalah sebagai berikut:

  1. Keluarga duka tidak boleh memasak makanan kecuali jenazah sudah selesai dikremasi (dikubur)
  2. Tempat di mana yang bersangkutan meninggal, dipasangi lampu teplok / lilin untuk memberi penerangan pemandu perjalanan arwah dan juga disediakan semangkok air untuk memberi kesegaran bagi perjalanan arwah.
  3. Semua cermin di dalam rumah duka ditangkupkan atau ditutupi.
  4. Pada hari ke-3, 5, 7, 9 dan setahun setelah kematian diadakan acara berkumpul makan dan mengenang orang yang meninggal di rumah keluarga duka.

Pada tradisi Islam, tulisan Abu Al-Jauzaa’ yang berjudul “Atsar Thaawuus tentang Anjuran Tahlilan 7 Hari Berturut-turut” dapat menambah referensi terkait duduk perkara ini.

[4] Di dalam Islam, masuk surga atau nerakanya seseorang adalah hak mutlak Allah. Sebagaimana tersebut di dalam hadist berikut ini:

Dari Abi Abdirrahman Abdillah bin Mas’ud radiallahu’anhu, beliau berkata: Kami diberitahu oleh Rasulullah dan beliau adalah orang yang juur lagi terpercaya – Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya telah disempurnakan penciptaan salah seorang dari kalian dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk sperma, kemudian dia menjadi segumpal darah selama itu pula, kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula, kemudian Allah mengutus kepadanya malaikat, kemudian ditiupkan ruh kepadanya, lalu malaikat tersebut diperintahkan untuk menulis empat perkara; untuk menulis rizkinya, ajalnya dan amalannya dan nasibnya (setelah mati) apakah dia celaka atau bahagia. Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Dia. Sesungguhnya salah seorang dari kalian benar-benar beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya satu hasta, lalu dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga dia memasukinya. Dan salah seorang di antara kalian benar-benar beramal dengan amalan ahli neraka, hingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya sehasta, lalu dia didahului oleh catatan takdirnya, sehingga dia beramal dengan amalan ahli surga hingga dia memasukinya. (HR Bukhari dan Muslim. Shahih dikeluarkan oleh Al Bukhari di dalam [Bid’ul Khalqi/3208/Fath]. Muslim di dalam [Al Qadar/2463/Abdul Baqi]).

[5] Perjuangan melawan musuh dan atau penindasan dengan bom bunuh diri secara jumhur (mayoritas ulama) adalah haram (dilarang). Fenomena bom bunuh diri sebagai perlawanan melawan penindasan sendiri juga terjadi pada beberapa perjuangan yang dilakukan oleh pihak yang persenjataannya kalah jauh melawan musuh yang persenjataannya lengkap dan canggih DAN tidak selalu melulu terkait dengan ‘keyakinan seseorang bakal masuk surga jika demikian dilakukan’.

Simplifikasi pandangan bahwa semua motif bom bunuh diri adalah ‘dilandasi keyakinan yang diajarkan di dalam agama tertentu dengan ganjaran dunia akhirat yang demikian dan demikian’ justru melupakan banyak faktor lainnya sebagai pendorong dan faktor lainnya sebagai penyanggah.

Faktor pendorong adalah misalnya keputusasaan dalam perjuangan melawan penindasan atau bisa juga karena dendam personal. Faktor penyanggah adanya keterkaitan bom bunuh diri yang seolah-olah selalu dikaitkan dengan ajaran suatau agama –dalam konteks ini adalah Islam– adalah misalnya bagaimana secara mayoritas pendapat ulama Islam bahwa bom bunuh diri adalah terlarang.

Sebagai tambahan, aksi bunuh diri di dalam perjuangan juga dilakukan oleh ‘individu yang beragama selain Islam.’ Sehingga menjadi salah kaprah jika sudah teracuni narasi media massa bahwa aksi bom bunuh diri adalah identik dengan [ajaran] Islam.

[6] Mengangkat senjata ketika ditindas bisa dibaca sebagai berjuang dengan harta, jiwa (fisik), lisan (tegur, nasehat) di dalam menegakkan kalimat tauhid.

[7] Ibnu Taimiyah dalam Kholid Syamhudi. 21 Juli 2010. “Memahami Arti Jihad”. Web. Diakses 18 September dari:

http://muslim.or.id/manhaj/memahami-arti-jihad.html

[8] Ibid.

[9] Abu Umair. Tanpa tanggal. “02-020 : Hadis Sebaik-baik Jihad Ialah Jihad Nafsu”. Web. Diakses 18 September 2014 dari:

http://abuumair.com/soal-jawab/al-quran-dan-hadis/02-020/

Dalam hadis Jabir, sekumpulan sahabat pulang dari satu peperangan, lalu Nabi SAW bersabada: Kamu pulang dari jihad kecil kepada jihad yg lebih besar, iaitu: Mujahadah seseorang hamba terhadap nafsunya (HR: Dailami, dan dinilai DHAIF oleh muhadditheen dan muhaqqiqeen. Silsilah Dhaifah 5/478).

[10] Ibid. “Orang yang berjihad ialah orang yang melawan nafsunya” HR Tirmizi (no: 1621). Hadis Hasan Sahih.

* Untuk diskusi (debat) mengenai ini silakan rujuk pada video di YouTube ini dan tulisan Ustad Firanda Andirja.

** Untuk presentasi Trevor Aaronson, dapat disimak pada video Ted berikut ini.

Creative Commons License
Pembodohan yang Atraktif by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License.

Sastra dan Kajian Poskolonial

Sebelum eksplorasi isu sastra dan kajian poskolonial dimulai, ada baiknya dipahami dulu penyulut isu kajian poskolonial di dalam sastra dan pemikiran modern. Pemahaman ini akan lebih memudahkan kita untuk memahami duduk perkara sebenarnya dan bagaimana mengaplikasikannya di dalam ranah sastra.

Kajian poskolonialisme dapatlah dianggap dimulai ketika terjadi fajar budi di tiga benua (Afrika, Asia, dan Amerika Latin) sebagai bentuk kulminasi pengalaman akan penindasan dan perjuangan terhadap kolonialisme (Young, 2001: 383-426). Kajian poskolonialisme bukanlah suatu bentuk genderang perang terhadap apa yang terjadi di masa lalu, namun suatu bentuk perjuangan terhadap realitas kekinian yang masih terjajah oleh bentuk neo-kolonialisme selepas kemerdekaan dicapai (Rukundwa dan Aarde, 2007: 1175).

Bentuk perlawanan terhadap kolonialisme tidaklah berhenti setelah kemerdekaan dicapai namun juga harus tetap diteruskan ketika disadari bahwa kolonialisme tidak hanya “telah” menjajah secara fisik, namun imbas penjajahan sebenarnya juga sudah merasuk ke dalam pikiran bawah sadar (Nandy, 1983: 63) dan ini yang diabaikan oleh negara-negara yang telah merdeka. Justru yang sering terjadi adalah bagaimana penduduk dari negara-negara yang telah merdeka melupakan identitas mereka dan juga menganggap diri mereka sebagai inferior di hadapan bekas penjajah. Masalah inferioritas muncul karena di dalam alam pikiran bawah sadar negara bekas terjajah masih tersimpan ingatan kekalahan terhadap negara bekas penjajah dan kegamangan akan identitas diri yang belum tertemukan. Penduduk dari negara-negara yang telah merdeka lupa menyadari bahwa inferioritas yang mereka alami dapat disembuhkan lewat proses reidentifikasi.

Proses reidentifikasi diri memerlukan suatu proses pencarian identitas. Yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa isu nasionalisme yang kerap dikedepankan di dalam pencarian identitas menjadi sesuatu yang absurd ketika disadari bahwa nasionalisme yang disemai dari batas wilayah kebangsaan adalah  merupakan konstruk struktur buah karya bekas penjajah (bdk. Young, 2001: 59 dengan Rukundwa dan Aarde, 2007: 1189). Ada kecanggungan yang kentara ketika usaha pencarian identitas dalam rangka reidentifikasi diri terbentur oleh kenyataan sejarah bahwa identitas negara yang merdeka berbeda dengan identitas suku yang tergabung di dalamnya. Masalah menjadi bertambah ketika disadari bahwa nasionalisme di dalam beberapa aspek sungguh berbeda dengan tribalisme.

Istilah poskolonialisme menjadi suatu bentuk kajian sastra yang serius muncul pertama kali ketika Bill Ashcroft dkk. di dalam buku, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-Colonial Literatures (1989), menggunakan istilah tersebut untuk menggantikan istilah sebelumnya untuk merujuk sastra di negara bekas jajahan eropa: sastra third world atau sastra daerah commonwealth (Bahri, 1996). Namun meskipun demikian, sebenarnya kajian poskolonialisme sebagai sebuah studi yang serius dapatlah dikatakan mulai hangat ketika Edward Said menerbitkan buku yang berjudul Orientalism di tahun 1978 (Bahri, 1996).

Sebagai sebuah istilah, poskolonialisme adalah “a collection of theoretical and critical strategies used to examine the culture (literature, politics, history, and so forth) of former colonies of the European empires, and their relation to the rest of the world” (Makaryk, 1993: 155). Meskipun demikian, jika istilah kajian poskolonialisme untuk merujuk kepada usaha perlawanan terhadap neokolonialisme digunakan istilah yang Edward Said sebut sebagai orientalisme maka justru akan lebih jelas definisinya. Said mengatakan bahwa orientalisme adalah “fundamentally a political doctrine willed over the Orient because the Orient was weaker than the West, which elided the Orient’s difference with its weakness….As a cultural apparatus Orientalism is all aggression, activity, judgment, will-to-truth, and knowledge” (1978: 204).

Contoh yang diberikan oleh Edward Said lewat tulisannya Devil Theory of Islam (2000) mengenai penciptaan imaji “keburukan Islam” oleh Judith Miller adalah salah satu bentuk kerja orientalisme di dalam melabeli sesuatu yang datang dari Timur sebagai buruk dan jahat dus mengarahkan orang-orang bekas terjajah, atau orang-orang Timur, untuk mempercayai pola pikir yang dijejalkan tersebut. Edward Said (2000) mengkritik tulisan Judith Miller yang memanipulasi cara berpikir kepada negara-negara bekas terjajah mengenai “keburukan Islam” lewat demonisasi dan dehumanisasi. Menurut Said, tindakan demikian justru malah akan membuat orang-orang Timur pemeluk Islam sebagai objek pesakitan yang posisinya menjadi tidak sepadan untuk diajak dialog untuk perdamaian. Said juga menunjukkan bahwa pelabelan ini justru membuat orang-orang Timur terpecah di dalam diskursus pembelaan akan Islam, dan bagi sebagian orang-orang Timur lainnya, diskursus deradikalisasi Islam. Pengkondisian demikian, yang memang disengaja, akan membuat negara-negara bekas terjajah (yang memiliki warga negara pemeluk Islam) menjadi stagnan kemajuan karena sibuk dengan diskursus yang disulut oleh tulisan orientalis dan ini merupakan bentuk neokolonialisme baru.

Tokoh lain yang terkenal di dalam gerakan poskolonialisme selain Edward Said adalah Gayatri Spivak. Gayatri Spivak memperoleh ketenaran di kancah kajian poskolonial lewat esainya Can the Subaltern Speak? (Maggio, 2007: 419). Di dalam esainya tersebut, Spivak mempertanyakan definisi “subjek” sebagai Colonial (atau Barat) dan budaya lain sebagai “the other” (bdk. Maggio, 2007). Spivak memakai strategi Marx dan Derrida di dalam gugatannya tentang definisi “subjek-the other” (Maggio, 2007: 421). Spivak, menurut Maggio (Maggio, 2007: 424), dapat dikatakan berapi-api menuding namun pesimis mengenai proyek perlawanan poskolonial karena Barat sudah [terlanjur] terdefinisi sebagai sesuatu yang sudah jadi, ada di sana, ketika dibenturkan dengan The Other. Contoh yang diberikan Spivak adalah mengenai ritual sati India. Ia mengajukan pertanyaan: “What did sati say?” (dalam Maggio, 2007: 424).  Spivak merujuk sebuah “kenyataan yang dijejalkan” kepada masyarakat “primitif” India oleh penjajah “beradab” Inggris bahwa sati adalah ritual yang dikaitkan dengan crime atau kejahatan dan bukan sebagaimana seharusnya ditafsirkan: sebuah bentuk martirdom di dalam ajaran Hindu (Maggio, 2007: 425).

Lalu jika hendak mengaitkan sastra dengan kajian poskolonialisme, apa sajakah isu-isu yang dapat dimunculkan ke permukaan? Sebagaimana Bahri (1996) menjabarkan beberapa isu yang dapat dikaji di dalam kajian poskolonialisme sebagaimana berikut ini:

  • Bagaimana pengalaman kolonisasi (atau penjajahan) memiliki pengaruh terhadap orang-orang terjajah dan juga kepada para penjajah (colonizer)?
  • Bagaimana para penjajah dapat menguasai negara yang terjajah? Dengan cara apakah para penjajah melakukannya?
  • Jejak atau bukti apakah yang dapat ditemukan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berbau kolonial yang masih tersisa atau nampak di negara atau masyarakat poskolonial (bekas terjajah)?
  • Bagaimanakah efek jejak kolonialisme berpengaruh di dalam pembangunan dan modernisasi negara poskolonial?
  • Apa sajakah bentuk perlawanan terhadap pengaruh atau kontrol kolonial?
  • Bagaimanakah pendidikan dan bahasa kolonial berpengaruh terhadap budaya dan identitas negara atau masyarakat terjajah?
  • Bagaimanakah ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu medis Barat mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan yang ada? [atau Bagaimanakah ilmu pengetahuan, teknologi, dan ilmu medis Barat mempengaruhi sistem ilmu pengetahuan yang sudah ada?]
  • Bagaimanakah manifestasi identitas poskolonial setelah para penjajah berhasil terusir?
  • Sampai sejauh manakah dekolonisasi (sebuah rekonstruksi yang bebas dari pengaruh kolonial) sudah bisa terwujud?
  • Apakah doktrinasi Barat mengenai isu hibriditas di dalam masyarakat poskolonial cukup berhasil?
  • Apakah masyarakat poskolonial memandang sebuah urgensi bahwa isu psokolonialisme adalah mengembalikan keadaan ke masa pra-kolonial?
  • Bagaimanakah jender, ras, dan kelas sosial berfungsi atau memainkan perannya di dalam wacana kolonial dan poskolonial?
  • Apakah bentuk baru imperialisme menggantikan kolonialisme lama di suatu negara atau masyarakat poskolonial? Bagaimana bentuk dan cara kerjanya?

maka penerapannya di dalam analisis karya sastra adalah dengan menganalisis suatu karya menggunakan isu-isu tersebut. Bahri (1996) sendiri menambahkan beberapa isu tambahan yang bisa diikatkan langsung di dalam analisis karya sastra sebagaimana berikut ini:

  • Apakah ada sebuah urgensi bagi penulis untuk menggunakan bahasa kolonial agar dapat mencapai pembaca yang lebih luas ataukah ia hanya “boleh” memakai bahasa asli masyarakat poskolonial (colonial language vs. native language)
  • Penulis atau pengarang yang mana sajakah yang dapat dikategorikan ke dalam kanon poskolonial?
  • Bagaimanakah teks yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa non kolonial akan dapat memperkaya isu poskolonial?
  • Sudahkah “banjir” novel poskolonial mengarahkan kepada genre baru yang lain dari genre yang sudah mapan di dalam suatu masyarakat poskolonial?

serta dapat juga ditambahkan bahwa kajian poskolonialisme di dalam sastra dapat berfokus kepada tiga hal: hibriditas[i], sinkretisasi[ii], dan pastiche[iii] (bdk. Bahri, 1996) atau malah suatu bentuk kajian karya kolonialis (penjajah)[iv] (Lye, 2008).

REFERENSI

Bahri, Deepika. 1996. Introduction to Postcolonial Studies. Diakses 24 Mei 2012, pukul 10:00 a.m. (GMT +7) dari:

http://www.english.emory.edu/Bahri/Intro.html

Lye, John. 30 April 2008. Some Issues in Postcolonial Theory (©1998; 1997). Diakses 24 Mei 2012, pukul 12:07 p.m. (GMT +7) dari:

http://www.brocku.ca/english/courses/4F70/postcol.php

Maggio, J. 2007. ““Can the Subaltern Be Heard?”: Political Theory, Translation, Representation, and Gayatri Chakravorty Spivak”, Alternatives 32 (2007), 419-443.

Makaryk, I.R. (ed.). 1993. Encyclopedia of Contemporary Literary Theory: Approaches, Scholars, Terms. Toronto: University of Toronto Press.

Nandy, A. 1983. Intimate Enemy: Loss and Recovery of Self Under Colonialism. Delhi: Oxford University Press.

Rukundwa, L.S. dan Andries G. van Aarde. 2007. “The Formation of Postcolonial Theory”, Hervormde Teologiese Studies, 63(3). hlm. 1171-1194.

Said, Edward. 1978. Orientalism. New York: Vintage Books.

Said, Edward. 25 Juli 2000 (12 Agustus 1996). A Devil Theory of Islam. Diakses tanggal 24 Mei 2012 pukul 11:01 a.m. (GMT+7) dari:

http://www.thenation.com/article/devil-theory-islam

Young, R.J.C. 2001. Postcolonialism: A Historical Introduction. London: Blackwell.

 

Creative Commons License
Sastra dan Kajian Poskolonial by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.


[i] Suatu konsep yang penting di dalam kajian poskolonial, merujuk kepada intregasi simbol dan praktik kultural yang dimiliki penjajah dengan yang dijajah. Hibriditas dapat disebut sebagai bentuk dinamisme budaya yang memperkaya kedua budaya yang terlibat namun juga dapat dilihat sebagai bentuk opresivitas budaya penjajah (Lye, 2008).

[ii] Suatu bentuk pencampuran budaya, praktik, gaya dan atau tema karya sastra bekas penjajah dengan bekas jajahan.

[iii] Suatu bentuk usaha meniru karya penjajah oleh bekas jajahan.

[iv] colonialist literature: karya sastra yang ditulis oleh seorang penjajah dan ditulisnya pada saat ia berada di daerah jajahan dengan menggunakan home country sebagai rujukan standar dan kadang kala juga sebagai audience dari karyanya (Lye, 2008)

Siapa Pemilik Sah Tanah Palestina?

Terjemah bebas dan komentar lewat catatan kaki dari tulisan Thomas Williamson berjudul “Who Really Owns the Land of Palestine?[1]” yang teks aslinya bisa diakses di:[2]

http://thomaswilliamson.net/who_owns_the_land.htm

_______________________________________

Sebuah artikel berjudul “Who Owns the Land?” yang muncul di terbitan Sword of the Lord bertanggal 30 Agustus 2002 dan juga di beberapa terbitan internasional lainnya menyuguhkan pernyataan menarik: “… the Jewish National Fund mulai mengumpulkan uang untuk membeli tanah di Palestina demi kepentingan penempatan bangsa Yahudi, besar pembelian tanah tersebut adalah 92% dari wilayah Israel sebagaimana kita lihat sekarang ini.” 

Angka 92% sendiri sungguh berbeda dari angka-angka persentase tanah terbeli yang diakui secara umum dan terdokumentasikan yang menyatakan bahwa pada saat pendirian negara Israel pada tahun 1948, Yahudi hanya membeli sekitar 6% hingga 7% luas wilayah dari negara Israel sekarang (pada masa sebelum Batas Wilayah 1967).

Saya[3] telah dua kali meminta penjelasan mengenai angka 92% Tanah Negara Israel yang diperoleh lewat pembelian kepada penulis “Who Owns the Land?” namun tidak memperoleh balasan.

Sementara itu pula, saya juga telah mengunjungi situs resmi The Jewish National Fund, www.unitedjerusalem.com, sebuah situs Yahudi, pro-Israel, dan pro-Zionist. Situs ini menyatakan bahwa The Jewish National Fund membeli [hanya] 375.000 acre tanah pada saat pendirian negara Israel pada tahun 1948. Jadi berdasar hitungan, luas tanah yang dikuasai oleh negara Israel lewat pembelian kepada bangsa Arab sebelum Batas Wilayah 1967 yang seluas 7.992 mil persegi jika dipersentasekan hanya sebesar 7.33% dan bukan 92%.

Hitungan tentang persentase tanah yang dibeli dari orang Arab berdasar sumber lain juga menyatakan bahwa besarannya sekitar 6-7%. Artikel berjudul “The Jewsih National Fund Land Purchase Methods and Priorities, 1924-1939” tulisan Kenneth W. Stein menyatakan bahwa: “hingga Mei 1948, Yahudi memiliki kurang lebih 2.000.000 dari total 26.000.000 dunam tanah yang ditinggali dan dimiliki bangsa Palestina”. Angka ini berarti sekitar 7.69%, dan bukan 92%.

Jack Bernstein di dalam “The Life of an American Jew in Racist-Marxist Israel” mengatakan bahwa “hingga 1920, bangsa Yahudi hanya memiliki 2% dari wilayah Palestina. Kemudian pada tahun 1948 saat bangsa Yahudi mendirikan negara Israel, mereka mencaplok wilayah Palestina dalam rangka memperluas wilayah yang dimilikinya, dan itupun secara persentase masih di bawah angka 6% dari total wilayah yang dimiliki bangsa Palestina.”

Disappearing Palestine - Palestina yang Menyusut dan Kian Menghilang (credit: Australian Friends of Palestine Association)

Disappearing Palestine – Palestina yang Menyusut dan Kian Menghilang (credit: Australian Friends of Palestine Association)

Booklet berjudul “Origin of the Palestine-Israel Conflict” yang diterbitkan oleh Jews for Justice in the Middle East menyatakan bahwa “di tahun 1948, saat Israel berdiri sebagai sebuah negara, hanya memiliki tanah sah sebesar 6% lebih sedikit dari seluruh wilayah Palestina.”

Robin Miller di dalam “The Expulsion of the Palestinians 1947-1948” mengatakan bahwa “sebelum 1948, bangsa Yahudi hanya memiliki 1,5 juta dari total 26 juta dunam tanah di Palestina … setelah kegiatan pencaplokan tanah dari bangsa Palestina, Israel memiliki wilayah 20 juta dunam, suatu angka yang luar biasa, dari 6% menjadi 77% dari total wilayah awal. Bangsa Yahudi benar-benar berhasil mengambil alih sebuah negara dari bangsa lain”.

Nampaknya banyak umat Kristiani yang didoktrin untuk mendukung klaim bangsa Yahudi atas tanah bangsa Palestina, berdasarkan argumen bahwa 92% tanah Israel adalah hasil pembelian dari bangsa Palestina. Angka 92% sebagaimana dikoarkan lewat tulisan “Who Owns the Land?” adalah jauh berbeda dibanding dengan angka yang dikeluarkan oleh The Jewish National Fund yaitu hanya sebesar 7.33% tanah dibeli dari bangsa Palestina pada saat pendirian negara Israel di tahun 1948.

Siapa saja yang membaca artikel ini dan lalu dapat membuktikan kevalidan angka 92% sebagai besar persentase tanah Israel yang benar-benar dibeli dari bangsa Palestina dapat memprotes saya lewat situs saya, dus dengan demikian akan juga membuktikan bahwa angka 7.33% tanah pembelian dari bangsa Palestina bersumber dari The Jewish National Fund adalah salah.

Beberapa orang mungkin akan berkata bahwa tidaklah menjadi persoalan berapa persen sebenarnya tanah bangsa Palestina yang dibeli oleh bangsa Yahudi pada saat pendirian negara Israel, sebab Tuhan sudah memberikan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi sehingga menjadi hak bangsa Yahudi-lah untuk merampas dari tangan bangsa Arab [Palestina] bahkan tanpa harus membelinya.

Akan tetapi, tidak ada dasar di dalam skriptur akan argumen ini. Ibrahim dan Daud [p.b.u.t.], meskipun mereka Yahudi, membayar dengan harga yang adil atas tanah yang mereka beli dari Ephron the Hittite (Ktb. Kejadian 23:16) dan dari Ornan the Jebusite (2 Samuel 24:21-24, 1 Tawarikh 21:22-25).

Paulus, saat ditanya keuntungan menjadi orang Yahudi apa, ia menjawab: “Banyak, namun yang paling utama adalah, kepada bangsa Yahudi-lah diberikan perintah-perintah Tuhan,” (Roma 3:2). Paulus tidak menyebutkan perampasan tanah milik orang lain sebagai keuntungan menjadi bangsa Yahudi; justru ia mengatakan bahwa keuntungan menjadi bangsa Yahudi adalah kepada mereka-lah perintah-perintah Tuhan diberikan. Perlu dicatat bahwa salah satu perintah Tuhan adalah: “Tidak boleh mencuri dari orang lain”. Tidak ada dasar di dalam skriptur untuk menyelisihi perintah yang sudah jelas ini.

Beberapa orang mungkin akan mengatakan bahwa kita[4] diwajibkan untuk mendukung berdirinya negara Israel bagaimanapun dan apapun caranya berdasarkan rujukan kepada ayat-ayat di Perjanjian Lama yang berisi janji dan restu Tuhan terhadap negara teokratis Israel. Bahkan para pengkhotbah yang meyakini bahwa Perjanjian Lama tidak berlaku lagi, dan para pengkhotbah yang sudah tidak memakai 10 Perintah Tuhan dan kewajiban donasi untuk Tuhan dari sebagian penghasilan, secara aneh tetap memakai Perjanjian Lama ketika berbicara tentang pendirian negara Israel di dunia modern. Para pengkhotbah tersebut tidak pernah mengutip ayat-ayat di Perjanjian Baru mengenai justifikasi pembelaan pendirian negara Israel di dunia modern karena memang tidak ada ayat di Perjanjian Baru yang berbicara tentang itu.

Dapatkah kita menafsirkan pernyataan Tuhan di dalam Perjanjian Lama mengenai janji dan restu Tuhan terhadap Israel kuno, untuk diterapkan lewat tafsir yang berisi dukungan sepenuh kepada berdirinya Israel di dunia modern? Jawabannya adalah: Tidak. Kecuali kita juga secara adil memakai logika yang sama terhadap tafsir skriptur mengenai janji dan restu Tuhan kepada bangsa Arab.

Sebagai contoh, di dalam Yesaya 19:25 terdapat ayat: “Dan kepada mereka, Tuhan berkata, diberkatilah bangsa Mesir”. Berdasar ayat ini, tidakkah kita seharusnya membantu bangsa Mesir dengan sepenuh sebagaimana kita membela dan menjustifikasi tindak-tanduk bangsa Israel? Lalu di manakah kumpulan aktivis pembela bangsa Mesir yang melakukan perjalanan ke Mesir dan lalu membantu “perampasan” tanah sehingga semua dimiliki bangsa Mesir?

Kemudian di dalam Kitab Kejadian 21:18, Tuhan menjanjikan kepada Ismail sebuah bangsa yang hebat. Mengapa kita tidak membantu mewujudkan janji Tuhan itu dengan mendukung segenap tenaga kepada bangsa Palestina dan bangsa Arab lainnya yang merupakan keturunan Ismail? Mengapa kepatuhan kepada Tuhan kita lakukan dengan pilih-pilih? Mengapa mendukung Israel namun mengabaikan Mesir dan Palestina.

Jawabannya sebenarnya adalah kebijakan luar negeri kita tidaklah bersandar dari skriptur yang berisi janji kepada bangsa-bangsa di masa lampau yang sekarang sudah jauh berbeda keadaannya.

Israel Modern tidaklah sama dengan negara teokratis Israel di masa lampau yang bersandar kepada Hukum Perjanjian Lama dan pengharapan akan Messiah. Israel Modern tidak hanya menolak Messiah, namun juga menolak Hukum Perjanjian Lama.

Ambil contoh, Israel menolak perintah untuk tidak semena-mena terhadap non- Yahudi yang tinggal di wilayah Israel (Keluaran 12:49, 22:21, 23:9; Imamat 19:33-34, 25:35; Ulangan 10:18-19, 23:7, 24:17, 27:19), dan larangan menebang pohon subur-berbuah (Ulangan 20:19-20). Merupakan sebuah hal yang tidak logis ketika menggunakan Perjanjian Lama sebagai rujukan pendirian negara Israel modern sembari melakukan pengecualian terhadap bangsa Yahudi dengan kalimat: “Bangsa Yahudi tidak wajib patuh terhadap Hukum Perjanjian Lama”.

Negara Israel dikenal lewat industri seks dan pelacurannya, juga lewat parade kaum homoseksual di Tel-Aviv dan Jerusalem, dan dukungan pemerintah terhadap kegiatan aborsi. Berdasarkan The Jewish Virtual Library, terdapat 18.785 aborsi legal dan 16.000 aborsi ilegal di Israel pada tahun 1999. Kritikus Israel terhadap aborsi memperkirakan bahwa terdapat 1.000.000 janin Yahudi telah diaborsi sejak tahun 1948 hingga 1992 dan mereka melabelinya sebagai serupa Holocaust. Zionis Kristen yang mengirimkan uang ke Israel, dan melobi bantuan pemerintah Amerika kepada Israel, telah membantu mendanai bentuk aborsi kepada janin-janin Yahudi yang dilegalkan oleh pemerintah Israel.

Sebagai seorang Kristen[5], kita tidak diperkenankan menghakimi atau mengutuk Israel terhadap kesalahan yang juga terjadi dan dilakukan oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia. Namun juga, perlu dicermati, agar kita tidak pula malah ke titik ekstrem lainnya, terlalu memuliakan pemerintah dan bangsa Israel sebagai dukungan sepenuh yang berlandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat.

Perlu pula ditambahkan bahwa tiada yang berubah dari gerakan Zionisme sebagaimana Noel Smith pernah menulis di tahun 1957 di The Baptist Bible Tribune bahwa: “Zionisme menolak Tuhan orang Israel, Tuhan para Nabi, Tuhan pemilik tanah suci. Zionisme tidak mendasarkan klaim tanah yang dijanjikan kepada mereka berdasar perjanjian Ibrahim p.b.u.h. dengan Tuhan. Zionisme menolak untuk mengakui bahwa diaspora bangsa Yahudi adalah kerja Tuhan karena dosa bangsa Yahudi menolak Messiah yang datang. Zionisme tidak mengenal dosa sehingga tidak diperlukan Messiah untuk menebus dosa. Zionisme adalah [gerakan] atheis, sekuler, politis. … Zionisme, menolak Tuhan yang memberikan Tanah yang dijanjikan, menolak berterima kasih atas pemberian, sehingga tidak punya dasar valid untuk mengklaim tanah Palestina – sebagai suatu hak mereka lebih daripada orang Arab lainnya”.

Tuhan, di masa lalu, benar telah memberi tanah Palestina kepada bangsa Yahudi, namun pemberian ini tidaklah bentuk penafian kebolehan bangsa non-Yahudi untuk mempunyai tanah di Israel, sebagaimana terdapat di dalam kisah Ephron dan Ornan (Silakan bandingkan pula dengan Bilangan 9:14).

Janji Tuhan kepada bangsa Yahudi terhadap tanah Palestina tidak berlaku kepada bangsa Yahudi sebab janji tersebut bersyarat yaitu kepatuhan kepada Tuhan (lihat Kitab Kejadian 17:9-14; Keluaran 19:5-6, Ulangan 7:12; Yoshua 23:15-16, 1 Raja-raja 9:6-9, 2 Tawarikh 7:19-22, Yehezkiel 33:24-27). Tuhan akhirnya menggunakan bangsa Romawi untuk mengusir bangsa Yahudi dari tanah yang dijanjikan di tahun 70 S.M. sebagai bentuk hukuman terhadap pelanggaran kepatuhan akan perintah Tuhan: penolakan dan penyaliban Messiah mereka (Matius 21:33-43, 23:38).

Namun tentu saja, siapapun saja meski dia Yahudi, tetap berhak atas tanah di Palestina asalkan dia membelinya dengan adil. Sebagai seorang Kristen, kita seharusnya menjunjung tinggi kebolehan pemilikan tanah Palestina kepada semua orang Yahudi, dan juga orang Palestina selama mereka secara legal memiliki tanah tersebut. Kita bukanlah komunis – yang mengakui pemilikan tanah adalah hanya oleh negara yang boleh direbut kapan saja tanpa ganti rugi yang adil. Dan kita juga bukanlah rasis, yang mengusir orang lain dari tanahnya karena orang tersebut berasal dari etnis tertentu.

Jadi, siapakah pemilik sah tanah Palestina? Jawabnya janganlah berdasarkan argumen konyol mengenai siapa yang lebih dulu menempati tanah itu, atau bangsa yang lebih disukai Tuhan-lah yang berhak atas tanah itu. Yang berhak atas tanah Palestina adalah mereka yang memilikinya dengan cara yang adil, bukan dengan perampasan atau pengusiran namun lewat jual beli yang benar.

Yesaya pernah menubuatkan tentang suatu masa ketika bangsa Yahudi dan bangsa Arab akan diperlakukan sama di hadapan Tuhan: “Pada waktu itu Israel akan menjadi yang ketiga di samping Mesir dan di samping Asyur, suatu berkat di atas bumi, yang diberkati oleh TUHAN semesta alam dengan berfirman: “Diberkatilah Mesir, umat-Ku, dan Asyur, buatan tangan-Ku, dan Israel, milik pusaka-Ku” (Yesaya 19:25-26[6])”.

Kita sekarang ini hidup di masa sebagaimana dinubuatkan oleh nabi Yesaya. Perjanjian Baru memberikan kita ajaran bahwa tidak ada lagi perbedaan antara Yahudi dan non-Yahudi (Kisah Rasul-rasul 15:9; Roma 10:12; Galatia 3:28). Bangsa Yahudi sudah tidak memiliki keunggulan sebagai keturunan langsung resmi dari Ibrahim p.b.u.h. (Yohanes 8:39). Israel sejati dan anak sebenar dari Ibrahim p.b.u.h. adalah mereka yang mendapat pencerahan iman (Roma 2:28-29; Galatia 3:7; cf. Galatia 6:15-16).

Semua sederajat di hadapan Tuhan (Kisah Rasul-rasul 17:26) dan hal ini berlaku kepada semua bangsa tanpa pengecualian. Oleh sebab itulah, kita seharusnya bersikap adil terhadap bangsa lain, baik Yahudi, Arab, maupun Palestina dan menjauhi bersikap dan berkeyakinan bahwa seolah-olah Tuhan memberi hak kepada suatu bangsa untuk bebas merampas hak bangsa yang lain.


[1] Hak Cipta ada pada Thomas Williamson. Jikalau ada sedikit perbedaan dari teks asli, maka hal demikian disebabkan kekurangpresisian penerjemah. Harap dimaklumi. Pendistribusian teks ini harus menyertakan nama pemilik Hak Cipta dan alamat akses teks asli. Untuk rujukan, gunakan rujukan pada teks asli. Usaha penerjemahan ini merupakan kegiatan non-profit dan tidak serta merta merupakan pandangan dari penerjemah.

[2] untuk artikel yang berkait erat dengan isu yang sama dengan pembahasan lebih ke ranah gugat tafsir clamant terhadap skriptur biblikal, baca juga tulisan Thomas Williamson yang lain berjudul “To Whom Does the Land of Palestine Belong?” yang bisa diakses di:

http://thomaswilliamson.net/palestine.htm

untuk artikel yang berkait erat dengan isu konflik Israel-Palestina di dalam ranah permainan istilah di media massa semisal istilah teroris dilekatkan kepada orang Palestina padahal jika hendak berlaku adil maka pertanyaannya adalah “siapa yang menjajah siapa?” silakan baca salah satu tulisan Edward Said berjudul “What Israel Has Done” yang bisa diakses di:

http://weekly.ahram.org.eg/2002/582/op2.htm

Tulisan Edward Said lainnya bisa diakses di:

http://www.edwardsaid.org/?q=node/1

Buku yang mengupas sangat dalam dan komprehensif tentang isu Israel-Palestina semisal The Politics of Anti-semitism (AK Press, 2003). Menurut buku ini, Zionis memanipulasi persepsi kita tentang banyak hal sehingga menguntungkan mereka.

[3] Kata “saya” di dalam terjemahan artikel ini merujuk kepada Thomas Williamson

[4] Karena penulis asli artikel ini adalah seorang pemeluk Kristen, maka kata “kita” di dalam tulisan ini merujuk kepada “umat Kristen”.

[5] Merujuk kepada penulis dan teman-teman seiman-nya.

[6] Jika merujuk kepada Alkitab terjemahan LIA (1994) maka 2 ayat yang dimaksud di sini bernomor ayat 24-25.