Pakaian

[revisi dan tambah referensi 6 Juni 2017]

Perkara berpakaian adalah perkara yang bisa jadi serius, atau malah sangat serius. Tengok misalnya adanya istilah dress code di dalam acara-acara tertentu. Tidak patuh pada ketetapan di dalam dress code maka resmi sudah cap di jidat: saltum (salah kostum). Salah kostum berarti siap-siap jadi olokan di pesta dan jadi tidak nyaman.

Pakaian juga merefleksikan bagaimana seseorang hendak dipandang oleh orang lain. Mungkin itulah sebab di dalam masyarakat Jawa ada ungkapan ajining raga saka busana.[1]Dan entah mengapa kemudian ada orang bilang bahwa yang penting adalah apa yang ada di dalam diri seseorang dan bukan apa yang dipakai seseorang atau sebaliknya.[2]Nasehat dari ungkapan Jawa “dihargai seseorang karena lidah, dipandang seseorang karena penampilan” justru lebih mengena karena bicara dua aspek: sikap dan penampilan. Nasehat ini mengena karena memang merefleksikan kenyataan dan bukan sesuatu yang klise.

Tambah bingung lagi ketika ada acara kontes ratu kecantikan dan endorser-nya berkoar-koar ambigu mengenai inner beauty. Jikasanya yang dinilai dari kontes kecantikan adalah dua macam kecantikan (kecantikan luar dan dalam) mengapa tidak disebut sebagai kontes inner beauties saja? Sebab tak mungkin jadi juara kontes kecantikan jika hanya punya kecantikan dalam dan tidak cantik saat memakai dalaman, vice versa. Lain soal  jika kontes kecantikan itu memang serupa lomba cerdas cermat di mana kontestan duduk dan mencet tombol  berebut giliran jawab tanpa dinilai cara duduk dan bentuk tubuhnya.

Gara-gara pakaian seseorang bisa kena cibiran, dampratan, pisuhan, dan juga kutukan. Pangeran Harry dari Inggris dulu pernah kena getah dari yang beginian. Ia kena jepret dalam sebuah pesta dengan berpakaian seragam Nazi. Harry bisa selamat dari limpah hujatan berkelanjutan dengan pernyataan permintaan publiknya –dikatakan tidak langsung namun lewat juru bicaranya– bahwa pakaian Nazi yang dipakainya adalah ‘poor choice’.

Namun Harry, lepas dari bagaimana berbagai media mengutuk kejadian itu, mungkin sadar bahwa paman buyutnya –Raja Edward VIII– adalah pengagum dan berkawan baik dengan Hitler. Harry bisa saja hendak beromansa dengan sejarah keluarga besarnya, sejarah keluarga yang tidak anti Hitler.

Atau mungkin Harry ambil posisi skeptik terhadap kisah holocaust. Kisah holocaust bilang bahwa pada Perang Dunia II seakan-akan pembantaian ‘hanya terhadap Yahudi saja’. Bisa jadi Harry punya keyakinan sebagaimana kaum Revisionisme Historis serupa Mark Weber, Ibrahim Alloush, dan Robert John yang menolak adanya kisah seperti itu. Mungkin saja.

Pakaian, bagi mereka yang suka kajian filsafat politik ala Antonio Gramsci, bisa menjadi bahan diskusi sambil isap kopi. Walaupun yang dibahas di dalam tulisan agak-agak seram dan bikin jidat tambah berkernyit namun lumayan karena bisa jadi bahan cerita yang mengasyikkan. Nancy J. Parezo contohnya. Meski tidak nguprek-uprek pandangan Gramsci tentang hegemoni namun apa yang ditulis Parezo sepakatan dengan pandangan tentang mereka yang terkalahkan.

Parezo[4] di dalam tulisannya tentang representasi busana suku Indian menuduh bahwa suatu eksebisi di Amerika Serikat dengan nama The Indian Fashion Show sebagai praktik politis orang kulit putih Amerika Serikat di dalam membentuk perspektif yang tidak tepat tentang pakaian native Indian.[3] Model-model yang dipakai di dalam The Indian Fashion Show, yang merupakan perempuan kulit putih banget, dan bagaimana desain pakaian yang ditampilkan adalah olok-olok kultural sebab mencerminkan simplifikasi dan komodifikasi suatu budaya untuk kepentingan komersil dari suku Indian yang telah terkalahkan.

Gugatan yang beginian dari Parezo memang sebelas dua belas dengan kritik Edward Said terhadap kaum Orientalis yang urakan menggambarkan aspek budaya (mis. pakaian) dan cara hidup orang-orang Timur yang berhasil mereka tundukkan.[4]

Pakaian juga bisa menjadi urusan bernilai jutaan dolar di dalam bahasan fashion industry. Model pakaian terus menerus diciptakan ulang untuk menambah pernik kebaruan haute couture. Ensiklopedia Daring Britannica bahkan sangat serius mendedah industri fashion ini sambil kasih definisi yang sangat komplit atas istilah fashion.[5]Akan tetapi Ensiklopedia Daring Britannica mungkin agak sedikit khilaf karena tidak memasukkan faktor agama atau keyakinan juga ikut ambil peran dalam hal fashion.

Bicara pakaian dan agama adalah hal yang sesuatu banget;[6] sesuatu yang super serius. Sebelum mengobrol tentang agama dan pakaian, sedikit melebar namun penting kiranya jika membahas kata ‘agama’ dulu di dalam bahasa Indonesia.

Kata ‘agama’ di dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dari bahasa Sanskrit gama yang artinya jalan. Di dalam bahasa Jawa, gama berubah menjadi gaman lalu ageman lantas agama (yang dipegang, yang dipakai) sebelum muncul ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai agama. Pendapat lainnya menyatakan bahwa kata ‘agama’ berasal dari bahasa Arab iqoma yang mendapati dialek Arab Yaman sebab kebudayaan Nusantara dalam sejarah bersinggungan dengan pedagang Yaman, menjadi igoma sebagaimana qamis menjadi gamisIqoma artinya secara gampang adalah tegak, lurus, tidak melenceng. Di dalam kamus ini, agama kemudian jadi memiliki definisi yang komplit yang bunyinya bla, bla, dan bla.[7]

Agama, ambil gampang, secara umum bisa diartikan sebagai “panduan jalan” dan bisa juga “sesuatu yang dipakai.” Jadi agama sama dengan pakaian (karena membungkus sikap dan perilaku) namun pakaian bukanlah agama karena agama bukanlah sesuatu yang diperjualbelikan – kecuali beberapa orang yang menjualnya dengan harga yang murah.[8]Dus, di sini kentara bahwa agama juga merupakan pakaian yang dipakai seseorang di dalam menjalani kehidupan. Dan begitulah menjadi kurang pas kiranya jika bicara pakaian dan tetek bengeknya namun melupakan bahasan agama dan pakaian.

Di dalam beberapa agama, cara berpakaian punya aturan khusus bagi penganutnya. Di Yahudi ada yang namanya frumka, tichel, mitpachat, kittel dan tallit, di Sikh ada turban dan pagree, di Korea jaman Dinasti Joseon ada ‘jilbab’ jangot, di Hindu India ada ghunghat atau jhund, di Kekristenan ada juga yang namanya wimple, di Kristen Ortodoks ada pakaian yang namanya apostolnik dan skufia, di Katolik ada yang namanya vestments, di Katolik Spanyol ada mantilla, di Katolik Timur ada juga yang namanya klobuk sedangkan di dalam Islam misalnya ada jilbab dan kemudian juga ada istilah isbal. Jilbab berkaitan dengan pakaian perempuan sedangkan istilah isbal berhubungan dengan pakaian buat laki-laki.

Jilbab bagi perempuan Islam adalah wajib. Tapi bilang ‘wajib’, kini di jaman orang main gampang bikin pendapat, bukan hal yang enteng. Banyak ocehan-ocehan di sekitar istilah wajib ini. Dulu ada tokoh nasional yang memberikan pernyataan kontroversial bahwa ada [seorang?] mufasir yang berpendapat bahwa jilbab tidaklah wajib.[9] Tafsir Quran yang dirujuk tokoh nasional tersebut kemungkinan adalah tafsir kontemporer Quran karya Muhammad Asad –yang oleh Komisi Fatwa Arab Saudi sudah difatwakan[10] bahwa tafsirnya dipenuhi oleh beberapa hal karangan akalnya sendiri– dan lalu diikuti oleh Ibrahim B. Syed.[11]

Argumen yang dibangun sehingga pada kesimpulan untuk tidak mewajibkannya memang masuk akal. Namun masuk di akal bukan berarti bersesuaian dengan Quran dan Hadist  bukan? Sebagai bandingan, coba misalnya dibaca dulu bagaimana Lobna Mulla di dalam tulisannya “Hijab: Fard (Obligation) or Fiction?”[12] dalam situs Ustad Suhaib Webb.

Lobna Mulla dalam tulisannya itu menunjukkan dengan elegan bahwa ‘akal-akalan’ di dalam menafsirkan Quran bisa juga merembet kepada tidak ada kewajiban salat ‘lima waktu’. Logikanya jelas. Di dalam Quran tidak dijelaskan dengan gamblang tentang perkara wajib lima kalinya. Itu jika hendak memakai akal saja. Masalahnya adalah, di dalam Islam ada yang namanya teladan dan petunjuk Nabi saw. yang dihapal dan dipraktikkan oleh  para sahabat dalam bentuk Hadist. Inilah pendamping pemahaman atas apa yang termaktub di dalam Quran.

Perkara jilbab di Indonesia selain ulah tokoh nasional tadi, juga memunculkan self-promoter blogger bernama dr. Abimanyu, Sp.B.[13]Dokter Abi ini main-main ke blog banyak orang dan menyalin tempel sebagian tulisannya. Tulisan yang disalin-tempelkan sebagian ini mungkin berfungsi sebagai trailer atau teaser agar blog-nya dikunjungi. Nampaknya ada semacam hasrat dalam dirinya untuk jadi blog-angelist.

Yang unik dari dokter Abi adalah bagaimana ia bermain-main dengan pembandingan penafsiran tekstual dan kontekstual, sejarah tentang pakaian, pendapat Syaikh Al Albani tentang jilbab, dan kekhawatiran punahnya tradisi lokal (pakaian daerah) jika diterapkan jilbasisasi lewat sebuah tulisan dalam blog-nya. Well, memang sepintas menarik… dan masuk akal.

Namun ada yang perlu dicatat dan dikoreksi dari tulisan dokter Abi. Saat bicara tafsir skriptur Islam apalagi teks Qur’an, bicara analisis teks simplifikatif dengan hanya mengebiri metode hanya sebagai tafsir tekstual dan kontekstual saja adalah salah akal. Bicara teks Quran bukan melulu bicara ‘teksnya terbaca bagaimana’ atau ‘sebab turun ayat’ saja. Cara yang beginian ini jadi lucu.

Metode tafsir Quran bukanlah metode biblical criticism atau misalnya analisis struktural semantik teks dan analisis biblical ala hermeneutics dan textual historicism saja sebab ada teks di sana, ada sebab turun ayat, ada naskh ayat, ada hadist, ada mutsolah hadist, ada pendapat para sahabat, pendapat generasi sesudah sahabat, juga pandangan ulama-ulama salaf.[14]

Tambah lucunya lagi, dokter Abi menyindir bahwa perintah wajibnya jilbab adalah karena metode tekstualitas ulama yang memfatwakannya namun di bagian lain dari tulisannya ia membangun argumen mengenai penerapan tafsir kontekstual Syaikh Al Albani dengan Syaikh At Tuwaijiri yang keduanya dikenal dengan olok-olok dari jamaah tertentu sebagai ‘ulama-ulama tekstual.’ Apakah dokter Abi tidak tahu tentang ini ataukah ia hanya kebetulan melewatkan sesuatu di dalam pembangunan argumennya?

Tidak berhenti sampai di situ saja. Jika diteliti benar argumen yang dibangun oleh dr. Abimanyu, Sp.B. tentang ‘budaya’ berdasarkan tulisan Syaikh Al Albani tentang jilbab maka seolah-olah ada bagian yang rancu. Ada cherry picking dan misleading informasi di dalam tulisannya. Syaikh Al Albani berbeda pendapat tentang wajibnya cadar dengan Syaikh At Tuwaijiri oleh sebab beda menentukan derajat hadist yang dipakai dalam menghukumi cadar.[15]Jadi, Syaikh Al Albani berbeda pendapat mengenai ‘wajibnya cadar’ dan bukan dalam perkara ‘wajib jilbabnya.’

Kemudian bicara hal lain dari tulisan dokter Abi ini. Marilah bicara tentang argumen yang memunculkan ketakutan hilangnya pakaian daerah (tradisional) gara-gara jilbabisasi.

Sebenarnya masalah pakaian jika hendak bermain analisis tentang perubahan cara berpakaian berdasar sejarah, dr. Abi, Sp.B. ini hampir saja cetak score. Hampir…

Tapi begini ceritanya. Kita ambil contoh pakaian tradisional Jawa. Pakaian tradisional Jawa yang sekarang lazim dipakai adalah tidak murni totok Jawa. Kalau hendak murni Jawa ya mesthi pakaian laki-lakinya bakal bledhehan tanpa kancing.

Kancing tidak asli Jawa sebab orang Jawa tidak menemukan kancing. Batik model kemeja lengan pendek-pun adalah komodifikasi dari pertemuan antara kain yang sudah lazim dipakai sebagai bahan baju oleh kebudayaan kuno di Jazirah Persia dan Arab, kancing yang lebih dulu dikenal oleh bangsa Eropa dan menjadi bagian dari aksesoris tradisi berpakaian di sana, kemeja yang pasti bukan khas Jawa, dan motif Batik yang bisa dibilang dan diakui beraroma Jawa. Jadi campur mawur kan?

Kemudian dokter Abi ini, jika bener-bener dokter, maka seharusnya sadar bahwa seragam dokter yang berwarna putih sebagai dress code profesi dokter juga bukan khas Jawa. Darimana aturan dress code itu? Mengapa ia tidak memakai pakaian yang lazim dipakai oleh tabib atau penghusada asli tradisi Jawa? Lalu mengapa ia tidak mengkhawatiri juga bagaimana laki-laki Jawa sudah kelihatan nyaman juga untuk memakai kemeja ala Eropa di dalam acara-acara khusus dan bukan pakaian adat Jawa? Mengapa ia mengkritisi jilbabisasi namun melupakan hal lainnya di dalam gugatannya semisal mengenai adab berpakaian yang bergaya Barat?

Bisa tidak, untuk luwes menyikapi ini dengan menciptakan jilbab beraroma Jawa, misal jilbab dengan motif Batik? Atau semisal seragam dokter perempuan yang berwarna putih (karena ada dress code dari Barat) divariasi dengan jilbab putih? Kreatif kan? Pernahkah dokter Abi menengok bagaimana wanita-wanita Bima begitu elegan dan luwes menggunakan kain rimpu?

Rimpu kredit nusatenggaraindonesia.com

Argumen lain dari dokter Abi bahwa jilbab adalah pakaian gaya Persia Kuno atau misalnya terkait dengan padang pasirnya Arab juga tidak pas dijadikan acuan. Sebab jika ia benar-benar mempelajari skriptur Islam, mengapa ada aturan berpakaian yang diajarkan Rasulullah saw. kepada Asma’ binti Abu Bakar?[16]Ini berarti ada pengajaran mengenai bagaimana seorang yang beriman berpakaian dan sekaligus menunjukkan bahwa pakaian yang sudah lazim di jazirah Persia dan Arab saat itu (dalam konteks ini untuk wanita) adalah tidak persis sebagaimana hujah dokter Abi.

Lepas dari itu semua, beberapa kalimat argumentatif dokter Abi ini tampaknya sangat mirip pleg dengan pendapat Ibrahim B. Syed. Mungkin dokter Abi dapat ide untuk tulisan blog-angelist-nya dari sana.

Istilah lainnya yang terkait dengan pakaian di dalam Islam adalah isbal.  Namun sebelum bicara panjang lebar mengenainya, alangkah baiknya untuk refreshing dulu. Mari kita simak sebuah cerita dari kisah-kisah kontemplatif Zen yang judulnya “Ritual Cat.”[17]Saya sudah lama sekali menyimpan kisah ini di dalam blog saya karena saya yakin suatu saat bakal jadi sisipan yang menarik.

Kisahnya begini:

Syahdan, Guru Meditasi dan para muridnya hendak memulai meditasi malam. Kala itu, kucing yang sering berseliweran di biara bikin ribut sehingga mengganggu mulainya meditasi. Guru Meditasi lalu ambil kebijakan bahwa kucing tersebut harus diikat supaya meditasi bisa segera dimulai. Tahun berlalu kemudian ketika Guru Meditasi itu sudah meninggal, kucing yang berseliweran sudah biasa untuk diikat selama meditasi dilangsungkan. Ketika kucing tersebut akhirnya juga mati, maka rahib yang masih muda-muda mencari seekor kucing pengganti yang baru untuk diikat selama berlangsungnya meditasi. Berabad-abad kemudian, penghuni penerus kerahiban tersebut kemudian mulai menuliskan bahwa pengikatan seekor kucing adalah bagian dari syarat kekhusyukan meditasi.

Kemudian patut pula merenungi apa yang Ustad Taufiq Zubaidi sampaikan di dalam tulisan beliau dengan judul “Muhaddist Bagaikan Apotik, Fuqoha’-lah Dokternya.”[18]Ustad Taufiq Zubaidi lewat tulisan tersebut hendak menunjukkan bagaimana rumitnya membaca dan menafsirkan teks skriptur terutama yang berimplikasi praktik ritual dan aturan hukum.

Dan kisah Zen serta tulisan yang bagus sekali dari Ustad Taufiq Zubaidi tersebut ditambahkan juga dengan hadist dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu mengenai kisah dua orang yang bertayyamum namun menjadi berbeda pendapat mengenai keabsahan tayyamum serta sholat yang telah dilakukan karena kemudian didapati air. Kisah berbeda pendapat di dalam menafsirkan skriptur perintah tayyamum sebagai pengganti wudu ketika tidak didapati air tidak segampang itu diselesaikan oleh dua orang yang berbeda pendapat. Ada kehati-hatian pada dua orang tersebut sebab lalu keduanya meminta verifikasi justifikatif pada pemegang otoritas: Rasulullah saw.[19]

Lalu apa kaitan ketiga narasi tersebut dengan isbal?

Begini. Kisah Zen mengajari tentang ketaklidan atau ketundukan meski didasari skriptur tanpa mempelajarinya dengan dalam. Celakanya di dalam kisah Zen itu nampaknya rahib-rahib yang belakangan kesulitan menelusur asal praktik demikian karena hanya ada sumber yang tunggal dan itupun bukan berdasarkan penuturan  mereka yang hidup bersama dengan Guru Meditasi.

Tidak hanya itu. Jikalau narator kisah tersebut tidak bercerita mengenai adanya Guru Meditasi yang mendasari permulaan adanya praktik pengikatan kucing setiap meditasi dilangsungkan maka kita (sebagai penikmat cerita yang berbeda dengan rahib-rahib belakangan di dalam cerita itu) tidak bakal tahu bahwa praktik meditasi awalnya tidak terkait dengan pengikatan kucing kecuali karena Guru Meditasi mendapati kejadian yang memaksanya harus mengikat kucing tiap kali meditasi.

Belum lagi misalnya bagaimana memverifikasi otentisitas narator di dalam berdongeng kepada kita para pembaca. Adakah cara yang sahih untuk mengecek bahwa kisah selisih niatan ikat kucing dengan tindakan ikat kucing para rahib belakangan adalah benar-benar demikian. Bisakah ditelusur bahwa narator adalah memiliki ketersambungan periwayatan dari masih hidupnya Guru Meditasi hingga keterkinian praktik para rahib belakangan. Narator tidaklah mungkin omnipresent jikalau ia adalah manusia. Oleh sebab itulah jalur periwayatan bersambung juga menjadi sesuatu yang penting di dalam validasi sebuah skriptur (juga teks apapun).

Tulisan Ustad Taufiq Zubaidi mengajarkan sesuatu yang penting. Mengetahui dan menghapal sebuah perintah di dalam teks adalah penting namun juga penting untuk mengetahui bilakah sebuah perintah ditempatkan sebagaimana mestinya. Kalaupun hendak luwes mempraktikkan sebuah perintah haruslah didasari oleh pemahaman akan nash-nash lain yang mengikat penerapan sebuah perintah.

Kemudian kisah dua orang yang berwudlu tayyamum mengajari kita sesuatu yang penting. Keduanya mendapat apresiasi terhadap apa yang mereka pahami dari sebuah perintah yang jelas rujukannya (tuntunan Rasulullah saw.). Keduanya walaupun sedikit berbeda karena dasar kondisi darurat (tiada air) dan upaya menebusnya ketika sudah longgar (sudah tersedia air) namun tetap berpancangan kepada justifikasi Rasulullah saw. ketika mereka sudah berkesempatan meminta klarifikasi kepada beliau saw.

Baik Ustad Taufiq Zubaidi[20] maupun Ustad Muhammad Abduh Tuasikal[21] di dalam berbicara mengenai perintah penghindaran isbal menunjukkan rujukan mereka pada pembacaan yang kompleks atas semua skriptur yang ada dan atau yang terkait dengan perintah itu. Isbal adalah perintah di dalam Islam untuk menghindari kain dipakai laki-laki menjulur melebihi mata kaki. Pada keduanya, baik Ustad Taufiq maupun Ustad Tuasikal, bersikap hati-hati di dalam menentukan hasil akhir dari penetapan perkara isbal. Ustad Taufiq mengenai isbal sampai pada kesimpulan ‘tidak apa-apa’ sedangkan Ustad Tuasikal berpegang pada ‘wajib menghindari berisbal’ meskipun kemudian penetapan yang diberikan oleh Ustad Tuasikal menjadi terbaca oleh para pembaca sebagai sesuatu yang ‘tidak mengapa’ bersebab tambahan informasi –yang tidak beliau bantah– dari salah satu teman beliau mengenai ini.

Bicara mengenai pakaian bisa melebar kemana-mana apalagi jika pakaian tersebut terkait dengan identitas keimanan seseorang. Ada nilai yang lebih daripada hanya mengikuti industri fashion yang tak kenal henti berinovasi. Pada pakaian yang terikat dengan keimanan atau identitas keberagamaan maka rujukannya pastilah ada di skriptur.

Menarik-narik gaya berpakaian menurut skriptur ke dalam kajian sejarah dan budaya adalah menarik namun jangan lantas meninggalkan skriptur sebab pancang ajaran di dalam agama adalah skripturnya dan bukan budayanya. Jika kemudian meletakkan tafsir skriptur lebih berat kepada pandangan akan fenomena budaya maka bisa-bisa terjerumus kepada melihat agama sebagai seperangkat set perintah dan larangan yang merupakan produk budaya. Cara berpikir ini berbahaya karena menafikan urgensi revelasi samawi dari perintah dan larangan yang ada. Cara menafsirkan skriptur dengan menitikberatkan kepada konteks budaya juga malah bisa mengimplikasikan tidak kokohnya memandang bahwa revelasi dari langit adalah nyata dan ada.

Hal lain yang hendak di-share lewat tulisan ini adalah kerumitan penafsiran teks skriptur. Tidak semua orang bisa menafsirkan skriptur dengan baik. Bahkan seorang yang paham metodologi yang tepat di dalam menafsirkan skriptur dan berusaha keras menafsirkan skriptur bisa saja mendapati dirinya kemudian belum pas atau menimbulkan kesimpulan yang berbeda. Jika berbicara kisah kewajiban jilbab bagi wanita memang ada perbedaan pendapat tentang wajib atau tidaknya cadar sebagaimana mengenai boleh atau tidaknya isbal bagi laki-laki. Meskipun demikian semua pendapat tetap berpancang kepada skriptur dan menenun argumennya secara hati-hati. Layak misalnya merujuk pada keteduhan dari kalimat yang ditambahkan oleh salah satu pembaca tulisan Ustad Tuasikal: “semoga kita diberi kelapangan hati untuk menerima dan mengakui pandangan ulama [yang tahu metodologi yang benar di dalam menafsirkan skriptur] yang berbeda dengan [pandangan ulama yang kita ikuti] dalam hal [berpakaian] ini”.[22] Ada semangat yang santun di dalam kalimat itu.

Benar, masalah pakaian memang bisa menjadi perkara yang sangat serius sebagaimana kisah jilbab dan isbal. Saya kemudian jadi teringat kisah jilbab pada sebuah cerita yang saya peroleh dari seorang bule Australia berdarah Yahudi namun dibesarkan dalam tradisi Kristen pada sebuah sesi pertukaran bahasa di sebuah kampus di Australia. Ia bernama Sam Shlansky. Bule ini masih ingat bagaimana nenek dan ibunya selalu enggan keluar kecuali harus menutup kepala mereka dengan kain setiap hendak pergi ke gereja. Ada sesuatu yang tidak untuk dicibiri dari kisah itu, begitu kata si bule. Hal seperti itu, sebagaimana mereka pernah diajarkan, adalah tidak pantas jika kemudian tidak menelusuri acuan mana yang dipakai di dalam timbul keharusan menutup kepala dengan kain. Mungkin generasi nenek dan ibu dari bule Australia itu masih menjalankan ajaran yang diperintahkan di dalam Bible (1 Kor 11: 2-16) sebagaimana wanita Amish masih bertutup kain di kepalanya hingga kini lalu wanita Majelis Tuhan Rakyat Samoa yang di dalam kebaktian masih jamak memakai penutup kepala dalam bentuk topi putih dan juga bagaimana sebagian sekte Yahudi masih memakai tutup kepala hingga kini.

Swinging Grannies (1966), (c) Jiri Jiru

Jikalau kemudian penafsiran 1 Kor 11: 2-16 kemudian dijatuhkan kepada tradisi masa lalu dus skriptur tersebut dianggap tidak relevan lagi karena budaya sekarang terbiasa bagi wanita untuk pergi ke gereja tanpa penutup kepala maka penafsir demikian mirip dengan gaya tafsir Muhammad Asad. Hanya saja pada kasus seperti ini penafsiran skripturnya merujuk pada budaya ‘yang sekarang’ bukan pada ‘latar belakang budaya’. Jika demikian lantas apa fungsi revelasi atas skriptur jikalau manipulasi dengan akal melemparkannya?

Bahkan bila menyimak pendapat ekstrem milik dokter Abi mengenai latar belakang munculnya perintah tersebut sebagai dalil tidak relevannya perintah itu kini maka adakah otoritas pada dirinya yang menjustifikasi penghapusan perintahnya? Bagaimanakah ia begitu yakin bahwa perintah tersebut sudah dihapus saat terketahui ‘latar belakangnya’?

Devian namun masih relevan dari argumen dokter Abi, perkara pencarian alasan yang menghindari pemakaian basis skriptur mengenai ‘bebasnya tidak memakai jilbab’ sebagaimana digaungkan oleh para feminis liberal sekuler yang mengklaim bukti konteks budaya patriarki terlibat di dalam perintah itu juga terlihat kepayahan di dalam menjelaskan bagaimana industri fashion yang begitu gila justru malah menenggelamkan para wanita di dalam objektifikasi para laki-laki sedangkan jilbab malah membuat para wanita berani menunjukkan identitas keimanan dan berlepas diri dari jerat industri fashion [dan kosmetik] –tentu saja kecuali pada jilbab ‘modern’ dan jilbab ‘gaul’ (jilboobs)– sebagaimana beberapa poin mengenai ini sudah secara implisit disinggung oleh Chelsea Diffendal di dalam satu tulisannya[23] dan bagaimana hal ini konsisten disuarakan serta dipraktikkan oleh politikus Asmaa Abdol-Hamid, aktivis Asosiasi Arab-Amerika Linda Sarsour, dan ustadah Yasmin Mogahed.

Being a Muslim I had expected opposition, but to be accused of advocating gender apartheid took me by surprise. Wearing a headscarf does not mean that I’m oppressed or deprived. The values on which I live my life are Islamic and not Arab. It is important to make a distinction between religion and culture. In many respects, the Arab way of thinking discriminates against women; even though I am an Arab, I don’t make my choices on a cultural basis, but in the light of my religion. Otherwise I wouldn’t have got so far as I have today. My position as Chair of a forum consisting entirely of immigrant men can be challenging to many Arab men. (Asmaa Abdol-Hamid via kvinfo.dk)

As you can see, I wear hijab. It is a choice for me to wear and cover my hair for religious observation; and I consider myself to be a feminist and someone who supports the upholding of all rights, specifically of women. … I’m very proud of my religion, and my faith, and I’m very proud of the hijab that I wear. (Linda Sarsour)

I’m not here to be on display. And my body is not for public consumption. I will not be reduced to an object, or a pair of legs to sell shoes. I’m a soul, a mind, a servant of God. My worth is defined by the beauty of my soul, my heart, my moral character. So, I won’t worship your beauty standards, and I don’t submit to your fashion sense. My submission is to something higher.

With my veil I put my faith on display – rather than my beauty. My value as a human is defined by my relationship with God, not by my looks. I cover the irrelevant. And when you look at me, you don’t see a body. You view me only for what I am: a servant of my Creator (Yasmin Mogahed, “A Letter to the Culture that Raised Me”)

Benar, pakaian adalah perkara yang sangat serius. Setidaknya bagi saya dan mungkin bagi sebagian banyak orang. Ada industri dan ideologi bertarung di sana: pada sebuah ruang diskursus berpakaian; ideologi busana.

===========================

Endnotes

[1] Lengkapnya adalah ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana (dihargai seseorang sebab jaga lidahnya, dipandangnya seseorang sebab atur busananya). Di dalam ajaran Jawa, apa yang diucapkan seseorang melambangkan kewasisan dan kewaskitaan seseorang sedangkan apa yang dipakai seseorang melambangkan bagaimana seseorang memandang posisi dirinya di dalam masyarakat.

[2] It’s not what you’ve got on that matters, it’s what you’ve got in atau what it’s important it’s what you’ve got on and not what you’ve got in

[3] Nancy J. Parezo. 2007. “The Indian Fashion Show: Manipulating Representations of Native Attire in Museum Exhibits to Fight Stereotypes in 1942 and 1998”, American Indian Culture and Research Journal, Volume 31, Number 3 / 2007, hlm. 5-48.

[4] Edward Said. 1977. Orientalism. London: Penguin.

[5] “Fashion is a complex social phenomenon, involving sometimes conflicting motives, such as creating an individual identity and being part of a group, emulating fashion leaders and rebelling against conformity.”

“The fashion system involves all the factors that are involved in the entire process of fashion change. Some factors are intrinsic to fashion, which involves variation for the sake of novelty (e.g., when hemlines have been low for a while, they will rise).”

“The fashion designer is an important factor, but so also is the individual consumer who chooses, buys, and wears clothes, as well as the language and imagery that contribute to how consumers think about fashion.”

“Some factors are intrinsic to fashion, which involves variation for the sake of novelty (e.g., when hemlines have been low for a while, they will rise). Other factors are external (e.g., major historical events such as wars, revolutions, economic booms or busts, and the feminist movement). Individual trendsetters (e.g., Madonna and Diana, princess of Wales) also play a role, as do changes in lifestyle (e.g., new sports such as skateboarding) and music (e.g., rock and roll, hip-hop).”

(Fashion industry. 2014. Encyclopædia Britannica Online. Retrieved 09 September, 2014, from:

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1706624/fashion-industry/296479/Media-and-marketing)

[6] “sesuatu banget” di sini adalah bukan “sesuatu banget ya!” ala salah satu bintang selfie (foto puja diri) yang juga seorangi penyanyi tenar di Indonesia.

[7] Agama adalah “sistem yg mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kpd Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yg berhubungan dng pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya” (Agama. 2008. KBBI Daring, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Diakses 9 September 2014, dari:

http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php)

[8] Di dalam bahasa Qur’ani, ada sindiran mengenai salah satu keburukan adalah menjual agama (akhirat) dengan harga yang murah (dunia).

[9] Sebenarnya perkataan tokoh nasional tersebut tentang jilbab adalah ‘mengambang’. Dia [kurang lebih] mengajukan referensi bahwa mainstream ulama [salafus salih] sudah terketahui mewajibkan jilbab sedangkan ada yang tidak mewajibkannya. Dia tidak mengatakan ulama yang tidak mewajibkannya itu siapa namun ada kemungkinan bahwa ia merujuk kepada tafsir Muhammad Asad.

[10] Fatwa No. 2190.

Lebih jauh lagi ketika berbicara metodologi penafsiran Quran maka tidak sesederhana ‘mengerti’ bahasa Arab saja. Memang Muhammad Asad memiliki kontribusi kepada penerjemahan Quran sehingga mudah dipahami oleh pembaca berbahasa Inggris namun masalahnya adalah, Asad, di dalam tafsirannya kadang mengedepankan akal dan melewatkan skriptur pendamping pemahaman kajian Quran. Untuk pemahaman mengenai isu ini silakan bandingkan dengan penerjemahan Al Quran oleh Ahmad Zaki Ahmad dalam tulisan lewat tautan ini:

http://attahawi.com/2009/06/29/what-is-the-best-english-translation-of-the-meanings-of-the-quran/

Juga kajian kritis atas terjemahan Quran karya Muhammad Asad yang dapat dibaca lewat tautan ini:

http://learnquran.gov.ae/default.asp?action=article&ID=84

[11] Professor di the University of Louisville, Kentucky. Tulisannya bisa dirujuk lewat link berikut:
http://www.irfi.org/articles/articles_1_50/women_in_islam.htm

Yang agak ganjil juga dari tulisan Ibrahim B. Syed adalah bagaimana ia mempertanyakan jilbab bukan hanya berdasar rujukan yang ia peroleh dari tafsir Quran berbahasa Inggris dari seorang muallaf Yahudi modern yang mendapat label ‘berbahaya’ karena banyak yang hanyak merujuk ‘nalar SAJA’ (lih. endnotes 10) namun juga kesilapannya dalam melihat adanya jejak kewajiban perintah ‘[head] hair covering’ kepada wanita yang beriman di dalam skriptur Biblikal (1 Kor 11: 2-16). Dan sebagai tambahan, Muhammad Asad selain menghasilkan tafsir yang sudah difatwakan sebagai banyak penyimpangan (lih. Endnotes 10) juga di dalam hidupnya adalah seorang petualang politik.

[12] Lobna Mulla. 15 Oktober 2012. “Hijab: Fard (Obligation) or Fiction?”. Web. Diakses 9 September 2014 dari:

http://www.suhaibwebb.com/islam-studies/quran/hijab-fard-obligation-or-fiction/

[13] Abimanyu. Maret 2014. “Tafsir Al Ahzab 59 dan An Nur 31: Jilbab Tidak Wajib“. Web. Diakses 9 September 2014 dari:

http://dokterabimanyu.blogspot.com.au/2014/03/tafsir-al-ahzab-59-dan-nur-31-jilbab.html

[14] Lihat misalnya bagaimana pelibatan banyak ilmu di dalam ‘salah satu runtut metode’ menafsirkan sebuah teks di dalam Islam sebagaimana dipaparkan secara singkat oleh Ustad Ribut Nur Huda berikut ini:

Ilmu memiliki dua kategori: 1. Ilmu sarana. Ilmu ini mencakup beberapa ilmu seperti ilmu bahasa, nahwu-sharaf, balaghah, sastra, ilmu akal semisal mantiq , dialektika, diskusi, bicara, dan ilmu yang mengabdi kepada teks seperti mustholah al hadist, ilmu rijal, ilal, ilmu2 qur’an dan ushul fiqh. 2. Ilmu maqoshid (tujuan) seperti fiqih, aqidah, tafsir dan hadist.

Dalam bahasa Abid al Jabiri, ilmu ada dua yaitu ilmu sebagai alat dan sebagai isi. Apabila ilmu sarana itu hilang maka hilang pula ilmu maqhosid tersebut. Jika mencukupkan diri dengan ilmu sarana maka ibarat membawa wadah yang kosong tak berisi. Sehingga antara ilmu alat dan isi itu harus kita gabungkan.

[15] Untuk salah satu pandangan mengenai kewajiban jilbab tanpa cadar yang dibahas oleh Ustad M. Shiddiq al Jawi silakan turut tautan berikut ini:

http://myjilbab.wordpress.com/about/

atau dapat juga merujuk misalnya pada hasil Muktamar VIII Nahdlatul Ulama jika hendak memegang wajibnya cadar:

Pertanyaan : bagaimana hukumnya keluarnya wanita akan bekerja dengan terbuka muka dan kedua tangannya? Apakah haram atau makruh? Kalau dihukumkan haram, apakah ada pendapat yang menghalalkan? Karena demikian itu telah menjadi darurat, ataukah tidak? (surabaya)

Jawaban : hukumnya wanita keluar yang demikian itu haram, menurut pendapat yang mu’tamad (yang kuat dan dipegangi – penj ). Menurut pendapat yang lain, boleh wanita keluar untuk jual-beli dengan terbuka muka dan kedua tapak tangannya, dan menurut mazhab Hanafi, demikian itu boleh, bahkan dengan terbuka kakinya, apabila tidak ada fitnah.

Sumber: Ahkamul Fuqaha, Solusi problematika hukum Islam, keputusan muktamar, munas, dan konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 m), halaman123-124, pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.Ma Sahal Mahfudh; lajnah ta’lif wan nasyr (ltn) NU Jatim dan Khalista, cet.iii, Februari 2007. Keputusan Masalah Diniyyah Nomor: 135 / 12 Muharram 1352 H / 7 Mei 1933 Tentang Hukum keluarnya wanita dengan terbuka wajah dan kedua tangannya. Web. Didasarkan pada nukilan lewat:

http://muslimafiyah.com/engkau-lebih-cantik-bercadar-mengangkat-kekhawatiran-dan-belum-siapnya-wanita-untuk-memakai-cadar.html

[16] ‘Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.’ (HR. Abu Dawud).

[17] John Suler (ed.). 1997. “Ritual Cat”. Web. Diakses 9 September 2014 dari:

http://users.rider.edu/~suler/zenstory/ritualcat.html

[18] Taufiq Zubaidi. 4 September 2014. ““Muhaddist Bagaikan Apotik, Fuqoha’-lah Dokternya”. Web. Diakses 9 September 2014 dari:

https://www.facebook.com/notes/taufiq-zubaidi/muhaddits-bagaikan-apotik-fuqoha-lah-dokternya/10152659112580535

Muhaddist Bagaikan Apotik, Fuqoha’-lah Dokternya

Saat ini banyak sekali kita temukan orang yang bersemangat dalam merujuk ke Sunnah/Hadits secara tekstual langsung tanpa mengiringinya dengan pemahaman para fuqoha’ ulama’ salaf atas nash hadits yang dikutip. Begitupula banyak kita jumpai orang yang lebih memenangkan pendapat ulama’ kholaf atas ulama’ salaf. …

Gejala seperti itu menjadikan ummat semakin bingung, khususnya mereka yang tidak memahami seluk beluk ilmu alQur’an ataupun Hadits. Ditambah lagi mereka a’jami (bukan ahli bahasa arab), mengetahui hadits hanya melalui buku terjemahan, adapula yang dari mbah Google.

Di sisi lainnya dua rujukan utama dalam mempelajari Islam tersebut; yaitu alQur’an dan Hadits, tentunya tidak mungkin untuk mempelajarinya hanya melalui tulisan saja tanpa guru yang mumpuni (yaitu guru yang memiliki sanad keilmuan tasalsul sampai kepada pemilik kitab dan sampai kepada Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam). Sebab mempelajari tersebut dalam rangka memahami ajaran Islam yang sebenarnya. Mempelajari tersebut adalah utuk mengenal agama yang sejati. Bukan hanya sekedar mengenal nash belaka.

Ada nasehat yang sangat bagus dari ahlul Hadits Imam Khotib alBaghdadi. Beliau dawuh: “Banyak sekali orang yang menyampur aduk antara muhaddits dan faqih (alim), mereka menyangka bahwa orang yang banyak hafal hadits dan mengetahui jalan sanadnya adalah pemilik otoritas fatwa. Padahal tidaklah demikian, pandangan semacam itu adalah keliru. Sebab fatwa hanya berhak dipegang oleh orang yang faqih (orang yang dapat memahami nash dengan baik secara tasalsul keilmuannya dan fatwanya tidak muncul dari hawa nafsunya sendiri).”

Memperjelas nasehat Imam Khotib alBaghdadi, mari kita lihat kisah indah sebagaimana berikut: Diceritakan, ada perempuan yang hadir dalam suatu majlis, dimana dalam majlis tersebut ada Yahya bin Mu’in, Abu Khaitsamah, dan Kholaf bin Salim (Mereka semuanya adalah muhaddits pada zamannya). Dalam majlis tersebut perempuan tadi mendengarkan mereka mengucapkan: (Kanjeng Nabi shollalahu alaihi wasallam dawuh, telah diriwayatkan oleh fulan, dan tidak diceritakan hadits tersebut selain fulan), sesaat kemudian perempuan tersebut bertanya tentang orang yang sedang haid memandikan orang yang meninggal, apa orang tersebut boleh memandikan? Para muhaddits tersebut tidak ada yang menjawabnya dan hanya memandang satu sama lain.

Kemudian datanglah Abu Tsaur (seorang alim faqih), para muhaddits tersebut menyuruh kepada perempuan tadi untuk bertanya kepada Abu Tsaur. Dan menolehlah perempuan tersebut kepada Abu Tsaur seraya bertanya kepadanya dengan pertanyaan yang sama. Kemudian Abu Tsaur menjawab: “Boleh memandikan mayit, sebagaimana haditsnya alQosim dari Sayyidatina A’isyah Rodliyallahu anha: Bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam berkata kepadanya: (Adapun sesungguhnya haidlmu tidaklah di tanganmu), dan sebagaimana pula perkataannya beliau Rodliyallahu anha: “aku pernah memisahkan rambut Rosulullah shollallahu alaihi wasallam dengan air dan saat itu aku sedang haidl.”

Dari hadits tersebut Abu Tsaur dawuh: “Kalau beliau diperbolehkan memisahkan rambut dengan air orang yang masih hidup, maka kepada mayit tentu lebih diutamakan kebolehannya”. Kemudian para muhaddits membenarkan hal tersebut seraya berkata; “benar, hadits tersebut diriwayatkan oleh Fulan, dan Diceritakan oleh fulan, jalan riwayatnya seperti ini”. Mendengar perkataan muhaddits tersebut, perempuan tadi bertanya kepada para muhaddits: “Lantas, mengapa kalian tidak dapat menjawab seperti Abu Tsaur menjawabnya?”

Cerita tersebut memberikan pelajaran kepada kita, bahwa banyak ditemukan sebagian muhaddits hanya berpaku kepada teks, sehingga mereka tidak mampu menjawab persoalan-persoalan yang tidak ada nash-nya secara shorih (jelas).

Kisah muhaddits lainnya, Imam A’masy berkata: “Ketika aku duduk mendengarkan Sariyah memberi fatwa kepada orang, aku berada dihadapan sariyah, awalnya aku ditanya mengenai hal tersebut, namun aku tidak mengetahuinya. Pernah juga, ada seseorang datang bertanya persoalan kepadaku, disitu pula ada Abu Hanifah duduk bersama. Karena ada Abu Hanifah, maka aku memberikan otoritas kepadanya untuk menjawab persoalan: Wahai Nu’man (nama Abu Hanifah), jawablah pertanyaan tersebut. Dan menjawablah Imam Abu Hanifah. Lantas aku bertanya kepada Imam Abu Hanifah; “darimana rujukan ucapanmu tersebut?”. “Dari haditsmu yang telah engkau ceritakan kepada kami” jawab Imam Abu Hanifah. “Benarlah kamu wahai Nu’man, kami adalah apotik, dan kamu adalah dokternya.”

Dari kisah di atas dapat kita simpulkan bahwa tidak semuanya ulama’ ahlul hadits zaman dahulu adalah seorang yang faqih pula. Karena mereka menyadari hal tersebut, maka mereka lebih memberikan hak otoritas fatwa kepada fuqoha’. Walaupun mereka mengetahui matan/nash sebuah hadits mengenai persoalan tersebut sekalipun. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila sekelas Imam Ahmad bin Hanbal (pendiri madzhab Hanbali) dawuh: “Kalaulah tidak ada Imam Syafi’i, maka kami tidak akan mengerti fiqhul hadits (pemahaman hadits)”. Ditambah lagi perkataannya Imam Abu Hatim arRozi: “Kalaulah tidak ada Imam Syafi’i, maka ashabul hadits  dalam keadaan buta”. / tidak mengetahui cara beristinbath hukum dari sebuah nash dan tidak mengetahui nasikh mansukh sebuah hadits… Rodliyallahu anhum, Wallahu a’la wa a’lam.

[19] Dua orang lelaki keluar untuk safar. Kemudian tibalah waktu shalat dan tidak ada air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan bumi yang suci lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air sedangkan saat itu masih dalam waktu yang dibolehkan shalat yang telah mereka kerjakan tadi. Lalu salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalat sedangkan yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulang shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan kamu telah mendapatkan pahala shalatmu”. Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya,  “Untukmu dua pahala (HR. Abu Dawud no. 338, An Nasa’i no. 433. Dinyatakan sahih oleh Al Albani dalam Shohihul Jami’ no. 3861).

[20] Taufiq Zubaidi. 8 September 2014. “Isbal”. Web. Diakses 10 September 2014 dari:

https://www.facebook.com/notes/taufiq-zubaidi/isbal/10152665935525535

Isbal

Sering kita jumpai kelompok tertentu dalam memakai pakaian, baik celana atau jubah lebih tinggi “sekilan” di atas mata kaki. Atau bahasa gaulnya cingkrang. Dalam memandang mereka saya husnudlon kalau kelompok tersebut selain berniat untuk mengamalkan sunnah, barangkali mereka juga ingin ihtiyat “hati-hati” agar tidak termasuk kategori orang yang Isbal (Musbil) dalam berpakaian. Sebab seorang yang Isbal ancamannya sangat berat sebagaimana dalam hadits berikut ini:

Diceritakan dari Abi Dzar Rodliyallahu anhu dari Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam dawuh: “Tiga golongan yang tidak didawuhi oleh Gusti Allah Ta’ala pada hari Kiamat, tidak diperhatikan dan tidak pula dibersihkan (dosa-dosanya), bagi mereka hanyalah adzab yang pedih”. Abu Dzar mengatakan bahwa; “Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam sampai mengulangi tiga kali. Sungguh akan menyesal dan merugi mereka. siapakah mereka wahai Rasulullah?”  tanya Abu Dzar. Kanjeng Nabi Shollallahu alaihi wasallam menjawab: “Orang yang isbal, Orang yang mengungkit-ngungkit sedekah dan kebaikannya untuk mengharap imbalan (tidak ikhlas sedekahnya), dan Penjual yang suka bersumpah palsu dengan niatan orang membeli barang tersebut.”

Memang cukup mengerikan nash tersebut apabila diambil bunyi teksnya secara langsung tanpa menjelaskan maksud dari dawuhnya Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam. Sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama’ bahwa di dalam menerangkan teks itu adakalanya tidak langsung menggunakan pemahaman sendiri dengan menyimpulkan satu teks saja. Melainkan dibutuhkankan pemahaman secara menyeluruh atas sebuah teks dengan teks lainnya. Entah itu saling menguatkan, menjelaskan secara terperinci atau mengkhususkan maksud dari nash lainnya. Untuk itu dalam memahami sebuah nash tidak cukup hanya memahami satu nash dan mengesampingkan nash yang lain. Disinilah peran fungsi kealiman sang mujtahid atau mufti dalam beristinbath sebuah hukum.

Sebelum saya membaca syarah dari hadits di atas, saya sempatkan terlebih dahulu untuk membaca pandangan-pandangan melalui mbah Google. Ada yang memandangnya bahwa Isbal adalah harom mutlak tanpa penjelasan lebih detail, menghukumi bahwa Isbal adalah termasuk dosa besar. Adapula yang menjelaskannya sesuai dengan penjelasan ulama’ pensyarah hadits di atas. Setelah saya menelaah kembali hadits diatas, yaitu hadits yang cukup sering dipakai sebagai landasan untuk menghukumi bahwa Isbal adalah dosa besar dan haram mutlak, Alhamdulillah saya menemukan pencerahan dari Imam Nawawi Rodliyallahu anhu. Sengaja saya pilih pendapat beliau tidak lain adalah dikarenakan tidak diragukan lagi kealiman beliau dalam ilmu hadits selain itu kapabilitas beliau termasuk dalam Madzhab Syafi’i sebagai Mujtahid Fatwa. Sebuah maqom yang cukup tinggi dan hanya dapat diraih oleh orang-orang yang alim nan faqih saja. Terbukti selain memiliki banyak karangan kitab terkait hadits dan fiqh, beliau telah mensyarahi Kitab shohih Setelah alQur’an dan Shohih Bukhori, yaitu Shohih Muslim.

Isbal dalam Pandangan Imam Nawawi Rodliyallahu anhu 

Dalam kitab alMinhaj Syarah Shohih Muslim bin Hajjaj karya Imam Nawawi, hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar tersebut diberi judul oleh beliau; “Bab menerangkan kelirunya pengharaman Isbal Izar (sarung) dan mengharap imbalan dari pemberian, penjual yang menjual barangnya dengan bersumpah, serta penjelasan ketiga golongan tersebut kelak tidak diajak berbicara oleh Gusti Allah di hari Kiamat, tidak diperhatikan, tidak dibersihkan dosa-dosa mreka dan baginya adalah adzab yang pedih)”.

Sebelum Imam Nawawi Rodliyallahu anhu menjelaskan maksud dari hadits di atas, beliau terlebih dahulu menyebutkan riwayat hadits lainnya, terkait dengan orang yang mendapatkan balasan sesuai yang telah dijelaskan dalam hadits di atas. Di antaranya adalah sebagai berikut: “alMannan (Orang yang mengungkit-ngungkit sedekah dan kebaikannya untuk mengharap imbalan, tidak ikhlas sedekahnya) tidaklah diberi imbalan kecuali dari imbalan yang ia terima di dunia, dan orang yang isbal sarungnya.” Riwayat lainnya disebutkan: “Syaikh yang berzina, Raja/pemimpin yang sering dusta/berbohong, dan Pemimpin keluarga yang takabbur” dan beberapa riwayat lainnya.

Barulah kemudian Imam Nawawi menjelaskan maksud dari hadits yang diriwayatkan oleh sayyidina Abu Dzar di atas. Pertama; Makna Penjelasan tidak didawuhi oleh Gusti Allah Ta’ala pada hari Kiamat adalah tidak di dawuhi oleh Gusti Allah sebagaimana Gusti Allah Ta’ala mendawuhi ahlil khoirot (orang-orang yang melakukan kebaikan) dimana Gusti Allah Ta’ala mendawuhinya dengan tampak penuh keRidloan. Orang-orang yang melakukan diantara ketiga laku di atas tidak akan di dawuhi oleh Gusti Allah sebagaimana orang yang melakukan kebaikan, melainkan di dawuhi dengan dawuh ahli asSukhti (ahli orang yang dibenci dan dimarahiNya). Ada juga yang berpendapat maksudnya adalah Gusti Allah Ta’ala kelak mengacuhkan mereka. Jumhur mufassirin menerangkan maksud dari tidak di dawuhi oleh Gusti Alllah adalah: Tidak didawuhi dawuh yang memberi manfa’at dan membahagiakan mereka. Ada pula yang memaknai Gusti Allah tidak mengirimkan kepada malaikat ucapan selamat kepada mereka, sebagaimana ucapan yang diberikan oleh ahli surga.

Kedua: Maksud dari Gusti Allah Ta’ala tidak melihat/memperhatikan mereka adalah; Gusti Allah mengacuhkan mereka. Sedangkan penglihatan/perhatianNya Allah Ta’ala kepada hambaNya adalah rohmat dan kasih sayang.

Ketiga: Makna dari mereka tidak dibersihkan oleh Gusti Allah Ta’ala adalah mereka tidak disucikan dari kotoran-kotoran dosa mereka. AzZujaz berpendapat; maksudnya adalah Gusti Allah Ta’ala tidak memuji mereka.

Ke empat: Makna Siksa yang Pedih adalah; Sebagaimana yang dikatakan oleh alWahidi; yaitu siksa yang sampai membuat hati mereka ikut bergetar.

Adapun maksud dari dawuhnya Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam: alMusbil Izarohu (orang yang Isbal/melebihkan sarungnya sampai melebihi mata kaki) adalah yang melakukannya dengan khuyala’. Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits lain; (Gusti Allah Ta’ala tidak melihat/memperhatikan orang yang menjulurkan pakaiannya dengan niatan khuyala’). Dan makna dari khuya’al adalah takabbur/sombong. Taqyid tersebut (khuyala’) mengkhususkan keumuman orang yang isbal dalam menggunakan sarung. Makna lainnya menunjukkan bahwa maksud dari balasan adalah hanya untuk orang yang menjulurkan sarungnya dengan rasa takabbur (merasa gagah). Sebab Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam telah meringankan Isbal untuk Sayyidina Abu Bakar asShiddiq Rodliyallahu anhu dengan dawuh: “kamu bukanlah termasuk mereka (khuyala’)” karena beliau rodliyallahu anhu tidaklah bertakabbur ketika Isbal.

Di dalam Hadits lainnya disebutkan pula secara jelas nash yang menyebutkan bahwa pelarangan Isbal adalah ketika menjadikan orang tersebut khuyala’. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, anNasa’i dan Ibnu Majjah dengan sanad hasan: Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam dawuh: “Isbal dalam menggunakan Izar, Gamis, Imamah yaitu orang yang menjulurkan tersebut dalam rangka Khuyala’, maka Gusti Allah Ta’ala tidak melihatnya kelak di hari kiamat”.

Syarah tersebut barangkali sudah cukup jelas mengenai hukum Isbal, tidak lain adalah Isbal dihukumi harom ketika sampai pada munculnya sifat takabbur bagi orang yang mengenakan pakainnya. Dengan konsekwensi kelak dihari kiamat tidak akan didawuhi oleh Gusti Allah Ta’ala, tidak diperhatikan dan tidak pula dibersihkan (dosa-dosanya), selain itu baginya adalah adzab yang pedih. Namun apabila pemakai pakaian yang walaupun tampak Isbal tapi ketika tidak berniat menyombongkan diri atau dapat menghindarkan hati dari rasa takabbur, maka ia termasuk kategori orang yang isbal namun bukan termasuk Khuyala’. Sehingga baginya tidaklah harom secara mutlaq.

Daripada itu apabila kita kerucutkan lebih ringkas lagi, sebenarnya titik tekan dari pelarangan Isbal tiada lain adalah dikhawatirkannya muncul sifat kesombongan dari diri kita. Keharaman Isbal lantaran untuk melindungi kita dari sifat sombong. Mafhum mukholafahnya adalah, apabila kita Isbal namun diri kita tetap dapat menjaga hati untuk tetap bisa rendah hati, merasa diri paling hina diantara lainnya, merasa tidaklah lebih sekedar hamba yang tak patut menyombongkan diri, bahkan kesombongan yang muncul dari cara berpakaian sekalipun, maka Isbal tersebut tidaklah sampai pada hukum harom sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi di atas.

Barangkali pula dikarenakan kesombongan itu sangatlah tidak patut untuk disandang oleh seorang hamba, sampai-sampai di hadits yang lain pula Kanjeng Nabi shollallahu alaihi wasallam dawuh: “Tidaklah masuk surga seorang yang di dalam hatinya terdapat sebiji dzarroh dari kesombongan”. Jadi seorang mukmin sekalipun, harus masuk neraka terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran dosa kesombongannya terlebih dahulu, sampai ketika telah bersih dirinya dari kesombongan, barulah dimasukkan kedalam surgaNya. Wallahu a’la wa a’lam…

[21] Muhammad Abduh Tuasikal. 9 Februari 2010. “Hukum Celana di Bawah Mata Kaki”. Web. Diakses 10 September 2014 dari:

http://rumaysho.com/umum/hukum-celana-di-bawah-mata-kaki-2-837

Hukum Celana di bawah Mata Kaki

Mungkin sebagian orang sering menemukan di sekitarnya orang-orang yang celananya di atas mata kaki (cingkrang). Bahkan ada yang mencemoohnya dengan menggelarinya sebagai ‘celana kebanjiran’. Pembahasan kali ini –insya Allah- akan sedikit membahas mengenai cara berpakaian seperti ini apakah memang pakaian ini merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau bukan.

Penampilan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Celana Setengah Betis

Perlu diketahui bahwasanya celana di atas mata kaki adalah sunnah dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup telapak kakinya. Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata: Saya pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata,Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai  teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah, hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits ini shohih)

Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di sinilah letak ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shohih)

Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki sampai pertengahan betis. Boleh bagi seseorang menurunkan celananya, namun dengan syarat tidak sampai menutupi mata kaki. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai teladan terbaik bagi kita dan bukanlah professor atau doctor atau seorang master yang dijadikan teladan.  Allah Ta’ala berfirman,“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [60]: 21)

Menjulurkan Celana Hingga di Bawah Mata Kaki

Perhatikanlah hadits-hadits yang kami bawakan berikut ini yang sengaja kami bagi menjadi dua bagian. Hal ini sebagaimana kami ikuti dari pembagian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Syarhul Mumthi’ pada Bab Satrul ‘Awrot.

Pertama: Menjulurkan celana di bawah mata kaki dengan sombong

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaianya dalam keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Sesungguhnya orang yang menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR. Muslim no. 5576)

Masih banyak lafazh yang serupa dengan dua hadits di atas dalam Shohih Muslim.

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa mereka, Ya Rasulullah?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah orang yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 306). Orang yang isbal (musbil) adalah orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.

Kedua: Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong

Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)

Dari hadits-hadits di atas terdapat dua bentuk menjulurkan celana dan masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda. Kasus yang pertama -sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar di atas- yaitu menjulurkan celana di bawah mata kaki (isbal) dengan sombong. Hukuman untuk kasus pertama ini sangat berat yaitu Allah tidak akan berbicara dengannya, juga tidak akan melihatnya dan tidak akan disucikan serta baginya azab (siksaan) yang pedih. Bentuk pertama ini termasuk dosa besar.

Kasus yang kedua adalah apabila seseorang menjulurkan celananya tanpa sombong. Maka ini juga dikhawatirkan termasuk dosa besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan semacam ini dengan neraka.

Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua kasus ini berbeda. Tidak bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Huroiroh pada kasus kedua ke hadits muqoyyad dari Ibnu Umar pada kasus pertama karena hukum masing-masing berbeda. Bahkan ada sebuah hadits dari Abu Sa’id Al Khudri yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut.

Pakaian seorang muslim adalah hingga setengah betis. Tidaklah mengapa jika diturunkan antara setengah betis dan dua mata kaki. Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Daud no. 4095. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash Shogir, 921)

Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus pertama dan kedua berbeda.

Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika menjulurkan celana tanpa sombong maka hukumnya makruh karena menganggap bahwa hadits Abu Huroiroh pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits Ibnu Umar pada kasus pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman (siksaan) adalah yang menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak dilakukan dengan sombong, hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan Riyadhus Shalihin, juga merupakan pendapat Imam Syafi’i serta pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Abdullah Ali Bassam di Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom -semoga Allah merahmati mereka-.

Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika kita melihat dari hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing kasus berbeda. Jika hal ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika dilakukan tidak dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang menunjukkan adanya ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri dibedakan hukum di antara dua kasus ini. Perhatikan  baik-baik hadits Abu Sa’id di atas: Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti). Jadi, yang menjulurkan celana dengan sombong ataupun tidak, tetap mendapatkan hukuman. Wallahu a’lam bish showab.

Catatan: Perlu kami tambahkan bahwa para ulama yang menyatakan makruh seperti An Nawawi dan lainnya, mereka tidak pernah menyatakan bahwa hukum isbal adalah boleh kalau tidak dengan sombong. Mohon, jangan disalahpahami maksud ulama yang mengatakan demikian. Ingatlah bahwa para ulama tersebut hanya menyatakan makruh dan bukan menyatakan boleh berisbal. Ini yang banyak salah dipahami oleh sebagian orang yang mengikuti pendapat mereka. Maka hendaklah perkara makruh itu dijauhi, jika memang kita masih memilih pendapat yang lemah tersebut. Janganlah terus-menerus dalam melakukan yang makruh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.

Jadi, masalah isbal (celana menyeret tanah) adalah perkara yang amat penting. Jika ada yang mengatakan ‘kok masalah celana saja dipermasalahkan?’ Maka cukup kisah ini sebagai jawabannya. Kita menekankan masalah ini karena salaf (shahabat) juga menekankannya. -Semoga kita dimudahkan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaatAlhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

[Yang menarik adalah bagaimana pendapat dari Ustad Muhammad Abduh Tuasikal mendapat masukan dari salah satu kawan beliau yang bernama Abu Zuhriy al Gharantaliy sebagai berikut ini:

Ustadz mohon DITELITI lagi “klaim” bahwa syaikh al-bassam berpendapat “makruh”… Justru yang nampak beliau berpendapat “mubah”…

simak:

قال الشيخ عبد الرحمن بن عبد الله البسام رحمه الله : ” ( إن القاعدة الأصولية هي حمل المطلق على المقيد وهي قاعدة مطردة في عموم نصوص الشريعة. والشارع الحكيم لم يقيد تحريم الإسبال – بالخيلاء – إلا لحكمة أرادها ولولا هذا لم يقيده. والأصل في اللباس الإباحة ، فلا يحرم منها إلا ما حرمه الله ورسوله صلى الله عليه وسلم . والشارع قصد من تحريم هذه اللبسة الخاصة قصد الخيلاء من الإسبال وإلا لبقيت اللبسة المذكورة على أصل الإباحة. وإذا نظرنا إلى عموم اللباس وهيئاته وأشكاله لم نجد منه شيئاً محرماً إلا وتحريمه له سبب وإلا فما معنى التحريم وما الغرض منه ، لذا فإن مفهوم الأحاديث أن من أسبل ولم يقصد بذلك الكبر والخيلاء ، فإنه غير داخل في الوعيد “.اهـ من ( توضيح الأحكام من بلوغ المرام 6/246 )

Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah al bassam berkata, “Sesungguhnya Kaidah Ushul Hamlul Muthlaq ‘alal Muqoyyad adalah kaidah umum yang terdapat pada Nash-Nash syara’. Asy-syari’ (Allah) yang Mahabijak tidak membatasi pengharaman Isbal dengan kesombongan kecuali karena hikmah yang dikehendaki. Andaikan tidak ada hikmah yang dikehendaki, tentu Dia tidak akan membatasinya. Hukum asal pakaian adalah Mubah. Tidak ada yang haram darinya kecuali bila Allah dan RasulNya mengharamkannya. As-Syari’ memaksudkan pengharaman cara berpakaian khusus ini adalah pada kesombongan pada Isbal. Jika tidak, maka cara berpakaian yang disebutkan seharusnya tetap dalam kemubahannya. Dan jika kita melihat pada umumnya pakaian serta model dan bentuknya, kita tidak menemukan adanya sesuatu yang diharamkan kecuali pengharamannya karena sebab tertentu. Jika tidak, maka apalah artinya pengharamannya dan apa tujuan pengharamannya. Oleh sebab itu, maka pemahaman terhadap hadits ini adalah barangsiapa yang Isbal dan tidak dalam rangka sombong dan angkuh, maka ia tidak masuk dalam ancaman.”(Taudhih Al-Ahkam min Bulughi Al-marom)

Dan pendapat “mubah” ini sudah ada dari ulama terdahulu….

Berkata Abu Hatim dalam mengomentari Shahiih ibnu Hibbaan:

الأمر بترك استحقار المعروف أمر قصد به الإرشاد والزجر عن إسبال الإزار زجر حتم لعلة معلومة وهي الخيلاء فمتى عدمت الخيلاء لم يكن بإسبال الإزار بأس

Abu Hatim berkata, “Perintah untuk meninggalkan menganggap remeh hal yang ma’ruf adalah perintah yang bermaksud untuk mendidik. Dan larangan untuk tidak mengIsbalkan sarung adalah larangan yang pasti karena sebab yang telah diketahui, yakni kesombongan. Oleh karena itu, jika kesombongan itu tidak ada, maka TIDAKLAH MENGAPA Isbal sarung.” (Shahih Ibnu Hibban, 2/282)

Semoga kita diberi kelapangan hati untuk menerima dan mengakui pandangan ulama yang berbeda dengan kita dalam hal ini… ]

[22] Ibid.

[23] Chelsea Diffendal. 2006. “The Modern Hijab: Tool of Agency, Tool of Oppression”. Chrestomathy: Annual Review of Undergraduate Research, School of Humanities and Social Sciences, School of Languages, Cultures, and World Affairs, College of Charleston. Volume 5, 2006: pp. 129-136.

Untuk melihat pendapat lain mengenai jilbab apakah sebagai bentuk opresi (penindasan) atau pembebasan para wanita misalnya dapat dibaca pada tulisan:

Maryam S. 4 September 2014. “Why I Don’t Need A Makeup Tutorial to Teach Me How to Wear a Hijab”. Web. Diakses 20 september 2014 dari:

http://muslimmatters.org/2014/09/04/why-i-dont-need-a-makeup-tutorial-to-teach-me-how-to-wear-a-hijab/

Nakata Khaula. tanpa tanggal. “A Japanese Woman’s Experience of Hijaab”. Web. Diakses 20 September 2014 dari:
http://www.beautifulislam.net/women/japanese_hijab.htm

Abdul Sattar Ahmed. 30 April 2012. “Hijab is not to Protect Men, but to Honor Women”. Web. Diakses 20 September 2014 dari:
http://www.suhaibwebb.com/islam-studies/islam-101/misconceptions/hijab-is-not-to-protect-men-but-to-honor-women/

Vanessa Rivera de la Fuente. 14 Maret 2013. “No Ladies, Hiyabis are not asking for It”. Web. Diakses 20 September 2014 dari:
http://ladivinafeminista.wordpress.com/2013/03/14/no-ladies-hiyabis-are-not-asking-for-it/

Helena Andrews. 8 Juni 2006. “Muslim Women Don’t See Themselves as Oppressed, Survey Finds”. The New York Times. Diakses 27 Oktober 2014 dari: http://www.nytimes.com/2006/06/08/world/middleeast/08women.html

Yasmin Mogahed. 1 Februari 2011. “A Letter to the Culture that Raised Me”. Web. Diakses 27 Oktober 2014 dari: http://www.yasminmogahed.com/2011/02/01/a-letter-to-the-culture-that-raised-me

Creative Commons License
Pakaian by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivatives 4.0 International License.