Pemimpin-pemimpin Umat dan Ulama-ulama Terpatuk Wahn

Benarlah apa yang pernah dinubuahkan orang yang paling mulia, Nabi saw., bahwa mula ketidakberdayaan umat Islam adalah mewabahnya wahn justru ketika, seperti kini, jumlahnya justru sudah luar biasa banyak.

Dilly Hussain, aktivis sunni kelas nasional di UK (Britania Raya) menyentil dan mengajak kita merenung bagaimana wahn ini sudah mewabah lewat sebuah status di akun facebook-nya.

Dilly mengajak kita melihat bagaimana di Timur Tengah negara Palestina dibuat mainan oleh negara Israel sedangkan saudara setubuh di negara-negara tetangga sebagian pemimpin-pemimpin dan ulamanya masih saja bersikap pragmatis diplomatis.

Lihatlah juga Kashmir bagi negara di dekatnya Pakistan, Rohingya bagi negara di dekatnya Bangladesh, dan negara sekawasan seperti Indonesia dan Malaysia. Lihatlah Aleppo.

Lihatlah kondisi umat ini.

Lihatlah betapa banyak pemimpin, ulama (baik yang kyai maupun akademisi) yang sayup atau bahkan takut mengkritik tingkah polah negara besar opresor. Bahkan menyentil sedikit pun tidak. Lihatlah mereka terus menerus mengajak umah untuk berubah, beradaptasi, tunduk, dan patuh pada angkara murka serakah.

Bukankah mereka tahu (ataukah tidak sadar?) bahwa pilihan sikap untuk membuat umat jinak dan menunduk sejatinya sudah disindirkan oleh orang “kafir” semisal Edward Said yang berbicara mengenai pilihan sikap menyenangkan dan butuh merasa diterima oleh metropole sebagai bagian dari fenomena inferioritas dan bentuk membatur? Bukankah yang begituan sudah juga disindir oleh Voltaire bahwa untuk tahu siapa yang menguasaimu dan kamu sudah loyo tak ada niatan melawan adalah bagaimana kamu sudah tidak bisa sejajar mengkritiknya? Berapa banyak pemimpin, ulama, akademisi muslim yang masih berani tegak melawan jejal narasi kebohongan-kebohongan negara-negara besar? Bukankah mereka ini, sebagian, malah sibuk “mengoreksi” umat yang tidak patuh-patuh sementara pura-pura abai akan angkara murka di depan mata, takut mengkritik bahkan menyindir, takut hilang dukungan tetap berkuasa, takut hilang dari panggung, khawatir tak mendapat kucuran dana, cemas tersingkir dari sorot kamera, dan was-was minim kans tulisan terpublikasi?

Bukankah orang “kafir” lainnya semisal Foucault sudah menggariskan bahwa pelakon-pelakon besar yang takut dibicarakan tingkah polahnya oleh pemimpin, ulama, dan akademisi muslim justru menunjukkan hegemoni kuasa yang najis dibicarakan dalam diskursus? Bukankah film “kafir” Harry Potter mengajarkan ketakutan pada persona membuat “namanya tak boleh disebut” meskipun lewat bisik-bisik?

Dilly Hussain mengena pada concern-nya atas umat ini. Siapatah yang lantang menyangkal bahwa wahn benar sudah mewabah atas umat ini? Siapatah yang bisa jujur pada dirinya sendiri dan menyangkal singkapan yang dituangkan lewat concern Dilly Hussain ini?

 

 

Menakar Baiknya, Buruknya Negara Ita-Itu

Suatu ketika dalam pengajiannya Buya Hamka ditanya oleh seorang muridnya, “Saya pernah pergi haji ke Mekkah, ternyata disana ada pelacur. Saya heran, bagaimana mungkin di Mekkah yang suci ada pelacur.”

Lalu apa jawab Buya Hamka? Dengan kalemnya ia berkata, “Saya pernah beberapa kali berkunjung ke California. Tetapi disana saya tidak menemui satu pelacur pun”.[1]

Di manapun juga, kita bisa menemui apapun sebagaimana kita ingin mencarinya.

Begitu pula terjadi pada seorang Profesor bidang antropologi asal Indonesia yang giat sekali mengisi linimasa akun media sosialnya dengan status mengenai negara-negara Arab dan dekadensi moral yang terjadi di sana. Beberapa kali, tokoh kita, Profesor itu, mengabarkan kepada jamaahnya betapa banyaknya fenomena “korup, rusak, menyimpang” di negara-negara Arab yang ia kunjungi dan atau ia tempati.

Kisah yang dituturkannya, beberapa poin mirip dengan cerita yang diumbar oleh dosen perempuan feminis yang terkenal mendapat dana sangat besar dari F*** Foundation dan A*** Foundation di dalam membuat semacam draft [reformasi] hukum Islam. Ibu dosen Doktor ini masyhur dengan umbar ceritanya mengenai kejadian yang ia jumpai di negara Arab.

Bagi sebagian orang, mereka berdua tidaklah bisa “disebut salah”[2] karena mereka menyampaikan apa yang benar-benar mereka temukan. Namun bagi sebagian yang lain, mereka berdua ini bermasalah sebab umbar kisah mengenai perilaku “korup, rusak, menyimpang” pada orang-orang Arab terbingkai pada kerangka kampanye yang menjurus:

  1. Penampilan imaji hipokrit pada SELURUH orang-orang Arab dan atau negara-negara Arab. Selanjutnya kita jadi “merendahkan” SEMUA yang “Arab” karena teracuni imaji keliru bahwa mereka hipokrit SEMUA
  2. Sebuah argumen bahwa jika yang di Arab saja pada begitu menjadi absurd bagi kita untuk mencontoh mereka. Beragama jika mengikuti orang-orang, ulama, negara Arab maka sebetulnya culun karena di Arab saja SEMUANYA di sana hanyalah hipokrit. Dus, kita “di sini” baiknya bikin sesuatu yang HARUS beda dengan yang di sana.

Sekali lagi, tidaklah yang mereka umbar di media sosial maupun forum-forum publik itu tidak benar kecuali kenyataannya memang demikian. Tapi menceritakan sesuatu yang benar pun juga harus ditelisik motifnya.

Kalau sudah menyangkut motif, motif memang sesuatu yang ada di benak dan tersimpan di hati. Tidak pantas buat seseorang menerkanya. Akan tetapi, seseorang bisa diduga memiliki motif tertentu jika dicermati kebiasaannya, sepak terjangnya, dan afiliasinya. Dari situlah bisa dibaca arah pembicaraannya. Dari situlah bisa diraba frame pikirannya.

Oleh sebab itulah mereka yang hendak mencari keburukan di tanah suci-pun, akan bisa menemukannya sebagaimana kisah masyhur dari Hamka tadi. Sebagaimana jika seseorang tidak berniat mencari keburukan di negeri Amerika Serikat, maka ia tidak akan menemukannya. Kalaupun ia menemukannya, ia tidak akan “fokus” mengoreknya dan berterusan mengumbarnya. Misal saja ia menemukan yang buruk di tanah Amerika Serikat pun,[3] karena niat awalnya memang tidak berusaha mencari yang buruk di sana, tidak berniat bertandang ke Amerika Serikat kecuali sebagai pelancong berhati selamat yang bila menemukan “keburukan” di sana maka ia hanya melihatnya sebagai “kebetulan ada oknum.”

Hal senada bisa ditemui di dalam status-status Facebookku mengenai Australia.

Tidak semua hal mengenai negeri kafir ini, eit jangan sensi dengan K-word,[4] oke deh, saya gunakan non-Word. Tidak semua hal mengenai negeri [yang mayoritasnya] non-muslim ini buruk. Banyak hal-hal baik yang bisa kita contoh. Keteraturannya, kebersihannya, kemodernan infrastrukturnya memang memukau.

Ambil contoh bidang pendidikan. Pendidikan di Australia memang baik, khususnya pendidikan tinggi, meskipun pendidikan rendahnya selama lima tahun terakhir ini kalah dengan beberapa negara Asia semisal Singapura, Korea Selatan, dan Hongkong.[5] Di Australia juga ada korupsi yang terjadi di dunia pendidikan.[6] Belum lagi ada beberapa problem yang menggelayuti sistem pendidikan di Australia.[7] Tapi secara umum memang pendidikannya lebih baik JIKA HANYA dibandingkan dengan Indonesia. Masalah banding-membandingkan, menakar satu negara dengan negara lainnya, model tebang pilih bandingan bisa membuat suatu negara bisa lebih hebat dibandingkan dengan negara lain. Tinggal apa dulu yang “sengaja dipilih untuk dibandingkan,” “tinggal negara mana dulu yang sengaja dipilih untuk dijadikan pembanding.”

Jika misalnya ada orang berargumen bahwa negeri Australia ini demokratis banget, kalau mau ambil semua kasus, ya ndak begitu banget. Isu Palestina di sini adalah isu sensitif. Meskipun demo pro-Palestina diperbolehkan namun pada beberapa kasus, aktivitas yang mendukung keadilan untuk Palestina dan menyuarakan BDS untuk Israel oleh beberapa orang bisa disembur dengan gerakan rasis antisemit[8]dan suara mayoritas di dalam politik Australia adalah pro-Israel.[9][10]

Australia memang multikultural. Itu benar. Tetapi mereka punya masalah dengan kisah pilu Aborigin HINGGA sekarang meski keadaan sudah sangat mendingan semenjak minta maaf nasional.[11]

Kejadian perijinan pendirian masjid, tempat ibadah minoritas, atau Islamic Center di Australia tidak selalu mulus. Ada beberapa yang memang keusilan komunitas muslim yang abai pada peraturan yang berlaku mengenai pendirian ini dan itu dan berharap dengan rengekan MINORITAS dapat membuat peraturan boleh dilanggar. Namun ada juga yang terganjal karena penolakan warga akan berdirinya masjid serupa di Bendigo beberapa saat yang lalu.[12]

Melbourne[13] yang didaulat beruntun lebih dari 5 tahun berturut-turut sebagai the most liveable city in the world[14] pun kalau mau dicari “tidak liveable“-nya juga bisa. Saya kasih beberapa contoh. Kejadian kekerasan terhadap hijaber, satu dua kali pernah terjadi baru saja di dekat perpustakaan negara bagian Victoria[15] sebagaimana di beberapa negara bagian lain di seluruh Australia terjadi hal yang serupa.[16] Penjambretan terhadap perempuan di ruas jalan tertentu juga ada.[17] Bahkan penjabretan terhadap orang cacat juga terjadi.[18] Tindak pelecehan terhadap perempuan yang berjoging ria pun juga pernah terjadi secara maraton.[19]

Bahkan isu geng motor yang bikin onar juga ada. Tawuran? Jangan kaget. Ini juga ada. Bahkan yang terbaru malah terjadi pekan kemarin dan kepolisian kewalahan menanganinya.[20] Ada kok di kanal berita Australia. Bahkan geng motor yang urakan dan brutal juga ada.[21]

Mau apa lagi? Vandalisme? Di Melbourne juga ada. Coba jikalau Anda sempat main ke Melbourne dan memakai public transport, perhatikanlah kaca bus shelter (halte bus) dan kaca-kaca di dalam bus atau kereta. Ada goretan (gores coretan) dengan koin oleh tangan-tangan usil bahkan kadang juga ada cat semprot usil mengotorinya. Di beberapa suburb, perusakan terhadap parking machine juga barusan terjadi; dan kejadian ini sering terjadi. Bahkan kalau masalah biaya hidup, kota Melbourne menempati kota termahal nomor enam sedunia.[22]

Penipuan? Di sini penipuan dan pelanggaran (sepele) juga ada. Tak perlu menyebut “kejahatan yang serius” kan?

Jika Anda berpikir bahwa SEMUA orang BULE Australia “patuh dan tertib” hukum; atau kalau makai bahasa gaul yang aneh: “mereka (lebih) Islami (dari kita),” ini juga tidak benar.

Penipuan, rip off trading, di dalam jual beli biasa maupun daring atau online juga terjadi di sini.[23] Menyeberang jalan tidak pada tempatnya juga jamak. Merokok di tempat merokok dilarang juga ada. Buang sampah sembarangan juga terlihat. Kencing di bukan tempatnya pernah saya lihat. Jasa service bengkel atau elektronik yang dodgy. Semua ada. Saya pernah mengalami langsung, saya pernah melihatnya.

Inti dari cerita-cerita Profesor dan Doktor itu akan jadi baik jikasanya diniatkan bukan untuk membuat orang menyepelekan “sesuatu yang dari Arab,””orang Arab,” dan “tradisi skriptural yang sebagiannya asosiatif dengan Arab.” Namun jika melihat rima tendensinya, wajarkah saya berharap demikian?

Sebagaimana ketika saya yang daifa dan masih harus banyak belajar ini bercerita tentang Australia, tujuannya agar kita tak rendah diri dan silau dengan narasi atau juru usung mimpi indah dan yang sangat sempurna di negara “maju” seperti Australia. Atau mungkin misalnya jika kita menyebut negara-negara sepantarannya.

Eh, kampanye politik “demokrasi yang hebat itu” nyerempet isu agama? Di Australia juga ada.[24] Jangan pula tanya apa yang telah dan sedang terjadi di Amerika Serikat.[25] Dulu ada kandidat di Amerika Serikat jadi gugur karena ia anggota LDS, Mormon.[26] Obama juga butuh “clearance” bahwa ia JELAS bukan muslim sehingga bisa melenggang untuk jadi presiden.[27] Donald Trump? Ia adalah contoh kuat rasisme yang kini aktual sedang terjadi dan bisa mendapat dukungan yang luar biasa dari masyarakat Amerika Serikat di dalam kampanye menuju pencalonan dirinya menjadi presiden.[28] Ini semua nyata terjadi di Amerika Serikat dan semuanya di abad 21 ini.

Poinnya adalah, tidak semua di suatu tempat ada keburukan lantas kita bisa menyimpulkan bahwa “sistemnya” salah atau “semua orangnya” bermasalah. Semua tergantung cara kita memelototinya dan perkara mengumbar cerita, tergantung apa niatan kita menceritakannya.

Kalau memelototinya dengan tidak adil maka isinya akan sepet[29] semua.

Kalau tokoh-tokoh kita yang saya sorot di dalam tulisan ini bercerita hendak mengukuhkan bahwa NEGARA SPONSOR AKTIVITAS MEREKA SELALU “BAIK DAN SEMPURNA” sebagai acuan dan ini juga sebagai pembuktian keloyalan pada pemberi sponsor; agar tetap disokong; agar tetap diberi panggung dan fasilitasi publikasi dan lain-lain, sudah sejak awal memang niatannya tendensius tidak adil, ya kita akan bisa melihatnya dari cara berterusannya menceritakan keburukan negara X dan hanya kebaikan yang ada pada negara sponsor mereka.

Seharusnya kita tidak terprovokasi dengan akademisi endorser bayaran model seperti itu. Tidak melulu yang dari X selalu baik sebagaimana tidak melulu dari Y selalu buruk. Sikap kita seharusnya yang buruk bukan untuk dicontoh sedangkan yang baik maka bisa diambil untuk dikaji untuk dicontoh jika “sesuai.”

Perlu diingat bahwa tulisan ini tak pernah diniatkan untuk menciptakan stigma bahwa semua BULE Australia buruk atau Australia tidak ada yang baik untuk dicontoh. Tidak. Itu tak pernah jadi niatan saya untuk menggiring pemikiran pembaca untuk berkesimpulan demikian. Banyak orang Bule yang baik bahkan sangat baik di sini di Australia dan mereka ini menjalani hidup sesuai hukum yang berlaku dan keyakinan hidup mereka.

Kenapa bicara Australia seakan bicara Bule Australia saja? Bukankah Australia tidak didiami Bule saja? Nah, kalau itu hubungannya dengan kelaziman pembicaraan tentang Australia tak bisa jauh dari “visibilitas kuasa dan mayoritas”; sesuatu yang jamak di Australia adalah bule-nya.

Demikian.

Endnotes

[1] Riwayat yang sangat masyhur namun sumber rujukan resminya belum saya dapati

[2] Dalam tanda kutip

[3] “Keburukan-keburukan” di Amerika Serikat kalau mau iseng dicari misalnya dapat dibaca di dalam buku karya Laura Ingraham dan Raymon Arroyo dengan judul Of Thee I Zing. Gambaran mengenai apa yang terjadi di bidang kesehatan di Amerika Serikat lewat film misalnya bisa ditonton lewat “Sicko” (2007) karya Michael Moore. Artikel yang bisa menggambarkan masalah-masalah yang terjadi di Amerika misalnya bisa disimak lewat laporan  Catherine E. Shoichet dalam kanal berita CNN, 25 November 2015, “Is racism on the rise?”. Kisah bsinis prostitusi di Amerika Serikat misalnya bisa dibaca lewat laporan Carina Kolodny dalam kanal berita Huffington Post, 15 Maret 2014, “9 things you didn’t know about American prostitution.” Perdebatan mengenai sejarah genosida terhadap bangsa Indian di Amerika Serikat dan pemarjinalannya misalnya bisa ditelusuri lewat situs “United to End Genoside” (endgenocide.org).

[4] Perdebatan mengenai pemakaian istilah “kafir” sebagai labeling terhadap “liyan yang harus diperangi” atau “liyan yang rendah dan harus dinistakan” ataukah istilah ini yang intrinsik di dalam teologi Islam boleh dipakai dengan hati-hati merupakan bahasan yang menarik. Simak misalnya dua tulisan berikut:

Umm Zakiyyah. 17 Januari 2014. “Kaafir, the New F-Word,” Muslim Matters. Diakses dari: http://muslimmatters.org/2014/01/17/kaafir-new-f-word/

David Beresford. 29 November 2006. “What about the K word?” The Guardian – Opinion. Diakses dari: http://www.theguardian.com/commentisfree/2006/nov/28/whataboutthekword

[5] Colleen Ricci. 31 Mei 2015. “OECD education rankings show Australia slipping, Asian countries in the lead.” The Sydney Morning Herald. Diakses dari: http://www.smh.com.au/national/education/oecd-education-rankings-show-australia-slipping-asian-countries-in-the-lead-20150525-gh94eu.html

Baca juga Sean Coughlan. 13 Mei 2015. “Asia tops biggest global school rankings,” BBC News – Business. Diakses dari: http://www.bbc.com/news/business-32608772

[6] Henry Grossek. 21 Juni 2015. “Victorian Education Corruption Scandal: Our Children Deserve Much Better,” Save Our Schools. Diakses dari: http://www.saveourschools.com.au/national-issues/victorian-education-corruption-scandal-our-children-deserve-much-better

[7] Rachel Wilson, Bronwen Dalton, & Chris Baumann. 16 Maret 2015. “Six ways Australia’s education system is failing our kids,” The Conversation. Diakses dari: https://theconversation.com/six-ways-australias-education-system-is-failing-our-kids-32958

[8] Misalnya yang terjadi pada Professor Ghassan Hage, seorang profesor pada Universitas Melbourne di bidang Antropologi dan Teori Sosial dan beliau sampaikan di akun Facebook-nya pada 19 April 2016.

[9] Glen Falkelstein. 21 November 2014. “There’s no place for BDS within Australia,” ABC – Opinion. Diakses dari: http://www.abc.net.au/news/2014-11-21/falkenstein-theres-no-place-for-bds-within-australia/5909160

[10] Peter Manning. 26 Juni 2009. “Australia’s pro-Israel policies, pro-Palestine public,” Electronic Intifada. Diakses dari: https://electronicintifada.net/content/australias-pro-israel-policies-pro-palestine-public/8315

[11] Dipa Nugraha. 29 April 2016. “Maaf-maafan Nasional,” dipanugraha.org. Diakses dari: https://dipanugraha.org/2016/04/29/maaf-maafan-nasional/

[12] Cameron Stewart. 26 September 2015. “How an anti-mosque campaign in Bendigo became a battle ground,” The Australian. Diakses dari: http://www.theaustralian.com.au/life/weekend-australian-magazine/how-an-antimosque-campaign-in-bendigo-became-a-battle-ground/news-story/56ab194b1371acd5d1b97103a6286fd8?nk=27d574678363797d54dabcb6100cbb8d-1462022871

[13] Meskipun kelihatannya yang didaulat adalah Melbourne CBD-nya namun dalam konteks Melbournian maka suburb sekitarnya masuk pada pembicaraan kota Melbourne. Contoh-contoh yang ditampilkan di sini tidak melulu terjadi di CBD.

[14] Clay Lucas. 19 Agustus 2015. “Melbourne named world’s most liveable city, for fifth year running,” The Age. Diakses dari: http://www.theage.com.au/victoria/melbourne-named-worlds-most-liveable-city-for-fifth-year-running-20150818-gj1he8.html

[15] Steve Lillebuen, Chloe Booker, & Liam Mannix. 30 Oktober 2015. “Muslim woman ‘viciously attacked’ on Swanston Street in Melbourne,” The Age. Diakses dari: http://www.theage.com.au/victoria/muslim-woman-viciously-attacked-outside-state-library-of-victoria-in-melbourne-20151029-gkmeu4.html

[16] Lucy Battersby. 2 Desember 2015. “Veil lifts on daily abuse faced by Australian Muslims,” The Sydney Morning Herald. Diakses dari: http://www.smh.com.au/national/people/veil-lifts-on-daily-abuse-faced-by-australian-muslims-20151130-glc4yt.html

[17] Troels Sommerville. 7 Desember 2015. “Man stalks then steals $2000 meant for surgery from senior at Bentleigh RSL,” Leader Community News. Diakses dari: http://www.heraldsun.com.au/leader/inner-south/man-stalks-then-steals-2000-meant-for-surgery-from-senior-at-bentleigh-rsl/news-story/4efec8a8670a4d7bcd75736e9fa56e88?nk=27d574678363797d54dabcb6100cbb8d-1462023779

[18] Greg Roberts. 31 Juli 2015. “Woman pretends to help man in wheelchair before stealing wallet in Melbourne,” Herald Sun. Diakses dari: http://www.heraldsun.com.au/leader/north/woman-pretends-to-help-man-in-wheelchair-before-stealing-wallet-in-melbourne/news-story/e68575a8bb25ced3d8cc9078ad22ed1e?nk=27d574678363797d54dabcb6100cbb8d-1462023405

[19] Steve Lillebuen. 30 Mei 2014. “Sex attacks on joggers linked to western suburbs incidents,” The Age. Diakses dari: http://www.theage.com.au/victoria/sex-attacks-on-joggers-linked-to-western-suburbs-incidents-20140529-397wh.html

[20] Marissa Calligeros. 13 Maret 2016. “Violence erupts in Melbourne’s CBD as gangs clash in Federation Square and Swanston Street,” The Age. Diakses dari: http://www.theage.com.au/victoria/violence-erupts-in-melbournes-cbd-as-gangs-clash-in-federation-square-and-swanston-street-20160312-gnhksv.html

[21] ABC. 15 Desember 2015. “Police raid Finks bikie gang clubhouse in Melbourne, 20 arrested, drugs, cash seized,” diakses dari: http://www.abc.net.au/news/2015-12-15/bikie-raids-ringwood-finks-motorcycle/7030028

[22] Bus Australia. Juni 2012. “Vandalism of Bus Shelters.” Diakses dari: http://www.busaustralia.com/forum/viewtopic.php?f=4&t=68182

Liam Quinn. 3 September 2015. “That’s one way to avoid a fine! Newly-introduced parking meters are being destroyed by vandals opposed to paying – with the damage bill topping $40,000,” Daily Mail Australia. Diakses dari: http://www.dailymail.co.uk/news/article-3220698/That-s-one-way-avoid-fine-Newly-introduced-parking-meters-destroyed-vandals-apposed-paying-damage-bill-topping-40-000.html

Marissa Calligeros. 4 Maret 2015. “Melbourne: the world’s sixth most expensive city.” The Age. Diakses dari: http://www.theage.com.au/victoria/melbourne-the-worlds-sixth-most-expensive-city-20150303-13uilq.html

[23] Oleh sebab itulah di Australia ada Komisi yang mengurusi kerugian pada konsumen pada hal-hal seperti ini. Silakan jenguk www.scamwatch.gov.au

[24] Mariam Veiszadeh. 25 Februari 2015. “Religion and Racial Discrimination Act: Don’t Muslims Also Deserve Protection?” ABC Religion and Ethics. Diakses dari: http://www.abc.net.au/religion/articles/2015/02/25/4186872.htm

[25] Alana Massey. 27 Mei 2015. “The White Protestant Roots of American Racism,” New Republic. Diakses dari: https://newrepublic.com/article/121901/white-protestant-roots-american-racism

[26] Mitchell Landsberg. 12 Januari 2012. “Mormons feel rooted and happy, but marginalized, poll finds,” Los Angeles Times. Diakses dari: http://articles.latimes.com/2012/jan/12/nation/la-na-mormon-poll-20120113

[27] Campbell Brown. 13 Oktober 2008. “Commentary: so what if Obama were Muslim or an Arab?” CNN. Diakses dari: http://edition.cnn.com/2008/POLITICS/10/13/campbell.brown.obama/

[28] Lydia O’Connor & Daniel Marans. 29 Februari 2015. “Here Are 9 Examples Of Donald Trump Being Racist,” The Huffington Post Australia. Diakses dari: http://www.huffingtonpost.com.au/entry/donald-trump-racist-examples_us_56d47177e4b03260bf777e83?section=australia

[29] Bahasa Jawa yang artinya “tidak enak dipandang mata.”

Mengapa Saya Tak Bisa Latah Ikut Merayakan Anugerah Nobel Perdamaian kepada Malala

Artikel ini adalah terjemahan bebas beserta tambahan catatan pada endnotes tulisan Ivana Peric yang judul aslinya adalah “Why I Can’t Celebrate Malala’s Nobel Peace Prize” dari situs Middle East Revised. Fokus tulisan jurnalistik dan esai-esai Ivana Peric adalah representasi yang diwakilkan serta isu-isu yang terkait dengan Timur Tengah. Terbit ulang pada blog ini sudah mendapat ijin darinya.

_________________________________________________

Tersiar kabar bahwa anugerah Nobel Perdamaian diberikan kepada seorang India bernama Kailash Satyarthi dan seorang Pakistan bernama Malala Yousafzai disebabkan oleh perjuangan mereka melawan pengekangan hak anak dan remaja, termasuk hak memperoleh pendidikan. Kabar ini adalah kabar yang baik, dan bisa diartikan bahwa anugerah Nobel Perdamaian menjadi sesuatu yang waras digagas, selepas sebelumnya secara gak jelas anugerah ini jatuh ke tangan Barack Obama di tahun 2009 “atas kerja kerasnya memperkuat diplomasi dan kerjasama internasional di antara bangsa-bangsa”, dan juga dianugerahkan di tahun 2012 kepada Uni Eropa “karena selama enam dekade berkontribusi pada pemajuan perdamaian dan rekonsiliasi, demokrasi, dan hak asasi manusia di Eropa”.

Namun ada sesuatu yang membuat saya ragu. Bagaimana kita (Barat) selalu bisa menemukan “penjahat-penjahat” dari Timur, anak-anak yang menderita seperti Malala karena kejahatan para “penjahat-penjahat” ini (dalam kasus Malala adalah Taliban), namun kita selalu gagal mengenali partisipasi kita dalam menciptakan “penjahat-penjahat” tersebut? Bagaimana mungkin kita tidak pernah berbicara mengenai tindak jahat yang dilakukan pemerintah kita (Barat) terhadap anak-anak Pakistan, atau Syiria, atau Irak, atau Palestina, atau Yaman? Ambil misal serangan dengan pesawat tanpa awak (drone). Kicau George Galloway[i] tahun lalu dapat memberikan ilustrasi mengenai kemunafikan ini.[ii]

George Galloway Tweet

“Jikasanya Malala mati terbunuh di dalam serangan drone, media massa di UK pasti gak bakal ceritakan kisah Malala kepada kalian semua. #hipokrisiyang memuakkan”

Galloway benar. Kita tidak akan pernah tahu nama Malala jika Malala adalah korban dari tindak ugal-ugalan Barat. Tetapi, karena kisah pilu Malala bikin untung di dalam penciptaan narasi kebaikan Barat yang terkait dengan pengekangan yang dilakukan dunia Timur (di mana konteks mula terciptanya ‘pengekangan’ tidak dijlentrehkan secara gamblang), kita jadi tahu nama Malala. Hal ini serupa tulisan Assed Baig:[iii]

“Ini adalah kisah gadis pribumi yang diselamatkan oleh orang kulit putih. Diterbangkan ke UK, dunia Barat dapat merasa menjadi pahlawan sebab mereka toh berhasil meyelamatkan gadis pribumi dari kebar-baran orang-orang dari negerinya. Kisah ini adalah sebuah narasi historis yang rasis yang sudah dilembagakan. Jurnalis dan politikus pada berebut ngoceh bikin tulisan dan kasih komentar pada kisah Malala. Malala menjadi sebuah kisah gadis cilik lugu yang ditembak oleh orang-orang yang tidak beradab karena Malala menuntut hak pendidikan, dan kemudian datanglah satria yang menyelamatkan Malala. Tindak brutal dunia Barat, pengeboman kepada penduduk sipil, pendudukan, peperangan, menjadi terjustifikasi lewat kisah Malala, “Lihat, kan sudah kami bilang, inilah alasan kami (Barat) ikut campur di dalam perkara domestik sebuah negara: misi penyelamatan orang-orang yang tidak bersalah serupa Malala”

Masalahnya adalah ada ribuan anak-anak serupa Malala yang diakibatkan oleh aksi koboi Barat lewat peperangan yang tak pernah berakhir, intervensi, serangan drone, dsb. Di dalam acara “Last Week Tonight with John Oliver”, kita mendadak tersadar bagaimana pengetahuan kita mengenai serangan dengan drone adalah minim; baik tentang tujuan, sasaran, maupun hasilnya. Bahkan ada kalimat yang bisa membuat kita ngelus dada.

“Kini kita mendapat pernyataan resmi dari pejabat resmi yang menyatakan bahwa mereka punya hak khusus untuk membunuh siapa saja, di manapun di seluruh dunia, kapan pun, dengan alasan berdasarkan bukti yang tidak perlu diutarakan ke publik, lewat prosedur eksekusi yang rahasia dan diperintahkan lewat pejabat yang dirahasiakan namanya. Ini menakutkan saya.” Kalimat ini meluncur dari mulut Rosa Brooks, professor di Universitas Georgetown dan mantan pejabat Pentagon di bawah pemerintahan Obama, ketika menjelaskan kebijakan Amerika Serikat mengenai serangan menggunakan drone dalam dengar pendapat di kongres Amerika Serikat tahun kemarin.

Foto di bawah ini adalah foto ukuran raksasa yang terdapat di provinsi Khyber Pakhtunkhwa (KPK), dekat dengan barat laut perbatasan Pakistan dengan Afganistan yang dibuat oleh sekumpulan pekerja seni dari Pakistan, Amerika Serikat, dan beberapa negara yang dikomandoi oleh seniman Perancis JR. Para pekerja seni ini menciptakan gambar-gambar ukuran besar di banyak tempat dengan harapan operator drone Amerika Serikat akan melihat wajah manusia korban-korban kebiadaban mereka di daerah-daerah yang sering jadi target serangan drone.

/photo via notabugsplat/

Hal-hal seperti itulah yang tidak pernah ditampilkan di media-media massa utama. Kisah pilu nyata lain adalah cerita mengenai Abeer Qassim Hamza al Janabi, gadis Irak berusia 14 tahun, yang diperkosa ramai-ramai oleh lima tentara Amerika Serikat dan kemudian dibunuh di Yusufiyah (Irak) di tahun 2006. Gadis ini diperkosa dan dibunuh selepas kedua orang tuanya dan saudarinya yang berusia 6 tahun bernama Hadeel Qasim Hamza lebih dulu dibunuh. Dan tahu tidak, “dianggap beda” dengan kisah Malala, Abeer kala itu hendak berangkat ke sekolah sebelum terjadi serangan Amerika Serikat namun dicegah ayahnya karena khawatir akan keselamatan putrinya itu.[iv]

Abeer Qassim Hamza al-Janabi

Dan sementara dunia Barat bertempik sorak dan kasih tepuk tangan renyah kepada Malala (dan mereka memang harus begitu bukan?), saya risau dan galau bahwa sorak sorai dan aplaus mereka didasari oleh alasan yang salah, atau perspektif yang keliru. Tampak sekali bahwa Barat ingin mewujudkan agenda yang mereka inginkan dan memuluskan kebijakan yang mereka ciptakan. Oleh sebab itulah pandangan Malala mengenai Islam sangat jarang dikutip secara penuh di media-media massa. Malala menggunakan keyakinannya sebagai kerangka ajaran bahwa Islam menggariskan bahwa pendidikan adalah sesuatu yang penting dan bukan Islam adalah agama yang menjustifikasi kekerasan, namun hal-hal beginian gak berguna bagi kisah Malala yang diinginkan Barat dan anugerah Nobel Perdamaian untuknya. Hal ini tidak cocok, pokoknya begitu.[v]

Jadi, pikiranku berkecamuk gak karuan mendengar kisah Malala dan anugerah Nobel Perdamaian untuknya. Banyak hal yang bikin aku galau. Kita (Barat) sudah memulai lagi kampanye untuk perang yang baru, dan upacara penyerahan Nobel Perdamaian itu terasa konyol jika kita mau melihat foto berikut.

/photo by A. McConnell, UNHCR/

Laki-laki dalam foto di atas adalah Ahmad, usia 102 tahun. Ia adalah pengungsi Syiria. Ia berkata: “Orang-orang pada bilang padaku jika Tuhan menambah kasih sayang-Nya, Tuhan akan kasih tambahan umur buatku. Tapi aku malah berharap agar Tuhan mengurangi kasih sayang-Nya terkait dengan pemberian umur yang panjang. Aku tidak mau hidup lebih lama lagi hanya untuk melihat negaraku hancur berkeping-keping.”

Tentu saja kita tidak boleh lengah dan meremehkan usaha penciptaan perdamaian dunia, namun saat usaha tersebut dilakukan dalam rangka mencari keuntungan, berdimensi tunggal, ditunggangi oleh agenda-agenda terselubung dan disarukan oleh kemunafikan – maaf, aku ogah ikut latah merayakannya.

======================================

Endnotes

[i] George Galloway adalah politikus Inggris yang kontroversial. Kehidupan politiknya yang telah berlangsung selama 25 tahun serupa roller coaster; kadang naik kadang turun. Dia jadi satu-satunya anggota yang dikeluarkan dari Partai Buruh karena terlalu keras menyerang kebijakan campur tangan pemerintah Inggris di Perang Irak meskipun ia bukanlah satu-satunya politikus yang mencederai kebijakan itu. Gaya politik Galloway memang terkenal slengekan dan tidak takut berdebat bila berkenaan dengan tudingan-tudingan miring atas dirinya. Meskipun banyak tuduhan miring di dalam karir politiknya namun ia masih tetap bisa bertahan hingga sekarang di kancah perpolitikan Inggris (cf. Andy Mcsmith. 31 Maret 2012. “George Galloway: The Political Rebel with a Cause”. The Independent)

[ii] Kisah petualangan Barat di Afghanistan dapat dibandingkan dengan sumber-sumber lain mengenai bagaimana dan mengapa peperangan di Afghanistan menjadi penting untuk “harus” dilakukan lewat tautan-tautan berikut ini: Syaikh Abdussalam, Community Showcase, Cage Africa; David Ray Griffin, 2010. “Did 9/11 Justify the War in Afghanistan?”; Michel Chossudovsky, 2010. “The War is Worth Waging: Afghanistan’s Vast Reserves of Minerals and Natural Gas”

[iii] Assed Baig di dalam tulisan berjudul “Malala Yousafzai and the White Savior Complex” (2013) yang terbit dalam The Blog Huffington Post daring memaparkan bagaimana narasi tentang Malala memang sengaja dirajut oleh media massa dan politikus Barat. Assed Baig, seorang jurnalis internasional yang fokus masalah radikalisme dan terorisme di daerah Pakistan, Kashmir, Somalia, Libya, dan Palestina, di dalam artikelnya yang kemudian sebagian paragrafnya dikutip oleh Ivana Peric, juga mengajak semua untuk berkontemplasi bahwa:

“Sakit gila heroisme orang-orang Barat (Western Savior Complex) justru telah membajak pesan yang diingini Malala. Orang-orang Barat-lah yang lebih banyak membunuh gadis-gadis di Afghanistan dibanding orang-orang Taliban. Barat-lah yang menghancurkan akses kepada pendidikan atas gadis-gadis Afghanistan lewat rudal-rudal mereka dibandingkan peluru-peluru orang Taliban. Barat-lah yang merusak pendidikan di seluruh dunia dibandingkan para ekstremis lakukan. Jadi jangan bikin kami tambah mual dengan pesan-pesan sok merasa benar dan penyematan diri sendiri sebagai penyelamat lewat cerita-cerita bahwa Barat menjatuhkan bom-bom di Afghanistan untuk menyelamatkan gadis-gadis serupa Malala”.

Bandingkan juga dengan kisah gadis Pakistan korban perang lainnya yang bernama Nabila Rehman. Kisah Nabila Rehman diabaikan oleh media-media massa besar dunia sebab Nabila berteriak lantang mengenai kegilaan tindakan militer Amerika Serikat di Afghanistan sementara Malala yang berteriak lantang mengenai “kejahatan” Taliban di Afghanistan yang terjadi atas dirinya yang menginginkan kesetaraan hak berpendidikan digegapgempitakan dan dirayakan (bdk. Murtaza Hussain. 1 November 2013. “Malala and Nabila: Worlds Apart”. Opinion Al Jazeera; Vishal Manve. 13 Oktober 2014. “A Tale of Two Pakistani Girls: Malala Yousafzai and Nabila Rehman”dnaindia.com; Jihad Al-Jabban. 11 Mei 2013. “Nabila’s Plea: The Case Against Congressional Apathy”The World Post at huffingtonpost.com).

[iv] Acara TV yang memotret dengan berani mengapa Amerika Serikat tidak sahih berargumen ketika terjun ke Irak adalah berikut: CBC – The Fifth Estate – The Lies that Led to War

[v] Tulisan yang menunjukkan bahwa pesan-pesan Malala dipersempit atau dibajak hanya dalam rangka menjustifikasi segala tindakan Barat dapat dibaca pula lewat tulisan Ben Norton. Ben Norton adalah penulis lepas dan seorang aktivis kemanusiaan. Lewat tulisannya, Ben Norton menunjukkan bahwa publik dunia dihibur oleh ‘dimunculkannya’ pernyataan Malala mengenai pentingnya pendidikan bagi siapa saja namun pendapat Malala mengenai kejahatan peperangan dengan drone dan betapa kapitalisme menghancurkan dunia dan sosialisme sebagai salah satu solusinya ‘disembunyikan’ oleh media massa. Ben Norton menampilkan fakta-fakta bagaimana Amerika Serikat (Barat) ‘bermain-main’ dengan kisah Malala berjudul “The (Socialist) Malala Yousafzai the US Media Doesn’t Quote” (2014) dapat diakses lewat blog pribadinya. Tulisan Ben Norton mengenai bagaimana media massa hanya mengambil bagian-bagian tertentu dari pesan Malala selama menguntungkan agenda-agenda Barat ini telah diterbitulangkan di enam situs daring.

Serangan Tak Waras: Cara Israel Giring Gaza ke Jurang Bencana Kemanusiaan

Ini adalah terjemahan dari tulisan Profesor (Emeritus) Avi Shlaim yang terbit di koran daring The Guardian pada hari Rabu, 7 Januari 2009 dengan judul “How Israel brought Gaza to the brink of humanitarian catastrophe”. Terjemahan ini telah mendapatkan ijin dari beliau. Judul naskah asli yang terlupa dicetak utuh The Guardian sebenarnya adalah “An Insane Assault: How Israel brought Gaza to the brink of humanitarian catastrophe” sebagaimana beliau nyatakan dalam korespondensi lewat surel. Lahir di Irak dan berdarah Yahudi, Prof. Shlaim bagi sebagian orang Yahudi (yang pro kebijakan Israel terhadap Palestina sekarang) dianggap sebagai pengkritik pedas negara Israel. Profesor Avi Shlaim mengajar di Oxford University di bidang Hubungan Internasional dengan fokus pada isu-isu di Timur Tengah. Buku-buku beliau di antaranya adalah The Iron Wall: Israel and the Arab World dan War and Peace in the Middle East: A Concise History.[1]

 ==================================================

Satu-satunya cara memahami perang yang dilakukan Israel di Gaza adalah dengan menengok konteks historisnya. Pendirian negara Israel di bulan Mei 1948 menyiratkan ketidakadilan kepada bangsa Palestina. Pejabat Inggris tidak sepakat dengan keberpihakan Amerika Serikat kepada negara Israel yang baru saja berdiri itu. Pada tanggal 2 Juni 1948, Sir John Troutbeck menulis surat kepada Menteri Luar Negeri, Ernest Bevin, bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas berdirinya negara gangster yang dipimpin oleh “sekelompok orang yang tidak bermoral”. Dulu saya (Shlaim, pen.) berpikir bahwa sebutan ini terlalu kasar namun serangan tak bermoral Israel atas Gaza, dan keterlibatan tidak langsung pemerintahan Bush di dalam serangan ini, telah membuka lagi pertanyaan yang lama saya pendam.

Saya menulis ini sebagai seseorang yang pernah mengabdi secara loyal di dalam angkatan bersenjata Israel di pertengahan tahun 60-an dan tidak pernah mempertanyakan keabsahan wilayah negara Israel yang dimiliki berdasarkan garis batas sebelum tahun 1967. Yang benar-benar saya tolak adalah proyek kolonial Zionist melewati Garis Hijau ‘Green Line’. Penjajahan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza selepas perang tahun 1967 tidak ada kaitannya dengan keamanan dan sebenarnya merupakan bentuk ekspansi teritorial. Tujuannya adalah menciptakan Israel Raya dengan cara menguasai sektor politik, ekonomi, dan militer secara permanen wilayah-wilayah Palestina. Hasilnya adalah salah satu penjajahan terlama dan terbrutal di jaman modern ini. Selama empat abad Israel merusak keadaaan ekonomi di Jalur Gaza. Dengan populasi yang besar pengungsi di tahun 1948 menyumpek di wilayah tanah yang makin mengecil tanpa infrastruktur dan sumber daya alam, Gaza sudah tidak memiliki masa depan yang jelas. Meskipun demikian, Gaza tidak hanya sebuah negara yang miskin saja namun juga suatu kisah unik penghancuran sebuah negara. Menyitir ungkapan Bible, Israel mengubah penduduk Gaza menjadi ”tukang belah kayu dan tukang pikul air”[2]; menjadi sumber tenaga kerja yang murah dan pasar bagi barang-barang Israel. Pembangunan industri lokal dipersulit sehingga tidak mungkin bagi orang Palestina mengakhiri ketertundukannya di hadapan orang Israel dan juga menciptakan kebangkitan ekonomi sebagai penunjang kemerdekaan politik secara riil.

Mata Uang keluaran 1927 oleh The Palestine Currency Board. Negara Palestina sudah ada sejak lama (credit: drberlin.com)

Mata uang keluaran tahun 1927 oleh The Palestine Currency Board. Negara Palestina sudah ada sejak lama (credit: drberlin.com)

Gaza adalah kisah klasik ekploitasi kolonialisme di era poskolonial. Permukiman Yahudi di wilayah pendudukan adalah tidak bermoral, ilegal, dan bikin ruwet usaha perdamaian. Permukiman ini menjadi alat eksploitasi dan juga sekaligus sebagai simbol perampasan. Di Gaza, pemukim Yahudi berjumlah hanya 8.000 di tahun 2005 dibandingkan dengan 1,4 juta penduduk asli [Palestina]. Walaupun sedikit jumlah, orang Yahudi ini menguasai 25% luas wilayah, 40% tanah yang subur, dan sebagian besar sumber-sumber mata air. Meski hidup berdampingan, mayoritas penduduk Palestina hidup di dalam kemiskinan dan penderkitaan yang tidak ketulungan. Delapan puluh persen dari penduduk Palestina bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari $2 per hari. Kehidupan di Jalur Gaza merupakan kehidupan yang nista menurut standar normal, memaksa penduduk Palestina hidup hanya untuk bertahan hidup, dan turut andil di dalam menumbuhkan benih militansi.

Pada bulan Agustus 2005, pemerintahan yang digawangi Partai Likud yang dipimpin oleh Ariel Sharon mengadakan tarik pemukiman dari Gaza. Delapan ribu pemukim Yahudi ditarik dari Gaza dengan melantakkan pemukiman yang sebelumnya telah mereka huni dan lahan yang sudah sebelumnya mereka garap. Saat itu, Hamas – pergerakan perlawanan Islam, berhasil mengusir pemukim ilegal Yahudi lewat kampanye politik. Penarikan mundur pemukim Yahudi dari Gaza adalah kejadian yang membuat malu Tentara Israel[3]. Sharon menyatakan kepada dunia bahwa penarikan pemukim Yahudi dari wilayah Gaza saat itu adalah bentuk kontribusi Israel terhadap solusi dua negara[4]. Akan tetapi pada tahun berikutnya, sebanyak 12.000 orang Israel menempati wilayah lain Palestina, Tepi Barat, sehingga kian menyurutkan usaha serius akan pengakuan kemerdekaan Palestina. Penyerobotan tanah dan koar-koar mengenai usaha perdamaian adalah hal yang tidak mengena. Israel sebenarnya mempunyai pilihan untuk berdamai dengan Palestina namun mereka campakkan pilihan itu dengan tetap nekat terus merampas tanah Palestina.

Tujuan utama dari langkah penempatan pemukim Yahudi di Tepi Barat adalah memperluas garis batas Israel Raya. Sehingga penarikan pemukim dari Jalur Gaza sebenarnya bukan ditujukan untuk membuka pembicaraan damai dengan pemerintah otoritas Palestina namun untuk membuka jalan bagi ekspansi wilayah baru di Tepi Barat. Langkah ini adalah manifestasi kepentingan Israel. Israel yang mendasarkan tindakannya pada penyangkalan akan identitas nasional bangsa Palestina seakan-akan bermain-main dengan penarikan diri mereka dari Gaza.

Penarikan diri Israel dari Jalur Gaza sejatinya bukan penarikan total sebab tentara Israel masih saja bercokol di sana dan menguasai akses ke Gaza baik lewat darat, laut, maupun udara. Gaza diubah menjadi semacam sebuah penjara yang besar. Sejak saat itu, angkatan udara Israel menikmati kebebasan untuk menjatuhkan bom, merusak dengan gelombang sonik pesawat yang terbang terlalu rendah, dan tanpa henti meneror penduduk di penjara yang bernama Gaza ini.

Israel bangga menampilkan dirinya sebagai negara demokratis meski negara-negara di sekitarnya mempraktikkan otoritarianisme. Meskipun demikian, sepanjang sejarahnya, Israel tidak pernah mendukung demokratisasi kepada negara-negara Arab tetangganya malahan membuat ulah sebaliknya. Israel mempunyai sejarah panjang memiliki keterkaitan dengan rezim-rezim Arab yang reaksioner dalam rangka menggencet nasinalisme rakyat Palestina. Uniknya adalah meskipun masih belum sempurna, rakyat Palestina justru berhasil membangun demokrasi di dalam negaranya dibandingkan dengan negara-negara Arab tetangganya – kecuali Lebanon. Di bulan Januari 2006, pemilu yang demokratis berhasil dilangsungkan di Palestina dan memenangkan Hamas. Meskipun demikian, Israel justru menolak mengakui pemerintahan yang dipilih secara demokratis ini, sembari menuding bahwa Hamas adalah murni organisasi gerakan teroris.

Asymmetry - The Unequal War (credit: anticapitalists.org)

Asymmetry – The Unequal War (credit: anticapitalists.org)

Amerika Serikat dan Uni Eropa secara urakan turut bergabung dengan Israel di dalam mengutuk dan melabeli pemerintahan Hamas sebagai jahat serta kong-kalikong menahan pendapatan dari pajak dan bantuan luar negeri untuk Palestina. Situasi sureal kemudian berkembang dengan banyaknya negara yang ikut-ikutan memberi sanksi ekonomi kepada Palestina, sanksi kepada pihak yang dijajah dan malah bukan kepada pihak yang menjajah, sanksi kepada pihak yang ditindas dan bukan kepada penindas.

Kisah pilu yang terus saja terjadi di dalam sejarah Palestina, bangsa yang tertindas ini malah dianggap sebagai biang keladi dari kemalangan yang menimpanya. Mesin propaganda Israel secara konsisten menampilkan bangsa Palestina sebagai bangsa teroris, bahwa mereka menolak hidup berdampingan dengan negara Yahudi, bahwa nasionalisme mereka adalah antisemitisme, bahwa Hamas adalah sekumpulan orang jahat yang fanatik di dalam agamanya, dan bahwa Islam tidak bisa berdamai dengan Demokrasi[5]. Apapun, ambil cara melihat tragedi ini dengan cara yang tak berbelit, bangsa Palestina adalah bangsa yang memiliki hak yang sama dengan bangsa-bangsa lainnya. Mereka bukanlah bangsa yang lebih mulia dibandingkan dengan bangsa lainnya namun juga bukan bangsa yang lebih rendah dari bangsa lainnya: mereka adalah manusia seperti kita. Apa yang mereka cita-citakan adalah wilayah dan tanah yang menjadi hak mereka agar dapat hidup secara bebas dan bermartabat.

Sebagaimana normalnya pergerakan perlawanan [terhadap penjajah], Hamas mulai menempuh cara lebih moderat ketika mulai duduk di tampuk kekuasaan. Hamas yang semula menolak adanya negara Israel, sudah mulai melunak dan bersikap pragmatis dengan melihat jalan damai lewat penerimaan akan solusi dua negara. Di bulan Maret 2007, Hamas dan Fatah membentuk pemerintahan gabungan dan bersiap untuk negosiasi genjatan senjata dengan Israel. Walaupun demikian, Israel malah menolak bernegosiasi dengan pemerintahan yang melibatkan Hamas.

Israel masih saja melanjutkan cara lamanya, mengadu domba faksi yang ada di Palestina. Kembali pada tahun 80an, Israel mendukung Hamas untuk melemahkan Fatah, gerakan sekuler di bawah pimpinan Yasser Arafat. Akhir-akhir ini mengompori pejabat Fatah yang korup dan rakus untuk mendongkel orang-orang Hamas dan merebut kekuasaan di Palestina. Tambah pelik, kaum neokonservatif Amerika Serikat yang agresif ikut terlibat di dalam merangkai plot perang saudara di Palestina. Campur tangan neokonservatif Amerika Serikat inilah yang menjadi faktor utama bubarnya pemerintahan gabungan Hamas dan Fatah serta membuat Hamas terpaksa menekuk Fatah untuk memegang tampuk kekuasaan di bulan Juni 2007 selepas percobaan kudeta yang gagal oleh Fatah.

Perang yang disulut oleh Israel di Gaza pada bulan Desember tanggal 27 merupakan puncak dari serangkaian benturan dan konfrontasi dengan pemerintahan Hamas. Dalam konteks yang lebih luas, perang tersebut adalah perang Israel terhadap rakyat Palestina sebab rakyat Palestina-lah yang memilih dan mempercayai Hamas untuk memegang kekuasaan. Tujuan perang yang didengungkan oleh Israel adalah meningkatkan tekanan kepada pemimpin Hamas sehingga sepakat berdamai dengan syarat yang telah ditentukan Israel. Tujuan yang tidak tersingkap terang-terangan dari perang ini adalah memprogandakan kepada dunia bahwa tragedi yang menimpa rakyat Palestina di Gaza adalah tragedi kemanusiaan saja dan membutakan kepada dunia apa yang sebenarnya terjadi: usaha perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka dan berdaulat dari penjajahan Israel.

Mulainya perang oleh Israel saat itu adalah momen yang bertepatan dengan tahun politik [di Israel]. Tahun itu, di bulan Februari tanggal 10 akan diadakan pemilu di Israel. Politikus-politikus butuh unjuk gigi di pentas nasional, menunjukkan ketegasan mereka sebagai upaya menghapus noda kekalahan terhadap pejuang Hizbullah di Lebanon pada bulan Juli 2006. Tambahan pula, langkah gila politikus Israel bisa dilakukan dengan adem ayem oleh sebab apatis atau tidak berdayanya pemimpin-pemimpin Arab yang pro Barat dan dukungan membabi buta Presiden Bush yang kebetulan saat itu sedang memasuki masa akhir jabatannya. Bush sudah selalu siap dengan lontaran kesalahan kepada Hamas atas segala krisis yang terjadi di Palestina, siap untuk juga memveto segala usulan penyegeraan genjatan senjata yang diusulkan di Dewan Keamanan PBB, dan mengangguk-angguk manakala Israel melakukan invasi bersenjata ke Gaza.

Sudah menjadi lagu lama, Israel yang adidaya berkoar-koar menjadi korban agresi Palestina meskipun perimbangan kekuatan militer di antara kedua negara secara logika dapat menunjukkan secara jelas siapakah korban sebenarnya. Perang yang terjadi adalah pertempuran antara David dan Goliath[6] namun gambaran di dalam kisah Bible telah dibalik – Palestina yang kecil dan tidak memiliki kemampuan militer yang memadai menghadapi Israel yang memiliki kekuatan militer nggilani, tanpa ampun, dan angkuh. Tudung terhadap kedigdayaan militer Israel, seperti biasa, adalah merekalah korbannya, mereka teraniaya, dan membalas serangan dalam rangka membela diri. Di dalam bahasa Ibrani hal seperti ini disebut sebagai ‘sindrom bokhim ve-yorim’ – menangis meraung-raung sembari menembakkan peluru.

Yang jelas, Hamas tidaklah bisa disebut sebagai pihak yang sepenuhnya tidak ikut andil dalam terciptanya konflik ini. Dimentahkan kemenangan bersihnya lewat pemilu dan direcoki dengan serang yang tidak bermoral[7], telah menyulut senjata yang kerap dipakai kaum yang lemah: teror[8]. Militan dari Hamas dan Jihad Islam meluncurkan roket Qassam ke pemukiman Yahudi di seberang perbatasan Gaza sampai akhirnya Mesir memediasi genjatan senjata selama enam bulan pada akhir Juni kemarin. Kerusakan yang ditimbulkan oleh roket ‘primitif’ milik militan Hamas nyaris tidak terlalu berarti di pihak Israel namun efek psikologisnya sungguh terasa. Rakyat Israel menggugat pemerintahnya untuk memberikan perlindungan kepada mereka atas serangan roket ‘primitif’ ini. Mendasarkan keadaan ini, Israel memiliki hak untuk membela diri namun balasan yang dilakukan Israel terhadap serangan roket ‘primitif’ ini sungguh jauh dari perimbangan. Angka jumlah korban menjelaskan ini semua. Dalam kurun waktu tiga tahun selepas penarikan diri dari Gaza, hanya 11 warga Israel terbunuh lewat tembakan roket sedangkan serangan tentara Israel pada waktu yang sama telah membunuh 1.290 warga Palestina di Gaza – 222 anak-anak ikut menjadi korban.

Berapapun jumlah korban yang timbul dalam perang, menyasar warga sipil adalah salah. Aturan ini berlaku bagi kedua belah pihak, baik Israel maupun Hamas. Akan tetapi Israel-lah yang mencatatkan diri sebagai pelaku tindakan brutal dan tanpa henti kepada penduduk Gaza. Israel pulalah yang tetap memblokade Gaza meskipun genjatan senjata sudah berlaku. Bagi para pemimpin Hamas, tindakan Israel untuk tetap memblokade Gaza adalah pelanggaran perjanjian genjatan senjata antara kedua belah pihak. Selama masa genjatan senjata, Israel melarang segala bentuk ekspor barang dari Jalur Gaza dan ini melanggar perjanjian di tahun 2005 serta menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran secara massal. Menurut catatan, 49,1% penduduk Gaza menjadi penganggur saat itu terjadi. Pada saat yang bersamaan, Israel membatasi dengan amat sangat jumlah truk pengangkut makanan, bahan bakar, tabung gas untuk masak, suku cadang pusat pengelolaan air dan sanitasi, dan suplai obat-obatan ke Gaza. Sulit mencari alasan logis bagaimana tindakan Israel ini dianggap sebagai upaya melindungi warga mereka dari serangan Palestina. Bahkan jikapun diklaim ini sebagai upaya yang bakal moncer meredam serangan, perlakuan Israel terhadap warga Palestina ini adalah menyalahi hukum kemanusiaan internasional.

Kebrutalan tentara Israel senada sekali dengan kebohongan yang diberitakan juru koar negara Israel. Delapan bulan sebelum melancarkan aksi serangan militer ke Gaza, Israel mendirikan Direktorat Informasi Nasional. Inti dari pesan dan khotbah dari direktorat ini adalah pelanggaran genjatan senjata oleh Hamas, bahwa Israel hanyalah berusaha melindungi warganya dari serangan Hamas, bahwa militer Israel berusaha semaksimal mungkin tidak menimbulkan korban dari rakyat sipil. Juru propaganda Israel berhasil menyebarkan ‘pesan’ ini ke seluruh penjuru dunia. Pada dasarnya, apa yang dipropagandakan oleh juru koar Israel ke seluruh penjuru dunia adalah penuh kebohongan.

Ada jurang perbedaan antara realitas dari tindakan militer Israel dengan retorika yang diujarkan oleh kuru koar mereka. Bukan Hamas yang melanggar perjanjian genjatan senjata namun Israel-lah yang melanggar. Israel melakukannya dengan menerobos masuk ke Gaza pada tanggal 4 November dan lalu membunuh 6 orang Hamas. Tujuan Israel bukanlah melindungi penduduknya dari serangan Hamas namun sejatinya hendak menggulingkan pemerintahan Hamas di Gaza dan mengompori penduduk Gaza agar memberontak kepada pemerintahan yang sah[9]. Dan jauh dari usaha meminimalisasi jumlah korban dari kalangan sipil, militer Israel bersalah dengan pengeboman membabi-buta dan blokade tiga tahun lamanya[10] yang telah membuat penduduk Gaza – sejumlah 1.5 juta jiwa – dalam bayang bencana kemanusiaan.

Perintah di dalam Bible mengenai hukum mata diganti dengan mata[11] dapatlah disebut sudah cukup keras[12]. Akan tetapi tindak ofensif gila Israel terhadap Gaza tampaknya mengikuti hukum tagih mata sebagai tebusan atas rugi bulu mata. Selepas delapan hari pengeboman – dengan tumbal jatuh korban tewas lebih dari 400 orang Palestina padahal hanya empat orang saja meninggal dari pihak Israel – pemerintah Israel yang giras memerintahkan invasi militer ke Gaza sebagai balasan atas kerugian yang tidak terhitung dari pihak Israel.

Peningkatan tindak militer oleh Israel bagaimanapun juga tidaklah akan mampu melindungi Israel dari serangan roket ‘primitif’ dari sayap militer Hamas. Betapapun kematian dan kerusakan yang ditimbulkan militer Israel terhadap Hamas, Hamas tetap berjuang melawan penjajahan dan akan terus melawan dengan roket ‘primitif’ mereka. Hamas adalah gerakan yang mengagungkan indahnya menjadi korban dan mulianya menjadi martir. Tiada cara militer dapat ditempuh dalam rangka mendamaikan kedua belah pihak yang berseteru ini. Celah cela terhadap konsep keamanan yang digaungkan Israel adalah ketidakberpihakan kepada keamanan bangsa lain [Palestina]. Satu-satunya jalan bagi Israel untuk memperoleh kemanan adalah bukan lewat kekuatan senjata namun lewat pembicaraan damai dengan Hamas, yang telah konsisten menyatakan diri untuk mau bernegosiasi damai untuk 20, 30, atau 50 tahun dengan negara Yahudi Israel sesuai batas wilayah sebelum tahun 1967. Israel telah menolak tawaran ini sebagaimana Israel dengan dalih yang sama menampik usul perdamaian Liga Arab tahun 2002, yang dibiarkan nangkring tak tersentuh di meja perundingan: Israel ogah karena usulan damai menyiratkan juga pengakuan kedaulatan dan kompromi terhadap Palestina.

Kilas ringkas catatan mengenai Israel selama empat dekade menyulitkan untuk tidak mengambil kesimpulan bahwa negara Israel telah benar-benar mengejawantah menjadi negara urik yang dipimpin oleh “sekelompok orang yang tidak bermoral”. Ia menjadi sebuah negara urik yang doyan melanggar hukum internasional, memiliki senjata pemusnah massal, dan mempraktikkan terorisme – melakukan tindak kekerasan terhadap warga sipil untuk tujuan politis. Negara Israel memenuhi ketiga kriteria; tidak bisa untuk disangkal karena faktanya memang demikian. Tujuan sebenarnya dari Israel adalah bukan hidup berdampingan secara damai dengan tetangga Palestina mereka namun dominasi secara militer. Israel terus saja menumpuk kesalahan yang berulang-ulang yang pernah mereka lakukan di masa lampau dan justru kian memperparahnya. Setiap politikus, sebagaimana manusia biasa lainnya, tentu sah-sah saja untuk mengulangi kebohongan dan kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu. Akan tetapi bukan hal yang demikianlah yang kemudian menjadi sebuah beban untuk melanjutkan tradisi dua keburukan ini.

===============================================

End Notes

[1] Disclaimer: tidak semua isi dari tulisan Prof. (Emeritus) Shlaim adalah sama dengan pandangan penerjemah sebagaimana end note yang ada pada terjemahan ini tidak serta-merta mewakili pandangan beliau.

[2] Bible, Ulangan 29: 11

[3] atau IDF (Israeli Defence Forces)

[4] Solusi Dua Negara = Ide mengenai penyelesaian konflik Israel-Palestina dengan pengakuan oleh kedua belah pihak akan kedaulatan negara Israel dan juga Palestina.

[5] penjelasan lebih lanjut tentang “Islam tidak bisa berdamai dengan Demokrasi” tidak sesederhana lewat jawaban: ya atau tidak.

[6] Quran = Daud melawan Jalut

[7] Pelajari hal ini mungkin ada kemiripan dengan kemenangan IM di Mesir dan FIS di Aljazair. Mungkin.

[8] Pelajari pidato Gayatri Spivak mengenai ini. Adakah ‘teror’ merupakan jawaban atas buntunya akses mereka yang dibungkam?

[9] Bandingkan dengan kisah di Mesir.

[10] Tiga tahun dari tanggal publikasi tulisan ini (7 Januari 2009) dan bukan publikasi terjemahan ini (14 Juli 2014).

[11] Bible, Ulangan 19:21

[12] Sebenarnya Prof. Shlaim menggunakan istilah ‘savage enough’.

Siapa Pemilik Sah Tanah Palestina?

Terjemah bebas dan komentar lewat catatan kaki dari tulisan Thomas Williamson berjudul “Who Really Owns the Land of Palestine?[1]” yang teks aslinya bisa diakses di:[2]

http://thomaswilliamson.net/who_owns_the_land.htm

_______________________________________

Sebuah artikel berjudul “Who Owns the Land?” yang muncul di terbitan Sword of the Lord bertanggal 30 Agustus 2002 dan juga di beberapa terbitan internasional lainnya menyuguhkan pernyataan menarik: “… the Jewish National Fund mulai mengumpulkan uang untuk membeli tanah di Palestina demi kepentingan penempatan bangsa Yahudi, besar pembelian tanah tersebut adalah 92% dari wilayah Israel sebagaimana kita lihat sekarang ini.” 

Angka 92% sendiri sungguh berbeda dari angka-angka persentase tanah terbeli yang diakui secara umum dan terdokumentasikan yang menyatakan bahwa pada saat pendirian negara Israel pada tahun 1948, Yahudi hanya membeli sekitar 6% hingga 7% luas wilayah dari negara Israel sekarang (pada masa sebelum Batas Wilayah 1967).

Saya[3] telah dua kali meminta penjelasan mengenai angka 92% Tanah Negara Israel yang diperoleh lewat pembelian kepada penulis “Who Owns the Land?” namun tidak memperoleh balasan.

Sementara itu pula, saya juga telah mengunjungi situs resmi The Jewish National Fund, www.unitedjerusalem.com, sebuah situs Yahudi, pro-Israel, dan pro-Zionist. Situs ini menyatakan bahwa The Jewish National Fund membeli [hanya] 375.000 acre tanah pada saat pendirian negara Israel pada tahun 1948. Jadi berdasar hitungan, luas tanah yang dikuasai oleh negara Israel lewat pembelian kepada bangsa Arab sebelum Batas Wilayah 1967 yang seluas 7.992 mil persegi jika dipersentasekan hanya sebesar 7.33% dan bukan 92%.

Hitungan tentang persentase tanah yang dibeli dari orang Arab berdasar sumber lain juga menyatakan bahwa besarannya sekitar 6-7%. Artikel berjudul “The Jewsih National Fund Land Purchase Methods and Priorities, 1924-1939” tulisan Kenneth W. Stein menyatakan bahwa: “hingga Mei 1948, Yahudi memiliki kurang lebih 2.000.000 dari total 26.000.000 dunam tanah yang ditinggali dan dimiliki bangsa Palestina”. Angka ini berarti sekitar 7.69%, dan bukan 92%.

Jack Bernstein di dalam “The Life of an American Jew in Racist-Marxist Israel” mengatakan bahwa “hingga 1920, bangsa Yahudi hanya memiliki 2% dari wilayah Palestina. Kemudian pada tahun 1948 saat bangsa Yahudi mendirikan negara Israel, mereka mencaplok wilayah Palestina dalam rangka memperluas wilayah yang dimilikinya, dan itupun secara persentase masih di bawah angka 6% dari total wilayah yang dimiliki bangsa Palestina.”

Disappearing Palestine - Palestina yang Menyusut dan Kian Menghilang (credit: Australian Friends of Palestine Association)

Disappearing Palestine – Palestina yang Menyusut dan Kian Menghilang (credit: Australian Friends of Palestine Association)

Booklet berjudul “Origin of the Palestine-Israel Conflict” yang diterbitkan oleh Jews for Justice in the Middle East menyatakan bahwa “di tahun 1948, saat Israel berdiri sebagai sebuah negara, hanya memiliki tanah sah sebesar 6% lebih sedikit dari seluruh wilayah Palestina.”

Robin Miller di dalam “The Expulsion of the Palestinians 1947-1948” mengatakan bahwa “sebelum 1948, bangsa Yahudi hanya memiliki 1,5 juta dari total 26 juta dunam tanah di Palestina … setelah kegiatan pencaplokan tanah dari bangsa Palestina, Israel memiliki wilayah 20 juta dunam, suatu angka yang luar biasa, dari 6% menjadi 77% dari total wilayah awal. Bangsa Yahudi benar-benar berhasil mengambil alih sebuah negara dari bangsa lain”.

Nampaknya banyak umat Kristiani yang didoktrin untuk mendukung klaim bangsa Yahudi atas tanah bangsa Palestina, berdasarkan argumen bahwa 92% tanah Israel adalah hasil pembelian dari bangsa Palestina. Angka 92% sebagaimana dikoarkan lewat tulisan “Who Owns the Land?” adalah jauh berbeda dibanding dengan angka yang dikeluarkan oleh The Jewish National Fund yaitu hanya sebesar 7.33% tanah dibeli dari bangsa Palestina pada saat pendirian negara Israel di tahun 1948.

Siapa saja yang membaca artikel ini dan lalu dapat membuktikan kevalidan angka 92% sebagai besar persentase tanah Israel yang benar-benar dibeli dari bangsa Palestina dapat memprotes saya lewat situs saya, dus dengan demikian akan juga membuktikan bahwa angka 7.33% tanah pembelian dari bangsa Palestina bersumber dari The Jewish National Fund adalah salah.

Beberapa orang mungkin akan berkata bahwa tidaklah menjadi persoalan berapa persen sebenarnya tanah bangsa Palestina yang dibeli oleh bangsa Yahudi pada saat pendirian negara Israel, sebab Tuhan sudah memberikan tanah Palestina kepada bangsa Yahudi sehingga menjadi hak bangsa Yahudi-lah untuk merampas dari tangan bangsa Arab [Palestina] bahkan tanpa harus membelinya.

Akan tetapi, tidak ada dasar di dalam skriptur akan argumen ini. Ibrahim dan Daud [p.b.u.t.], meskipun mereka Yahudi, membayar dengan harga yang adil atas tanah yang mereka beli dari Ephron the Hittite (Ktb. Kejadian 23:16) dan dari Ornan the Jebusite (2 Samuel 24:21-24, 1 Tawarikh 21:22-25).

Paulus, saat ditanya keuntungan menjadi orang Yahudi apa, ia menjawab: “Banyak, namun yang paling utama adalah, kepada bangsa Yahudi-lah diberikan perintah-perintah Tuhan,” (Roma 3:2). Paulus tidak menyebutkan perampasan tanah milik orang lain sebagai keuntungan menjadi bangsa Yahudi; justru ia mengatakan bahwa keuntungan menjadi bangsa Yahudi adalah kepada mereka-lah perintah-perintah Tuhan diberikan. Perlu dicatat bahwa salah satu perintah Tuhan adalah: “Tidak boleh mencuri dari orang lain”. Tidak ada dasar di dalam skriptur untuk menyelisihi perintah yang sudah jelas ini.

Beberapa orang mungkin akan mengatakan bahwa kita[4] diwajibkan untuk mendukung berdirinya negara Israel bagaimanapun dan apapun caranya berdasarkan rujukan kepada ayat-ayat di Perjanjian Lama yang berisi janji dan restu Tuhan terhadap negara teokratis Israel. Bahkan para pengkhotbah yang meyakini bahwa Perjanjian Lama tidak berlaku lagi, dan para pengkhotbah yang sudah tidak memakai 10 Perintah Tuhan dan kewajiban donasi untuk Tuhan dari sebagian penghasilan, secara aneh tetap memakai Perjanjian Lama ketika berbicara tentang pendirian negara Israel di dunia modern. Para pengkhotbah tersebut tidak pernah mengutip ayat-ayat di Perjanjian Baru mengenai justifikasi pembelaan pendirian negara Israel di dunia modern karena memang tidak ada ayat di Perjanjian Baru yang berbicara tentang itu.

Dapatkah kita menafsirkan pernyataan Tuhan di dalam Perjanjian Lama mengenai janji dan restu Tuhan terhadap Israel kuno, untuk diterapkan lewat tafsir yang berisi dukungan sepenuh kepada berdirinya Israel di dunia modern? Jawabannya adalah: Tidak. Kecuali kita juga secara adil memakai logika yang sama terhadap tafsir skriptur mengenai janji dan restu Tuhan kepada bangsa Arab.

Sebagai contoh, di dalam Yesaya 19:25 terdapat ayat: “Dan kepada mereka, Tuhan berkata, diberkatilah bangsa Mesir”. Berdasar ayat ini, tidakkah kita seharusnya membantu bangsa Mesir dengan sepenuh sebagaimana kita membela dan menjustifikasi tindak-tanduk bangsa Israel? Lalu di manakah kumpulan aktivis pembela bangsa Mesir yang melakukan perjalanan ke Mesir dan lalu membantu “perampasan” tanah sehingga semua dimiliki bangsa Mesir?

Kemudian di dalam Kitab Kejadian 21:18, Tuhan menjanjikan kepada Ismail sebuah bangsa yang hebat. Mengapa kita tidak membantu mewujudkan janji Tuhan itu dengan mendukung segenap tenaga kepada bangsa Palestina dan bangsa Arab lainnya yang merupakan keturunan Ismail? Mengapa kepatuhan kepada Tuhan kita lakukan dengan pilih-pilih? Mengapa mendukung Israel namun mengabaikan Mesir dan Palestina.

Jawabannya sebenarnya adalah kebijakan luar negeri kita tidaklah bersandar dari skriptur yang berisi janji kepada bangsa-bangsa di masa lampau yang sekarang sudah jauh berbeda keadaannya.

Israel Modern tidaklah sama dengan negara teokratis Israel di masa lampau yang bersandar kepada Hukum Perjanjian Lama dan pengharapan akan Messiah. Israel Modern tidak hanya menolak Messiah, namun juga menolak Hukum Perjanjian Lama.

Ambil contoh, Israel menolak perintah untuk tidak semena-mena terhadap non- Yahudi yang tinggal di wilayah Israel (Keluaran 12:49, 22:21, 23:9; Imamat 19:33-34, 25:35; Ulangan 10:18-19, 23:7, 24:17, 27:19), dan larangan menebang pohon subur-berbuah (Ulangan 20:19-20). Merupakan sebuah hal yang tidak logis ketika menggunakan Perjanjian Lama sebagai rujukan pendirian negara Israel modern sembari melakukan pengecualian terhadap bangsa Yahudi dengan kalimat: “Bangsa Yahudi tidak wajib patuh terhadap Hukum Perjanjian Lama”.

Negara Israel dikenal lewat industri seks dan pelacurannya, juga lewat parade kaum homoseksual di Tel-Aviv dan Jerusalem, dan dukungan pemerintah terhadap kegiatan aborsi. Berdasarkan The Jewish Virtual Library, terdapat 18.785 aborsi legal dan 16.000 aborsi ilegal di Israel pada tahun 1999. Kritikus Israel terhadap aborsi memperkirakan bahwa terdapat 1.000.000 janin Yahudi telah diaborsi sejak tahun 1948 hingga 1992 dan mereka melabelinya sebagai serupa Holocaust. Zionis Kristen yang mengirimkan uang ke Israel, dan melobi bantuan pemerintah Amerika kepada Israel, telah membantu mendanai bentuk aborsi kepada janin-janin Yahudi yang dilegalkan oleh pemerintah Israel.

Sebagai seorang Kristen[5], kita tidak diperkenankan menghakimi atau mengutuk Israel terhadap kesalahan yang juga terjadi dan dilakukan oleh bangsa-bangsa lainnya di dunia. Namun juga, perlu dicermati, agar kita tidak pula malah ke titik ekstrem lainnya, terlalu memuliakan pemerintah dan bangsa Israel sebagai dukungan sepenuh yang berlandaskan kepada sesuatu yang tidak tepat.

Perlu pula ditambahkan bahwa tiada yang berubah dari gerakan Zionisme sebagaimana Noel Smith pernah menulis di tahun 1957 di The Baptist Bible Tribune bahwa: “Zionisme menolak Tuhan orang Israel, Tuhan para Nabi, Tuhan pemilik tanah suci. Zionisme tidak mendasarkan klaim tanah yang dijanjikan kepada mereka berdasar perjanjian Ibrahim p.b.u.h. dengan Tuhan. Zionisme menolak untuk mengakui bahwa diaspora bangsa Yahudi adalah kerja Tuhan karena dosa bangsa Yahudi menolak Messiah yang datang. Zionisme tidak mengenal dosa sehingga tidak diperlukan Messiah untuk menebus dosa. Zionisme adalah [gerakan] atheis, sekuler, politis. … Zionisme, menolak Tuhan yang memberikan Tanah yang dijanjikan, menolak berterima kasih atas pemberian, sehingga tidak punya dasar valid untuk mengklaim tanah Palestina – sebagai suatu hak mereka lebih daripada orang Arab lainnya”.

Tuhan, di masa lalu, benar telah memberi tanah Palestina kepada bangsa Yahudi, namun pemberian ini tidaklah bentuk penafian kebolehan bangsa non-Yahudi untuk mempunyai tanah di Israel, sebagaimana terdapat di dalam kisah Ephron dan Ornan (Silakan bandingkan pula dengan Bilangan 9:14).

Janji Tuhan kepada bangsa Yahudi terhadap tanah Palestina tidak berlaku kepada bangsa Yahudi sebab janji tersebut bersyarat yaitu kepatuhan kepada Tuhan (lihat Kitab Kejadian 17:9-14; Keluaran 19:5-6, Ulangan 7:12; Yoshua 23:15-16, 1 Raja-raja 9:6-9, 2 Tawarikh 7:19-22, Yehezkiel 33:24-27). Tuhan akhirnya menggunakan bangsa Romawi untuk mengusir bangsa Yahudi dari tanah yang dijanjikan di tahun 70 S.M. sebagai bentuk hukuman terhadap pelanggaran kepatuhan akan perintah Tuhan: penolakan dan penyaliban Messiah mereka (Matius 21:33-43, 23:38).

Namun tentu saja, siapapun saja meski dia Yahudi, tetap berhak atas tanah di Palestina asalkan dia membelinya dengan adil. Sebagai seorang Kristen, kita seharusnya menjunjung tinggi kebolehan pemilikan tanah Palestina kepada semua orang Yahudi, dan juga orang Palestina selama mereka secara legal memiliki tanah tersebut. Kita bukanlah komunis – yang mengakui pemilikan tanah adalah hanya oleh negara yang boleh direbut kapan saja tanpa ganti rugi yang adil. Dan kita juga bukanlah rasis, yang mengusir orang lain dari tanahnya karena orang tersebut berasal dari etnis tertentu.

Jadi, siapakah pemilik sah tanah Palestina? Jawabnya janganlah berdasarkan argumen konyol mengenai siapa yang lebih dulu menempati tanah itu, atau bangsa yang lebih disukai Tuhan-lah yang berhak atas tanah itu. Yang berhak atas tanah Palestina adalah mereka yang memilikinya dengan cara yang adil, bukan dengan perampasan atau pengusiran namun lewat jual beli yang benar.

Yesaya pernah menubuatkan tentang suatu masa ketika bangsa Yahudi dan bangsa Arab akan diperlakukan sama di hadapan Tuhan: “Pada waktu itu Israel akan menjadi yang ketiga di samping Mesir dan di samping Asyur, suatu berkat di atas bumi, yang diberkati oleh TUHAN semesta alam dengan berfirman: “Diberkatilah Mesir, umat-Ku, dan Asyur, buatan tangan-Ku, dan Israel, milik pusaka-Ku” (Yesaya 19:25-26[6])”.

Kita sekarang ini hidup di masa sebagaimana dinubuatkan oleh nabi Yesaya. Perjanjian Baru memberikan kita ajaran bahwa tidak ada lagi perbedaan antara Yahudi dan non-Yahudi (Kisah Rasul-rasul 15:9; Roma 10:12; Galatia 3:28). Bangsa Yahudi sudah tidak memiliki keunggulan sebagai keturunan langsung resmi dari Ibrahim p.b.u.h. (Yohanes 8:39). Israel sejati dan anak sebenar dari Ibrahim p.b.u.h. adalah mereka yang mendapat pencerahan iman (Roma 2:28-29; Galatia 3:7; cf. Galatia 6:15-16).

Semua sederajat di hadapan Tuhan (Kisah Rasul-rasul 17:26) dan hal ini berlaku kepada semua bangsa tanpa pengecualian. Oleh sebab itulah, kita seharusnya bersikap adil terhadap bangsa lain, baik Yahudi, Arab, maupun Palestina dan menjauhi bersikap dan berkeyakinan bahwa seolah-olah Tuhan memberi hak kepada suatu bangsa untuk bebas merampas hak bangsa yang lain.


[1] Hak Cipta ada pada Thomas Williamson. Jikalau ada sedikit perbedaan dari teks asli, maka hal demikian disebabkan kekurangpresisian penerjemah. Harap dimaklumi. Pendistribusian teks ini harus menyertakan nama pemilik Hak Cipta dan alamat akses teks asli. Untuk rujukan, gunakan rujukan pada teks asli. Usaha penerjemahan ini merupakan kegiatan non-profit dan tidak serta merta merupakan pandangan dari penerjemah.

[2] untuk artikel yang berkait erat dengan isu yang sama dengan pembahasan lebih ke ranah gugat tafsir clamant terhadap skriptur biblikal, baca juga tulisan Thomas Williamson yang lain berjudul “To Whom Does the Land of Palestine Belong?” yang bisa diakses di:

http://thomaswilliamson.net/palestine.htm

untuk artikel yang berkait erat dengan isu konflik Israel-Palestina di dalam ranah permainan istilah di media massa semisal istilah teroris dilekatkan kepada orang Palestina padahal jika hendak berlaku adil maka pertanyaannya adalah “siapa yang menjajah siapa?” silakan baca salah satu tulisan Edward Said berjudul “What Israel Has Done” yang bisa diakses di:

http://weekly.ahram.org.eg/2002/582/op2.htm

Tulisan Edward Said lainnya bisa diakses di:

http://www.edwardsaid.org/?q=node/1

Buku yang mengupas sangat dalam dan komprehensif tentang isu Israel-Palestina semisal The Politics of Anti-semitism (AK Press, 2003). Menurut buku ini, Zionis memanipulasi persepsi kita tentang banyak hal sehingga menguntungkan mereka.

[3] Kata “saya” di dalam terjemahan artikel ini merujuk kepada Thomas Williamson

[4] Karena penulis asli artikel ini adalah seorang pemeluk Kristen, maka kata “kita” di dalam tulisan ini merujuk kepada “umat Kristen”.

[5] Merujuk kepada penulis dan teman-teman seiman-nya.

[6] Jika merujuk kepada Alkitab terjemahan LIA (1994) maka 2 ayat yang dimaksud di sini bernomor ayat 24-25.